Chand, begitu ia kupanggil!

Namanya Chandra. Chandra S Mongilong lengkapnya. “Chand”, singkat biasa kami memanggilnya. Aku ingat betul kapan pertama kali bertemu muka dengan lelaki yang dulu terlihat tambun namun selalu tampil elegan bak bourgeois zaman Revolusi Prancis itu. Sangat mengingatnya dan kuyakin dia juga ingat tepatnya.
Kami bertemu tidak sengaja setahun sebelum masuknya Era Millenium di salah satu ruangan berlantai dua di sebuah gedung Fakultas Teknik sebuah institusi setingkat D3 yang berdiri tepat di samping sebuah universitas yang entah mengapa sering dijuluki “terbesar” se Indonesia Timur.
Saat itu kami berdua bersama ratusan yang lainnya sedang mempertarungkan nasib masa depan pendidikan kami. Bersaing memperebutkan satu bangku di institusi yang masih di subsidi pemerintah. Dan kebanyakan dari kami tentu barusan mendera kekecewaan karena tidak berhasil mendapatkan jatah kursi di beberapa kampus ber “plat merah” termasuk yang disebelah itu.
Seingatku ia duduk satu baris di belakangku sebelah kanan. Dan yang paling kuingat dan kusadari kalau saat itu ia mengintip jawaban dari kertas jawaban yang kurelakan siapapun boleh melihatnya tanpa mesti merasa sungkan. Toh, saya pun tak merasa menjawab soal-soal dengan baik. Dan memang saat itu, pilihan mengikuti tes masuk ke kampus itu kuakui awalnya hanya tebak-tebak berhadiah. Lulus Alhamdulillah. Tak lulus juga gak apa-apa. Nothing to Lose!
Sejak peristiwa siang itu, tak pernah membayangkan akan bertemu dengan si parlente itu lagi!
Semuanya berlalu begitu saja kecuali memoriku yang merekam  jelas wajah agak tampan yang “menjambret” jawabanku tanpa permisi siang itu. Hahaha…
Tapi Sang Maha Sutradara ternyata punya skenario untuk kami berdua. Kami berdua dinyatakan lulus di salah satu jurusan yang saban hari mempelajari cara menghitung dan mencatat pemasukan dan pengeluaran duit melalui abstraksi. Maksudnya tanpa duit di tangan. Dan mujurnya lagi, dari nomor urut kelulusan, kami berhak mendapatkan bangku yang disubsidi pemerintah.
Apa artinya itu?
Artinya ia beruntung menyontek jawabanku siang itu yang kemudian mengantarnya mendapatkan bangku kelulusan.Hahahaha! Kami bertemu lagi. Dan bersiap-siap menghadapi takdir buruk mahasiswa baru di saat kata “Ospek” masih begitu keramat.
Setelah masa menegangkan itu kami lewati, berikutnya adalah rentangan kisah lucu, menarik, menegangkan, romantis dan tentunya sederhana.
Bingung bagaimana memulai kisah-kisah itu!
Ah, dari sini saja. Kami berdua relatif punya beberapa persamaan. Dan karena kesamaan-kesamaan itu, kita punya beberapa kisah yang selalu membuatku tertawa kalau mengingatnya lagi. Tentunya yang pertama dan utama bahwa kami berdua berwajah serupa tampan namun tidak punya track record baik untuk urusan mencari pasangan yang bisa ditelpon via wartel dekat koskosan. Hahaha……..
Kami juga selalu punya masalah dengan pencernaan di pagi hari. Walhasil kami sangat hafal dimana letak toilet yang punya air di kampus tempat kami “sekolah” itu. Ada dua toilet favorit kami, seingatku. Toilet di lantai satu jurusan yang tak berkunci dan hanya mengandalkan batu besar penyanggal dari dalam yang sering membuat tak nyaman untuk menyalurkan “hasrat” di pagi hari. Karena ketidaknyamanan itu, akhirnya kami berdua seringkali mesti ke toilet bersama. Tentunya tidak masuk bersamaan ke toilet. Yang satu menjaga dari luar saat salah satu dari kami sedang “berkonsentrasi” di dalam toilet yang selalu lumayan bersih hasil kerja Bapak (maaf namanya tak ingat) CS yang belakangan kutau sekampung denganku namun sudah lama tak pulang kampung. Dan itu kami lakukan walau kuliah sedang berlangsung. Tak satu pun yang bisa menghalangi kami kalau rasa “itu” sedang menyerang tanpa babibu.
Toilet favorit kedua kami terletak agak jauh dari ruang kelas. Toilet Masjid. Kami suka toilet ini karena punya dua ruang toilet yang tak perlu membuat kami antri, air selalu lancar, dan pasti bersih dan yang paling penting semua toilet punya kunci yang tak mesti membuat kami saling “menjaga”. Saya ingat salah satu tema pembicaraan kami di spot ini.
Saat itu, Chand barusan membeli buku Catatan Harian Soe Hok Gie versi lama yang saat itu sebenarnya telah kumiliki namun raib entah kemana. Dan ia memberitahu kalau di toko tempat ia membeli buku itu stoknya sisa dua buah. Dan kami akhiri percakapan “intelektual” di toilet masjid itu setelah menanyakan alamat toko buku yang dimaksud.
Ah, hampir lupa. Ada lagi satu toilet meski bukan favorit tapi cukup sering kami jambangi. Toilet himpunan. Tidak jelas himpunan mana yang memiliki karena toilet itu digunakan oleh dua penghuni himpunan yang bertetangga dan akur.
Selanjutnya, kami berdua lumayan jeblog di mata kuliah pengantar jurusan ini. Bayangkan pengantarnya saja bermasalah bagaimana kalau saya melanjutkannya. Tapi kami berdua bisa mengangkat dagu untuk mata kuliah bahasa Inggris. Dan itu membuat kami selalu merasa penting saat masa ujian karena teman-teman yang agak bermasalah dengan mata kuliah ini akan mulai mendekat atau sejak dari luar ruangan sudah mengingatkan untuk men share jawaban ujian. Maka jadilah kami berdua layaknya oase di padang pasir! Hahaha… Yang jauh mendekat, yang dekat merapat!
Untuk urusan dengan nilai mata kuliah, di semester pertama kami ditambah salah seorang kawan yang kini sepertinya betah moppo di Kota Gudeg ini membuat perjanjian. Perjanjian keramat. Bahwa siapa pun dari kami yang IP nya paling rendah harus bersedia mentraktir. Tak ingat persis siapa saat itu yang akhirnya mendapat IP terendah diantara kami bertiga, yang paling jelas sayalah yang mendapatkan IP tertinggi, 3,0. Nilai maksimal setelah pontang panting sana sini membongkar “buku besar” “posting” ini itu dan macam-macam istilah lain. Pencapaian yang lumayan bisa membuatku seolah-olah bisa melanjutkan studi di jurusan yang kupilih awalnya karena rayuan senior-senior di pesantren dulu dan kemudian juga jadi senior di jurusan itu.
Nah, kami bersama teman yang satu lagi itu punya cerita lucu dan yah lumayan romantis. Kami bertiga begitu mengidolakan salah seorang senior kami. Tidak perlu kusebut nama senior kami itu. Yang jelas kalau dia melintas di depan kami bertiga, seolah semuanya berhenti kecuali detak jantung kami bertiga yang detaknya terdengar begitu kencang. Tertegun dan sunyi. Dan itu sering terjadi sampai akhirnya suatu saat kami bertiga terhentak karena tiba-tiba ia begitu dekat dengan kami. Muncul di depan kami bertiga dengan salah seorang senior lainnya yang sepertinya tau lagak kami bertiga. Dan kami tak tau harus berbuat apa. Kikuk. Hingga akhirnya skenario licik itu menghampiri kepala kami berdua. Dengan berbagai rekayasa akhirnya kami berdua membiarkan si pencinta Jogja itu mesti menghadapi takdirnya berdua sang idola dengan ekspresi yang tak pasti dan kami hanya menatapnya dari kejauhan sambil cengar cengir. Hahahaha…
Oh iya, kami berdua sekelas. Di kelas B. Karena sistem paketan jadi kami terus bersama dengan teman-teman lain yang juga di kelas B sejak semester awal hingga akhirnya saya memutuskan untuk “pindah” ke kampus sebelah dengan agak berat hati. Kelas B ini begitu berwarna, tepatnya controversial, karena keberadaan kami berdua dan beberapa orang yang juga “aneh” namun begitu bersahabat. Salah satunya sang ketua kelas yang suatu waktu akan kukisahkan kepada kalian tentang alur hidupnya yang inspiratif itu. Yang jelas di bawah kepemimpinannya kelas kami sudah melakukan berbagai hal yang lumayan “mengganggu” ritme jurusan yang sedari dulu adem ayem itu. Kalau tak ingin atau lagi malas kuliah, kami akan mengutus si ketua kelas untuk berkompromi ke dosen agar tak usah masuk dengan berbagai alasan. Untuk dosen yang agak “mati kiri”, maka kami akan mengutus beberapa teman-teman selain lelaki yang lumayan good looking untuk membantu. Tidak bermaksud untuk mengeksploitasi atau niat macam-macam karena ini dilakukan setelah kesepakatan bersama telah didapat. Dan yang paling subversive, tentunya saat si ketua kelas bermasalah dengan pimpinan jurusan karena beberapa maslaah prinsipil dan membuat ia di skors bersama beberapa teman lain termasuk Chand. Hahaha..kelas yang aneh! Hampir lupa, saat itu sebagai simbolisasi kebersamaan, kami sekelas membuat kaos kelas dengan gambar Che Guevara yang nangkring di bagian depan kaos (kalo nda salah ingat). Dan yang perlu anda ketahui, saat itu kaos yang bergambar idola anak muda Hamas itu belum se populer kini. Dan kaos itu dipakai oleh 25 penghuni kelas “aneh”itu. Tanpa terkecuali beberapa teman akhwat yang rajin ikut tarbiyah. Dan kami menyebut komunitas kelas kami itu dengan Himaska, himpunan mahasiswa bla bla..yang sempat membuat himpunan jurusan merasa agak tertampar. Hahaha….
 Setelah sekian lama tinggal di rumah sanak famili, akhirnya di awal semester dua Chand memilih pindah di kamar sebelah kamar yang kukontrak bersama teman-teman. Dan disinilah kisah-kisah sederhana itu menemukan alurnya.
Kami berdua lumayan suka musik dan sama-sama punya impian bisa menggelar konser besar yang ditonton oleh ribuan orang. Oh iya, kawanku ini lumayan mahir bermain drum yang seringkali membuatnya mesti mengumpulkan beberapa kaleng mentega bekas tempat kue kiriman nyokap yang dijadikannya alat perkusi untuk ditabuh. Mimpi bisa menggelar konser itulah yang sering melatarbelakangi aksi gila kami berdua di depan kamar kosan. Sekedar memberi gambaran, kamar kosan kami ini berhadapan dengan hamparan rawa yang lumayan luas dan ramai dengan suara katak sesaat hujan hanya meninggalkan rintiknya. Saat kegilaan karena bermacam sebab a la anak kosan merajai, maka jadilah kami berdua serupa musisi kondang yang sedang dielu-elukan para penggemarnya.

“yang disana bilang dang…yang disini bilang dut..dangdut”, begitu biasa kami meniru bang haji sambil menunjuk (seolah-olah) audiens di sisi kanan dan kiri stage.

Banyak lagu sudah kami pentaskan di panggung besar dengan lighting rembulan di malam hari itu. Berharap kelak kami berdua bisa berada di “panggung-panggung besar” lain meski tidak untuk bernyanyi tapi untuk merayakan dan mensyukuri hidup ini.
Dan yang paling tak kulupakan adalah ritual kami berdua sebelum tidur. Saya biasanya memilih tidur di kamar sebelah, milik Chand karena kamarnya lebih bersih dibanding kamarku yang sering dibiarkan tak bersih berhari-hari. Dan sebelum akhirnya terlelap dan dibuai mimpi-mimpi sederhana a la anak kosan, kami punya kebiasaan yang sebenarnya tak pernah kami rencanakan. Terjadi begitu saja.
Sebelum ritual dimulai, biasanya lampu utama kamar berukuran kira-kira 4x5 meter per segi itu sudah dimatikan dan menyalakan lampu tidur yang membuat suasana lebih mendukung untuk ber”fantasi”. Chand telah mengambil tempat di kasur utama dan saya memilih tidur dilantai yang beralas karpet dan menjadikan kasur menjadi bantalku. Dan ritual itu kami mulai setelah posisi kami telah pada tempatnya masing-masing dan alunan musik dari radio butut di kamar itu mulai mengalun pelan. Biskal.
Biskal yang hampir seluruh temanya adalah keluh kesah kami berdua atas ketidakmampuan atau tepatnya ketakutan kami berdua menyatakan perasaan. Dan tema itu kami ulang terus menerus. Berkali-kali tanpa bosan dan sekaligus tanpa solusi. Padahal dengan kapasitas yang kami miliki..hahaha…, seharusnya tak susah mengatasi masalah-masalah kacangan itu. Tapi kami berdua menghadapi masalah-masalah itu. Dan biasanya sesi biskal akan berakhir saat mata mulai terasa berat dan salah seorang dari kami akhirnya mematikan lampu tidur dan radio. Tidur dan bermimpi ditemani serempak suara choir katak di depan kamar. Berisik namun berirama.

Wah, sudah lumayan panjang padahal masih banyak kisah yang belum tertutur. Tapi kurasa ini cukup untuk menghantarku membingkai masa lalu yang sederhana namun indah itu. Biarlah sekelumit kisah ini menjalankan tugasnya hanya untuk menggali penggalan-penggalan cerita yang telah lama tak tergubris dan tertutup rapat bersama album potret diri kita didalam lemari yang tak lagi terurus.

Chand, silahkan memperbaiki yang agak keliru dan menambahkannya. Tapi jangan kau sangkal kelemahan-kelemahan mu itu. Cihuy!

Rindu masa itu.

12 Juni ‘11
Bantaran X Code, Jogja
Saat sakit mulai reda…

Komentar

  1. :) seorang manusia yang berkarakter kuat... i like it...

    permisi kak.. berbagi kabar baik ya...


    Urgently Required
    Easy Speak, A fast-growing National English Language Consultant, is hunting for
    English Tutors
    Qualifications:
    1) Competent, Experienced, or Fresh Graduates
    2) Proficient in English both spoken & written
    3) Friendly, Communicative, & Creative
    4) Available for being placed in one of the following cities:
    a. Batam 0778-460785
    b. Pekanbaru 0761-7641321
    c. Balikpapan 0542-737537
    d. Palembang 0711-350788
    e. Samarinda 0541-273163
    f. Denpasar 0361-422335
    g. Makassar 0411-451510
    h. Semarang 024-3562949
    i. Bandung 022-76660044
    j. Banjarmasin 0511-7069699

    If you meet the qualifications above, please send your resume to: easyspeak.recruiting@gmail.com.
    Or contact our branch offices mentioned above to confirm prior to sending your resume.
    Deadline: July 30, 2011.
    Visit http://www.easyspeak.co.id for further information.
    Make sure that you won’t miss this golden opportunity as the day after tomorrow might be too late for you to compete for this position

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer