Membaca Debat dari Kali Code!

Sependek ingatanku debat calon ketua himpunan secara terbuka (tidak di dalam forum mubes) pertama kali di inisiasi pada proses pemilihan Ketua Himahi Fisip Unhas periode 2004-2005 dimana saya menjadi salah satu anggota Steering Committee dan sekaligus pemandu acara debat hari itu. Karena itu kali pertama, maka segala sesuatunya sebisa mungkin dipersiapkan dengan relatif maksimal baik performa maupun konsep.

Deretan kursi di koridor FIS 2 (dekat lapangan basket) telah terjejer rapi untuk para audiens beberapa waktu sebelum akhirnya Debat Kandidat dimulai setelah shalat zuhur, seingatku. Saat debat kandidat saya mulai dengan sedikit pengantar mengenai tujuan digelarnya debat kandidat, teman-teman telah berkumpul antusias. Tidak hanya dari teman-teman mahasiswa HI namun juga teman-teman dari jurusan lain se Fisipol. Menarik.

Selain untuk mengetahui visi dan misi calon ketua, debat ini digelar juga untuk meluaskan perspektif kita tentang “perubahan” yang pada kurun itu sedang gencar-gencarnya kita bahasakan kemana-mana. Prinsip sederhananya, “kalau mau masuk surga, maka ajaklah teman-teman di sekelilingmu.” Debat saat itu betul-betul menjadi media untuk mewartakan kepada siapa pun tentang “sikap” kita, Himahi, atas banyak hal yang terjadi di sekeliling kita. Huh, sebegitu kosmopolit nya kita saat itu. Selanjutnya, debat tentu jadi ajang untuk mengetahui sejauh mana kapasitas individu seorang calon Ketua Himpunan dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan perspektif dan sikap sebagai seorang calon ketua.

Tema mubes saat itu adalah Antara Aku, Kau dan Himahi. Tema ini sebenarnya seolah sepele dan memang ia terlontar iseng oleh salah satu dari lima SC saat sedang menggelar “rapat” membahas persiapan mubes tepat di depan himpunan sambil lesehan. Tapi kalu boleh menebak, sepertinya ide tema mubes itu dilontarkan kalau bukan oleh saya pasti oleh Abul A’la Al Maududi “Karamallahu Rijluhu” itu. Karena cuma kami berdua yang begitu terpengaruh oleh Ahmad Band dan tentunya Ada Apa dengan Cinta yang saat itu baru saja melewati masa kejayaannya. Cihuy!

Meski sepele, namun esensi tema mubes saat itu menurut saya sangat berkorelasi dengan spirit, kalau boleh meminjam istilah Bung Karno, “nation building” holistik di keluarga kita. Antara Aku, Kau dan Himahi dapat kita lihat dari dua cara pandang. Ia bisa kita “baca” dengan membubuhinya dengan tanda tanya atau juga bisa ditelaah dengan membubuhinya tanda seru. Ia bisa menjadi bentuk refleksi konstruktif atas model “hubungan” yang sedang dan akan terus dibina antara kita baik secara individu, organisasional maupun secara insaniyah (sesama manusia). Namun ia juga bisa menjadi bentuk penegasan dan penerjemahan ulang atas model kebersamaan yang jauh-jauh hari telah kita proklamirkan dengan menyebut ikatan itu sebagai “Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas hasanuddin”. Tentunya dengan tetap menyadari secara kritis bahwa “proklamasi” akan kebersamaan itu bukan dogma yang tanpa gugat dan apalagi menganggapnya lahir di ruang hampa sehingga netralitas menjadi wajar.

Untuk yang esensi itu pula, debat kemudian menjadi media untuk mengkhabarkan yang kita anggap “benar” dan kita berada di pihak yang akan berani berada di depan untuk membela nya secara kritis. Tidak chauvinis pastinya. Debat bukan hanya urusan “saya” dan “kamu”. Bukan juga hanya sekedar menyampaikan bahwa kita akan membangun “tembok” kita menjadi lebih tebal sehingga kata “berbagi” dan “belajar” menjadi begitu usang dan akhirnya terbuang. Dan kelak kita akan kerepotan menyusun huruf demi huruf lagi untuk hanya sekedar mengeja “berbagi dan belajar”.

…………………………………
Senang betul bisa ikut “menyaksikan” debat kandidat hari ini dan sesekali bisa menimpali sepele di kotak 140 karakter itu. Saya juga mungkin sama dengan keluh seorang kawan yang tidak bisa ikut menyaksikan debat hari ini karena takut harga saham perbankan kita akan anjlok kalau ia memilih ke kampus. Hehehe…bercanda! Sejak sebelum azan Jum’at berkumandang dan rehat sebentar hingga kemudian lanjut hingga sore, saya dan si mantan Ketua Himahi yang berkaca mata dan berpostur agak tambun itu tekun menatapi gadget dan PC kami dan berharap bisa mendapatkan up date an terbaru proses debat di time line akun “kicau” kami berdua.

Meski agak lambat tapi esensi pemaparan dari masing-masing kandidat lumayan tersampaikan di kotak yang hanya membatasi dirinya hingga 140 karakter itu. Yah lumayanlah, bisa mengamati sambil berusaha mengumpulkan energi untuk mengerjakan tugas yang malas kujumpai itu. Sejak pertama kali ketiga foto calon ketua himpunan di upload, saya sempat berkomentar yang sebenarnya mungkin sekaligus menjadi harapan bahwa rangkaian mubes kali ini sebisa mungkin tidak hanya menjadi ritual prosedural belaka dan minim substansi. Karena mengulangi itu, maka kekhawatiran-kekhawatiran yang menurutku mengemuka dari pertanyaan dan sanggahan teman-teman di forum debat meski tidak secara eksplisit bukan tidak mungkin akan terus berlangsung.

Makanya, saya pribadi sebenarnya sangat berharap bahwa momentum debat kandidat tadi bisa menjadi turning point atau apa pun namanya itu. Saya sangat berharap bahwa perdebatan tadi bisa menjadi titik awal untuk mendiagnosa diri kita dan lingkungan sekitar kita. Hal yang menurutku sangat penting dilakukan sekarang. Iya, sekarang! Berharap melakukan inovasi baru, mencoba menyelesaikan maslaah internal yang terus berulang, dan apalagi berupaya untuk mengembalikan geliat kaderisasi yang maju secara kualitas maupun kuantitas, menurutku akan agak sukar tanpa menyelesaikan hasil pembacaan terhadap diri dan lingkungan yang melingkupinya.

Setelah sempat di beri trigger oleh Murni dengan pertanyaan “Bagaimana Anda melihat kondisi internal dan eksternal HIMAHI saat ini”?, dan kemudian kembali kubolak-balik tujuh lembar hasil debat yang ku copy dari time line akun @himahi, tak satu pun kudapatkan indikasi dari masing-masing kandidat yang hirau dengan apa yang saya maksudkan di atas. Tapi saya berbaik sangka saja. Kemungkinan bahasan itu akan lebih dieksplorasi di mubes yang tinggal beberapa hari lagi. Tapi saya sedikit agak ragu mengingat bahasan ini juga pernah panjang lebar kusampaikan ke teman-teman pada mubes tahun kemarin yang untungnya tidak lebih lama dibanding mubes dua tahun sebelumnya.

Mengamati perdebatan tadi, saya jadi teringat kritik Taufiq Rahman di Jakartabeat.net tentang lagu-lagu Vampire Weekend di album Contra yang hampir semua liriknya menggunakan sudut pandang pertama “I” yang mungkin juga merupakan ekspresi perayaan khas kelas menengah.  Yang saya maksud bahwa debat hari ini masih banyak hanya membahas tentang ke”aku”an. Bicara tentang kapasitas masing-masing dan blabla. Tapi bukankah ini memang hajatan debat masing-masing calon ketua yang artinya memang sudah wajar jika yang dieksplorasi adalah kapabilitas individu? Saya setuju dengan itu. Saya bukan menyepelekan pentingnya tokoh dalam hal ini tapi yang tersirat kemudian bahwa hal tersebut menjadi sangat dominan dan seperti kurang hirau dengan rantai yang lain. Kebersamaan. Dan kalaupun sempat terucap, bagiku ia tidak sedang seperti ingin meninju langit. Malu-malu.

Saya tertarik dengan pertanyaan kawan mantan Ketua Himahi (Angk. 2003) yang selalu saya banggakan dan saat menunggu jawaban dari kandidat saya sempat dumba’-dumba’ karena bagiku ini pertanyaan krusial dan bagiku sangat tricky. Mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing kandidat. Huh, saya sendiri tidak terlalu puas dengan jawaban-jawaban itu. Menurutku jawaban-jawaban itu mencerminkan apa yang saya maksud di atas dengan ke”aku”an. Sambil bercanda ke kawan yang kebetulan sedang chat denganku saat debat sudah dipenghujung waktu, “kalau saya jawaban pertanyaan itu sederhana, kelebihan saya karena punya kalian semua”. Hmm, saya menulis itu sambil tertawa pelan. Sepele mungkin tapi bagiku itu adaah wujud komitmen akan kebersamaan. Huh!

Dan akhirnya debat berakhir. Dan saya membayangkan Heal The World kembali mengalun. Dan semuanya berjabatan tangan. Dan semua merasa telah merayakan kebersamaan.

Apa yang saya tulis di atas mungkin banyak kelirunya. Toh saya sudah lama tidak banyak berdiskusi dengan teman-teman dengan lebih serius. Dan sangat wajar kalau setelah membaca ini akan ada yang berseloroh “sok serius”. Untuk itu, saya akan menjawab biarlah saya serius karena kalian sudah terlalu banyak menertawai hal-hal bodoh yang sayangnya kalian lakukan sendiri. Saya akan berposisi sama dengan Jakartabeat.net yang dianggap sok serius dengan jurnalisme musiknya dan dengan santai ditanggapi dengan “iya, kami memang ingin serius. Karena lihatlah wajah musik kita karena sudah terlalu sering menyepelekan yang serius-serius dan sering ada di pinggiran itu”.

Terakhir, sore ini saya membaca review buku tentang Jim Morrison dan saya tertarik dengan kata Jim Morrison yang kujadikan status sore ini. “Each generation wants new symbols, new people, new names. They want to divorce themselves from their predecessors.” Acuhkan saja yang kutulis di atas, toh setiap generasi selalu ingin terbang lepas dari pendahulunya. Be Free! Tapi bukankah kita akan menjadi sejarah untuk esok?

Dan yang paling terakhir, terima kasih untuk siapa pun yang telah mengorbankan jari-jarinya berdansa manis di akun @himahi.

Selamat ber Mubes ria!

3 Juni ‘11
Bantaran X Code
Every Teardrop is A Waterfall mengalun kencang…

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer