Mukaddimah Trilogi

“Bukankah hidup ada perhentian/ Tak harus kencang terus berlari/ Kuhelakan nafas panjang/ Tuk siap berlari kembali…berlari kembali/ Melangkahkan kaki…menuju cahaya.”

Pernah mendengar lirik lagu di atas? Cobalah ingat-ingat lagi kalau anda belum mengingatnya. Kalau anda memutuskan menyerah sebaiknya jangan karena untuk mengetahui di atas itu lirik lagu siapa cukup dengan meng copy liriknya dan biarkan mesin pencari google menunaikan kewajibannya. Dan anda pasti akan segera menemukannya. Selanjutnya, tersenyumlah!

Saya begitu terisnspirasi dengan lirik lagu gubahan Piyu dalam lagu Sang Penghibur ini. Menurutku, kita memang sering lupa untuk “berhenti” di satu masa saat sedang begitu kencang berlari mengejar hal-hal yang bahkan sering kita sendiri tidak tau untuk apa. Mengejar obsesi-obsesi yang hanya membuat kita puas sesaat. Mengejar sebuah benda yang hanya membuat kita puas saat ia telah terbeli dan setelah itu kembali ia kita campakkan di brangkas yang berisi “kepuasan-lepuasan” sesaat lainnya.

Kalau sedang membaca status teman atau mendengarkan curhat teman yang lagi sedang di ujung jurang keputusasaan, maka potongan lirik di atas akan menjadi wejangan yang ampuh. Tentunya setelah kuparafrase. Dan saat-saat paling membahagiakan adalah melihat senyum teman yang mengembang pelan setelah merasa bebannya pelan-pelan telah terbagi. Setelah itu ia akan “rehat” sejenak dan esok menjemput hari baru.

Dan sepertinya keinginan untuk menjemput hari baru dengan lebih ceria pula yang membuat kami memutuskan untuk minikmati Kaliurang di penghujung minggu kemarin. Saya punya beberapa cerita menarik yang pantas untuk dibagi ke siapa saja. Dan tentunya, cerita-cerita itu akan jadi bingkai hidup penting untuk kelak dikenang suatu sore saat rambut mulai memutih dan membiarkan anak-anak kecil itu berlari riang di tengah ruang toko buku sederhana yang tertata rapi.

Cerita-cerita “pemberhentian” sesaat kami ini akan saya bagi dalam tiga babak. Yah, serupa trilogi mini. Ini bukan sok-sok menyerupai Andrea Hirata dengan tetralogi Laskar Pelangi nya apa lagi tetralogi Pulu Buru Pram, sama sekali bukan. Alasannya sederhana, sesederhana menghirup udara yang masih segar di wilayah peristrahatan Kaliurang. Kalau cerita-cerita itu diceritakan dalam satu tulisan, takutnya akan banyak yang tak terceritakan dan tentunya akan sangat membosankan jika cerita itu terlalu panjang. Apalagi, saya kan tidak terlalu piawai meramu kata-kata menjadi untaian makna yang tak terputus yang meski ber bab-bab tidak akan membuatmu bosan. Jadi pilihan yang paling tepat, yah membuatnya jadi tiga bagian sehingga menjadi seolah Trilogi. Cihuy!

90’s Night, Menjambangi Langit, Menyusuri Puing. Ini adalah tiga judul untuk cerita-cerita di serupa trilogi mini yang semoga bisa lebih dulu selesai mendahului tugas-tugas kuliah yang menumpuk tak teratur di lembaran kertas “pengingat” yang kutempel di dinding kamar dan begitu malas kupandangi. Setiap kali memandangnya, sedetik kemudian seolah ruangan kamar yang sepele ini berubah menjadi gelap dan raungan srigala begitu jelas di telinga dan akhirnya aku memilih mengakrabi kasur yang tergeletak menggoda.

Doakan semoga serupa trilogi ini dapat segera menjumpai kalian yang tak pernah berhenti berlari! Cihuy…

2 Juni ‘11
Bantaran X Code
Bermeditasi bersama Explosions in The Sky...

Komentar

  1. saya jadi dapat ide dari muqaddimah ini...
    one of my post this week..."menunggu trilogi"
    hahhahahhaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer