....Jelmaan Rindu Mahatma.....


Beberapa hari terakhir ini, ada hal-hal yang mengganggu rasaku. Rasa rindu yang kubiarkan mengendap hingga nanti “obatnya” datang, dan terkadang kulampiaskan lewat deretan-deretan kesibukanku di English Home. Mulai dari mengurusi operasionalnya hingga sibuk merumuskan kurikulumnya. Dan itu lumayan berhasil, mencegahku meresapi rasa rindu yang kadang tiba-tiba datang. Walau kadang semua kesibukan itu jadi boomerang karena saat kerja terlalu banyak hingga berbuah lelah, aku pasti akan terkapar dalam kekosongan, dan betul –betul merasa bahwa ada bagian diriku yang lain yang sedang tidak bersamaku sekarang.
Seperti hal-hal lain yang dibiasakan, jujur aku tidak suka membiasakan diriku tanpa komrad. Dan ternyata, sejak kepergian komrad di Jogja sana. Aku lupa satu hal, bahwa bukan hanya aku yang sedang berkelebat dengan rindu. Aktivitas yang kujadikan tameng agar tidak menyerah, membuatku tidak sadar bahwa jagoan kecil kami, juga sedang merindu. Merindukan bapaknya. Yang walaupun hampir setiap hari berkomunikasi via telpon, namun tentu keberadaannya lebih dari semua itu.
Sebenarnya, sejak kecil jika bapak bebinya sedang pergi, ada-ada saja hal yang dilakukan untuk membuat Mahatma terbiasa. Waktu umur dua bulan, bapaknya menjalankan tugas di daerah Belopa, masih di Sul-Sel, masih dalam rangka sebagai abdi PNPM, aku selalu diingatkan untuk menyimpan baju bahkan celana dalam bapaknya yang sudah terpakai dan tidak perlu dicuci untuk jadi alas tidur mahatma, agar tidak rindu pada bapaknya. Dan si bapak pun dibekali sebuah baju mahatma yang paling “kacci” , untuk ia cium, saat rindunya membuncah. Merindu, bukalah sesuatu yang buruk tapi menurut pengalaman orang tua, jika bayi merinduakan bapak atau ibunya, dia mudah jatuh sakit.
Dan kali ini, Mahatma sudah pula berumur dua tahun. Simpan menyimpan pakaian bekas bapaknya, tidak lagi kulakukan. Karena Maha toh sudah bisa bicara dan jika rindu, langusng telpon saja. Bukan hanya pandai berceloteh dan mengikuti kosa kata orang-orang yang menurutnya menarik untuk diikuti, tapi ia telah mampu menemukan bahasanya sendiri. Ia telah mampu membahasakan keinginannya, mampu membahasakan penolakannya, ketidaktahauan dan ketidakmengertiannya akan sesuatu. Dan hari-hari terakhir ini, ia membahasakan yang ia rasakan dengan caranya padaku. Rasa rindunya.
Tentang ini, bukannya saya tidak pernah melibatkan maha dalam menjawab ketidakhadiran bapaknya. Hampir setiap hari, setiap kegiatan yang kami lakukan bersama, aku selalu menyelipkan cerita tentang bapaknya. Apa saja. Saat membaca buku misalnya, jika ia melihat gambar laki-laki dewasa, ia biasa bertanya “perti papa bebi di bu?” atau saat melihat orang berjenggot di tv, dia akan bilang “papa bebi juga ada bitunya(baca: begitunya) sambil memegang dagunya. Atau saat ia menginginkan sebuah lagu diputar di hp atau di tv, dan aku bilang tidak ada, pasti dia bilang “ minta ama papa bebi”. Yah..aku menghadirkan bapaknya dalam banyak moment yang kami lalui. Agar ia tidak merasa kehilangan. Dia pun selalu mengandalkan bapaknya dalam banyak hal, terutama dalam mencarikannya lagu-lagu baru, membelikannya sepatulah, gitarlah, skate board, baju, buku. Ia masih selalu mengandalkan bapaknya nun jauh  di sana.
Tapi ternyata, rasa rindu tetaplah rindu. Saat menelpon beberapa hari yang lalu, maha bicara serius dengan bapaknya. Hehehe. Mulai dari lagu sampe makan. Di ujung percakapan, sebelum tutup telpon maha bilang “uda na papa bebi! Slamulekum. Ati-ati na!  Belajar na!” semua kata-kata ini ia katakan karena mengulang kata-kataku. Tapi, di akhir ia bilang “jangan nangis na!” aku tertawa. Setelah telpon kututup. Aku bertanya
“Papa bebi suka nangis kah? “ tanyaku padanya.
“ia..kalo mau temu mamma..nangis papa bebi” aku terdiam. Mungkinkah, selama ini, saat beberapa tangisnya yang tak mampu kuterjemahkan dengan baik, adalah jelmaan rindunya. Sehingga ia juga berpikir, kalau papanya mau bertemu dan tidak bisa, bapaknya akan menangis sepert yang ia lakukan.
Dan, tadi kawan lama mami Heri datang. Membawa anaknya yang tidak kalah lucu dibanding dua jagoan kecil di rumah ini. Seperti anak-anak lainnya mereka langsung berbaur dan main bersama. Main rusa-rusaan yang maha anggap kuda-kudaan. Saat anak kecil yang dinamai Amirah itu asyik bermain dengan kuda maha, maka sontaklah si empunya merasa tersingkir. Ia berusaha merebutnya, walau kucoba memberiya alternatif mainan yang lain.
“ itu dede amirah cuma pinjam, Nak! di rumah dia punya kuda.”kataku
“kuda...hose (horse)_? maksudnya kuda sungguhan. Tanyanya. Aku mengangguk. Akhirnya, ia mengalah dan kembali bermain hingga Magrib dan tamunya pulang. Setelah pulang, maha bertanya
“bu..di mana belli uda horse dede Amiya?” waaah ternyata ucapanku terekam dalam memorinya.
“nda tau...bapaknya yang beli” kataku. Ia terdiam
“kenapa?” tanyaku
“mamma...nda ada bapaknya..kolah bapaknya mamma, jau...nda bisa beli uda...(maha, nda ada bapaknya, sekolah bapaknya maha, jauh...nda bisa beli kuda)”katanya sembari membelakangiku dan berjalan meninggalkanku.
Aku berlari mengejarnya dan menggendongnya
“iya..bapaknya maha sekolah to? rindu sama bapa bebi?” tanyaku meyelidik
“ia...indu mamma, blum pulang papa bebi...bam toyib...” katanya datar. Aku tiba-tiba merasakan ia begitu merindukan Papa Bebinya. Dan dia membahasakannya. Jagoan kami mulai paham membahasakan hatinya. Hhh...sebuah rahasia kuungkap lagi dari buku besar Mahatmaku. Buku tebal penuh misteri dan keajaiban. Bahwa, sekuat apapun aku berusaha, aku toh tidak kuasa mengobati rasa rindu maha pada Papa Bebinya.

Come home soon papa bebi! We’re waiting for you. We miss you...


_Ibu Mahatma_
2 Juni '11
saat tokoh utamaku sedang terlelap....

Komentar

Postingan Populer