Birthday Celebration Is About Pleasing Each Other, Isn’t It!

Dulu saya selalu agak khawatir seiring dengan bertambahnya umur, dan itu sangat terasa setahun kemarin saat usia sudah menginjak kepala tiga. Alasannya macam-macam, dari yang paling lucu hingga yang paling seram. Tak usahlah disebutkan disini alasan-alasan itu. Namun, seiring waktu berjalan, melewati banyak hal apalagi setelah berkeluarga, dan kembali sadar bahwa pertambahan usia adalah keniscayaan, akhirnya semuanya kembali jadi baik-baik saja. Tak ada yang terlalu perlu dikhawatirkan secara berlebih. Dalam hal ini, saya setuju dengan slogan lama yang penuh aroma pembenaran, “Tua itu pasti, dewasa itu pilihan!”...wkwkwk
Tak terasa sudah menginjak umur 31 tahun. Satu hal yang sebenarnya selalu membuatku tak begitu nyaman dengan tapak usia hari ini karena selalu merasa tak cukup berjihad dan berijtihad dan memanfaatkan waktu untuk belajar, mendapatkan ilmu dan pengetahuan baru dan kemudian di tempatkan dalam porsinya sebagai praktik sosial secara bersama-sama. Terlalu banyak waktu yang sepertinya terbuang untuk hal-hal yang lebih cenderung selfish, untuk kepuasan diri sendiri, meski tak ada yang begitu sia-sia dengan semua itu. Paling tidak semua itu bisa menjadi pembanding bahwa berbuat untuk diri sendiri sebenarnya akan lebih baik ketika ia lalu menjadi “senyum” dan “syukur” bagi yang lain. Selalu lah menyiapkan ruang untuk mengulurkan kebahagiaan kepada yang lain meski di sudut yang paling sempit sekali pun!
Dua hari lalu, bertepatan dengan tanggal saat 31 tahun lalu saya dilahirkan, istriku tercinta memberikan kado berupa sebuah tulisan yang diposting di blog ini. Ritual memberi kado berupa tulisan saat saya berulang tahun telah lama ia lakukan bahkan sebelum kami menikah. Sejak lama, bahkan sebelum saya menaruh perasaan ke perempuan yang hingga kini masih kupanggil “komrad,” saya telah mengagumi karya-karyanya. Puisi, cerpen hingga catatan-catatan yang digagas begitu apik, dengan alur yang jelas dan tanpa kehilangan substansi tentunya. Tak salah kemudian, kalau perasaanku selalu diaduk-aduk setiap membaca karya-karya Ibu satu ini. Betul-betul jatuh cinta ku dibuatnya!
Kebiasaannya memberi berupa tulisan ini pula yang kemudian mengilhamiku untuk memberikannya kado serupa saat ia berulang tahun akhir November tahun kemarin. Tak tanggung-tanggung sepuluh tulisan yang kukerjakan dalam waktu kurang dari tiga hari, yang kukemas dalam sebuah bingkisan indah yang bertajuk Ten Stories A Bunch of Love.
Kado tulisan untuk ulang tahunku kali ini, terasa lebih “dalam.” Alasannya, ini untuk kali kedua saya berulang tahun dan tidak bersama keluarga kecilku setelah tahun kemarin juga tak bersama mereka. Terus, ulang tahun kali ini seperti menjadi ruang refleksi dan kontemplasi lain atas capaian-capaian kecil yang kami raih sebagai sebuah keluarga kecil dan sederhana. Memang tak begitu mudah, tapi kami bersyukur karena semuanya dikerjakan dengan senyum dan tanpa paksa. Dan seperti biasa, saya menitikkan air mata sambil berujar syukur atas ini semua!
Setiap membaca tulisan Ibunya Mahatma, apalagi setiap edisi ulang tahunku, saya selalu tak bisa serta merta memberi komentar, walau hanya sepotong komentar sekalipun, seperti ketika membaca tulisan orang lain. Alasannya juga sederhana, komentarku sudah ikut luluh dalam setiap tetes air mata. Ini bukan alasan yang sok dramatis dan artifisial. Sama sekali tidak! Tapi begitulah adanya. Selalu tak sanggup merangkai kata untuk mengomentari tulisan-tulisan Ibunya Mahatma. Tapi kali ini, istriku agak “memaksa.” Dan akhirnya kutemukan cara untuk memberi respon atas kado indahnya untukku itu.

“tunggu kejutan ku,” jawabku untuk komentar yang ia minta.
“loh, memangnya yang berulang tahun siapa?” tanya balik istriku.
“Birthday Celebration Is About Pleasing Each Other, Isn’t It!” jawabku singkat.

Dan begitulah, perayaan sederhana untuk “ruang kontemplasi” ini kuhadiahkan untuk siapa saja yang telah memberi doa dan selamat untukku. Terkhusus untuk istriku. Ulang tahun bagiku bukanlah ruang selebrasi individual yang membuat sang “pemilik hari lahir” seolah berada di altar yang tak terjamah. Sebaliknya, ia adalah ruang untuk membagikan kebahagiaan dengan porsi yang tak kalah heboh dengan semua “bingkisan” yang telah terucap atau terberi.

Sekali lagi, terima kasih Istriku!

Jogja, 5 April 2012
After the celebration.

Komentar

Postingan Populer