Untuk Malam Yang Selalu Kunanti…

Malam itu, di suatu hari di akhir Desember 2004, niat kami berlima untuk senang-senang dan berkumpul bersama teman-teman akhirnya harus diawali dengan cerita yang kurang mengenakkan dan membuat marah…….

Tujuan kami adalah Gedung Kesenian Societeit de Harmony (sudah benar penulisannya? Saya selalu susah menulis apalagi melafalkan nama gedung ini). Berangkat dengan pete-pete 05 arah Kampus Unhas - Cenderawasih dan berhenti di Jl. Arief Rate untuk menyeberang dan ambil pete-pete selanjutnya menuju Societeit. Nah disinilah awal mula bayangan kegembiraan mulai berganti muka bussu. Menuju ke Societeit kan sangat simpel kalo dari Arief Rate, cukup ambil pete-pete  yang lalu lalang banyak sekali yang rutenya Cenderawasih-Sentral yang lewat Fort Rotterdam dan akan pasti lewat depan Societeit sebelum menuju sentral dan balik lagi ke Cenderawasih. Saya yakin kami berlima sangat tau dan hafal rute itu. Tapi entah kenapa kami memilih pete-pete yang lagi stamplas di samping Kafe La galigo, begitu seingatku. Kenapa mesti pete-pete itu, sekali lagi padahal banyak sekali kan pete-pete yang lalu lalang dan akhirnya kami memilih pete-pete itu. Setelah naik, pete-pete itu belum langsung  berangkat. Mulailah perasaanku tidak enak karena sepertinya ini tidak lumrah. Oh iya, sebelumnya kami sudah dan bahkan berkali-kali menanyakan ke bapak sopirnya.

“ke sentral jaki toh?,” kataku.

Dan kembali dipertegas salah satu temanku, “lewat gedung kesenian jaki pak toh?”.

Dengan agak cuek si sopir menjawab “iye…sabar maki’”.

Ingat! kami sudah menanyakan arah pete-pete ini jadi kesalahan selanjutnya  tidak sepenuhnya kesalahan kami. Setelah cukup lama akhirnya pete-pete itu “meluncur” juga serupa pengantin baru yang masih mengenakan pakaian adat.

uh lambat kamma pa’” begitu keluhku dalam hati.

Muka yang sedari awal tadi sudah bussu selanjutnya sudah terlihat mau mi jappo’. Dan kekesalan yang mulai bertumpuk-tumpuk tidak berhenti sampai disitu. Pete-pete ini sepertinya salah jalan, begitu pikirku awalnya. Setelah masuk Pantai Losari, eh dia malah belok kiri menuju ke arah Tanjung. Wah, kami mulai panik.

“Pak mauki kemana ini” Tanya salah satu temanku dengan muka yang tidak bersahabat.

“ke GTC ki’ dulu de’,” dengan santainya si bapak menjawab.

“Haa…nda salahji itu pak sopir”  tanya seorang kawan kepadaku dengan wajah tidak percaya.

Lama baru kami sadari bahwa pete-pete itu memang khusus trayek menuju GTC. Jadi tidak ada yang salah sebenarnya hanya kedua pihak (kami dan pak sopir) rada-rada benga dikit.

Setelah itu, sangat terlihat selama perjalanan kami berlima begitu tidak nyaman di atas pete-pete, sembari sesekali melihat jam tangan untuk memastikan bahwa kami belum terlambat. Yang membuatku semakin merasa tidak nyaman justru karena saya terus membayangkan telah melewatkan beberapa penampilan dan yang paling saya khawatirkan adalah melewatkan penampilan parodi teman-teman baru, saat itu tentunya mahasiswa baru angkatan ’04 yang menyebut diri mereka Hackers. Selama perjalanan yang menjemukan itu, terbayang seisi ruang perform gedung kesenian sedang terpingkal-pingkal tak karuan menyaksikan parodi yang saat itu di sutradarai oleh Kakak Dudi yang memang punya track record membanyol yang tidak biasa dan tentunya elegan. Nantilah kita bercerita khusus tentang mahkluk yang satu ini. Saya punya segudang kisah tentang dia.
Parodi di acara itu, paling tidak menurutku, bukan sekedar panggung mengumbar kelucuan baik dari naskah dan ide cerita yang diusung maupun atraksi serta kreativitas para pemain yang menurut beberapa teman yang pernah menjadi penampil di parodi GM memang selalu muncul dengan sendirinya dan bahkan sering sudah keluar dari naskah namun tetap mengikuti alur cerita tentunya. Sama sekali bukan. Bagiku, parodi Golden Moment juga sekaligus merupakan ekspresi, statement serta posisi kita atas dunia dan hingar bingarnya yang sering hampa tanpa makna. Serupa panggung yang rendah, luas tanpa barikade*, panggung parodi membawa kita pada banyolan-banyolan segar yang sarat knowledge (ini mengutip kata kawanku beberapa pagi lalu yang sampai saat ini belum juga menyelesaikan studinya di Belanda dan juga sangat dekat dengan parodi GM, ah mudah-mudahan ia segera menyelesaikan studinya dan kembali bercerita bersama) dan mengajak kita “menertawai” pola tingkah “kita” sendiri yang seringkali begitu “menuhankan” ambisi dan akhirnya membuat kita alpa terhadap kewajiban sebagai manusia.

Pete-pete itu tetap melaju lambat melewati jalur pantai losari yang sekejap berubah menjadi tidak indah karena sejak awal kami telah kecewa dan seperti menunggu pengumuman ujian, kami  tidak sabar lagi dengan sekeras suara yang kami miliki meneriakkan “kiri pa’,” dan segera lompat dan membiarkan “mimpi buruk” itu berlalu mencari peruntungan nasibnya di jalur Arief Rate – GTC – Sentral.

Belum sampai juga. Kembali bayangan lain menyeruak. Kali ini seperti Bartowsky di serial Chuck yang saban senin (kalo tidak salah, kalo salah dibetulkan saja) di putar NBC, tiba-tiba saya nge flash dan melihat seisi gedung memberikan standing ovation kepada para penampil parodi yang berhasil membuat seisi gedung tertawa tappokara’ .  Dan tidak lama berselang tiba-tiba suasana gelap, hening dan dari depan panggung mengalun lagu itu, lagu yang selalu kutunggu dinyanyikan bersama-sama di tiap event yang dibuat teman-teman Himahi Unhas. Sekali lagi bersama-sama. Lagu yang meski kunyanyikan sambil menghormat kepada matahari saat ospek ku 11 tahun yang lalu, namun tetap begitu syahdu dan penuh energi. Lagu yang kutunggu dan akan kuhayati hingga nada terakhir.

Sesaat detik-detik rutinitas yang memenjara berhenti.

Ini bukan sekedar simbolisasi semu tanpa substansi tapi menurutku lagu ini juga sekaligus merupakan bentuk “peng iya an” kita terhadap komitmen atas upaya mewujudkan dunia yang rela menanggalkan “baju perang” dan bersama menyiapkan kisah-kisah indah tentang laku kita terhadap bumi untuk teman-teman pencerita yang siap lahir esok.

There's a place in your heart
And I know that it is love
And this place could be much
Brighter than tomorrow.
And if you really try
You'll find there's no need to cry
In this place you'll feel
There's no hurt or sorrow.
There are ways to get there
If you care enough for the living
Make a little space, make a better place…..

“Kiri pa’” teriak seorang kawan dan langsung beranjak hendak keluar meski pete-pete belum betul-betul berhenti.

Teriakannya betul-betul mengagetkanku dan segera membuat lamunanku buyar seperti yang selalu dirasakan Chuck Bartowsky setelah nge flash dan sadar kalau di depannya telah berdiri manis seorang Sarah sambil mengumbar senyumnya  yang selalu dipuja-puja ketiga teman kosanku dan membuat mereka lupa kalau hidup ini punya logika ruang dan waktu.

“akhirnya sampe tonjaki’,” ucapku. Dan pete-pete itu masih terlihat menyusuri Jl. Jendral A. Yani dengan malu-malu.

“cepa’ maki ka’ mulaimi acaranya” suara yang entah dari mana itu kembali mengagetkanku dan seolah mengajakku segera beranjak menuju ruangan pertunjukan.

Setelah basa-basi sedikit dengan beberapa teman yang masih di luar dan mengisi daftar hadir, saya bersama teman-teman senasib tadi masuk ke ruangan pertunjukan yang lampunya telah dimatikan dan hampir semua kursi untuk penonton telah terisi. Dan kami memilih sisi kanan bagian atas jejeran kursi penonton.

“Pokoknya awas mentong kalo nda’ lucu ini parodi”  sergahku kepada comrade yang duduk di sampingku yang kelak menjadi ibu dari jagoan kecilku. Aroma kemarahan dan kejengkelan ternyata belum sirna. Pikirku, cerita suram kami sebelum tiba di gedung kesenian harus dibayar tuntas oleh perform teman-teman Hackers.

Dua orang itu tampil diatas panggung setelah sebuah penampilan. Bung Kumis dan Yusnita. Dua orang yang ternyata jadi host GM tahun itu. Ini seingatku.

Kumulai tertawa.

“GM kali ini pasti heboh”  kataku  kepada Comrade dengan agak sedikit mengeraskan suara karena suasana begitu heboh akibat celoteh kedua host yang sebenarnya tidak lucu tapi melihat hostnya saja sudah mengocok perut. Ah, beliau (baca:bang kumis) ini juga banyak cerita. Nantilah kuceritakan atau kalau tidak sabar cobalah bertanya ke mereka-mereka yang hidup sezaman. Dan mulailah tertawa!

Dan selebihnya, seperti tahun-tahun sebelumnya GM menjadi begitu istimewa dan pasti tak akan terlupakan.

Parodinya membuat penonton seisi gedung seakan tak bisa bisa bernafas karena terus tertawa. Bingung memilih kata untuk menggambarkan kelucuan-kelucuan itu. Dan semuanya akan hening saat pergantian adegan dan lampu dipanggung dimatikan. Semuanya tidak sabar untuk adegan selanjutnya dan mulai menebak-nebak banyolan-banyolan apalagi yang akan menghiasi panggung Societeit yang luas itu. Dan betul saja adegan-adegan yang kalau hanya dibandingkan dengan OVJ masa kini atau Srimulat masa lalu pastilah lewat. Tidak percaya? Tanyalah orang-orang disekitarmu yang ada di zaman-zaman itu.

Lelah tertawa. Meski menertawai “diri sendiri”.

Lalu, sesi yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Semua berdiri tanpa dikomando laksana anak zaman yang siap menjemput perubahan. Semua melantunkannya dengan khidmat. Di panggung yang rendah luas tanpa barikade* itu mereka saling bergandengan tangan seolah ingin meyakinkan diri mereka dan kita semua bahwa kami siap tidak hanya menjadi objek pasif dan memproklamirkan diri menjadi subjek aktif proses transformasi.
Selanjutnya, semuanya saling bersalaman. Tidak ada yang merasa kerja paling banyak. Tak satu pun yang mengklaim ini kegiatan angkatanku. Dan mulailah kami merayakan kolektivitas. Sendu dan haru memang tapi sarat makna. Sendu dan haru minim air mata dan dayu mendayu. Dan itu selalu kutunggu. Dan mungkin kamu juga menantinya. Semoga iya!

You and for me / Heal the world we live in
You and for me / Save it for our children

Di sudut panggung ia masih terdengar.

---------------------

Malam itu, aku lupa kapan tepatnya, kami datang bertujuh menggunakan mobil seorang kawan yang beberapa hari lalu kudengar akan menampilkan kebolehannya bernyanyi dan bermain keyboard di GM tahun. Soal kemampuannya bermain keyboard baru kutau kemarin saat ia mengirimkan link youtube hasil rekaman sederhananya yang menurutku cukup berkualitas. Statemen terakhirku ini pasti akan controversial untuk beberapa orang tapi itu biasa toh mereka setelah itu akan kembali bercerita bersama dan memulai “konflik” yang baru lagi, begitu seterusnya. Malam itu, sangat istimewa karena saya bersama comrade mengajak jagoan kecil kami, mahatma, ikut merayakan kebersamaan.
Sebenarnya malam itu punya cerita yang kurang mengenakkan diawalnya, tapi tak akan kuingat lagi.

Harapan selalu sama dan harapannya terus bertambah tiap tahunnya. Setelah dua tahun sebelumnya tidak mengikuti GM, maka saya sangat berharap kali ini bisa “berpesta” dengan senyum dan tawa bahagia di penghujung acara. Makanya maha kuajak, karena kita akan ber “pesta”, begitu janjiku.

Selanjutnya…

Tibalah penampilan parodi. Menanti-nanti dan berdebar menunggu “kelucuan-kelucuan”. Adegan ke adegan berusaha tetap berkonsentrasi sembari berusaha mengaktifkan syaraf tawa yang mungkin sepertinya kurang begitu aktif sejak saya berhenti dari atau tepatnya “diberhentikan” dari tempatku bekerja di Kota Tenggara sana. Begitu pikirku. Rutinitas memang sering “membunuh” kegembiraan-kegembiraan kecil dalam hidup. Karena alasan yang mungkin kucari-cari, saya akhirnya memilih keluar gedung dan tak kusangka sama sekali apa yang kulihat. Kudapati teman-teman dan beberapa senior juga berada di luar. Kaget dan heran.

“apakah syaraf tawa mereka juga sudah jarang diaktifkan sehingga juga harus mencari-cari alasan keluar dan atau mereka justru tidak pernah “hadir” di dalam?”, pertanyaan-pertanyaan itu menyergapku bertubi-tubi.

Pemandangan yang sebelumnya tak pernah kutau dan kulihat karena dulu tak pernah berpikir melewatkan sedetik pun suasana kehangatn dan kebersamaan GM. Iya, tak akan walau sedetik.

Dan yang paling miris, aku lebih memilih berada di luar gedung bersama teman-teman dan senior hingga akhir acara. Dari dalam gedung kudengar sayup-sayup…

If you care enough for the living
Make a little space, make a better place…..

Aku tak terusik. Meski di “sana” ada yang berontak. Dan semuanya keluar dari gedung dengan tawa renyah.

You and for me / Heal the world we live in
You and for me / Save it for our children

Di sudut panggung ia masih terdengar namun sendu dan ber “air mata”. Huh…..

____________________


Malam itu, yang tak akan kuingat kapan waktunya, aku mengecup kening mahatma dan berjanji untuk mengajaknya “berpesta” di lain tahun, di sutu malam, yang mungkin akan membuatku menyimpannya rapat dalam ingatanku. Semoga, itu doaku.

_oo_


Ayo siapkanlah cerita untuk siapapun bahwa malam esok kalian akan “berpesta” merayakan kebersamaan yang reflektif.

Semangat !
Bergembiralah!

Selamat ber “GM”


Saat Frau mengalun dengan mati muda string…
Bantaran X Code, Jogjakarta
April, 2011



* kukutip dari lirik lagu Jenny Menangisi Akhir Pekan








Komentar

Postingan Populer