"selamat komrad"

Aku masih ingat, pagi itu. Kita sama-sama dibungkam oleh rasa bernama “takut”. Kita juga dibawa menari dan berdansa oleh rasa yang dinamai “bahagia”. Masih di pagi itu, kita sekaligus terpasung oleh keinginan banyak orang yang ingin turut andil dalam “janji indah kita” dan sejak hari itu, tiga tahun yang lalu. Aku yakin, kita tidak pernah saling meragu. Bahkan sejak kali pertama bertemu. Kamu yakin, aku akan menonton film picisan yang kau perintahkan sebagai senior untuk esoknya kuceritakan padamu. Dan aku yakin sebagai yunior, kamu akan menagihnya.
Pergolakan , pergulatan ide dan mimpi kerap kali memojokkan kita dengan rasa takut akan sebuah lembaga “pernikahan”. Sebuah bangunan kokoh yang mungkin saja akan menggerus mimpi-mimpi besar kita, yang selalu dibuat radikal, yang selalu dirancang revolusioner, tapi tidak. Kamu, aku, kita, tidak pernah saling meragu. Kita hadang kerasnya feodalisme adat dan kebiasaan, meyakini bahwa aku dan kamu akan lebih kuat jika menyatu. Kataku pada ibu dan semua keluarga yang meragukan kami,  begini : “aku telah siap menjadi istri, komrad pun siap menjadi suami, apa lagi?” Saat semua orang meragu, karena usia yang belum lagi matang, karena penghasilan yang belum juga ada, kita toh melangkah menuju “rumah”.
Kita tidak pernah saling meragu, saat berangkat memikul sebuah dos berisi buku, beberapa lembar kaos buatan kita, dan menuju mesjid raya di beberapa Jumat, memulai usaha dagang kita, karena menyerah dengan curangnya permainan di sebuah LSM di Kendari. Kita sama-sama yakin bahwa darah yang saat itu mendaging di rahimku sedang kita ajarkan untuk tidak menutup mata atas semua jalan yang dibuka Sang Maha untuk kita. Sejak lama telah kami tanggalkan rasa malu dan rendah diri. “Lakukan apa saja, tanpa menyikut orang lain “ kataku pada si kecil.
Kita tidak tidak pernah saling meragu, saat memutuskan untuk menuju Makassar meninggalkan Kendari dengan pinjaman dari ibu, bahwa ada cita yang telah kita telantarkan di kota Anging Mamiri itu, dan kita berangkat menjemputnya kembali. Sekali lagi, kita sama-sama yakin, ada hidup yang lebih baik yang bisa kita bangun di kota ini.
Pun, saat jatuh di lubang yang sama kedua kalinya, lubang yang menghujam kita dengan peluru-peluru kemapanan, bernama kerja. Kita toh yakin, bahwa kita akan memulainya dari situ. Walau pada akhirnya, keyakinan kita salah. Kita salah telah mengajarkan Mahatma untuk tunduk pada ketakutan “miskin”.
Lalu, kita sama-sama tidak meragu, untuk kembali pada hidup kita yang sesungguhnya, hidup yang seharusnya tidak coba untuk kita tinggalkan, hidup yang memberi kita ruang untuk menata malam dengan puisi, untuk menyapa mentari pagi dengan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng, hidup yang mengajari kita untuk menata keuangan kita yang memang tidak perlu terlalu banyak tapi selalu bisa mencukupi,  hidup yang tidak memenjarakan kita dalam rutinitas, hidup yang saat sore hari kita nikmati di pinggir danau Unhas, atau sekedar menonton basket di PKM, hidup tanpa tekanan bos, karena kitalah bosnya, bos sablon kecil-kecilan, yang saat orderan lagi melimpah, mempekerjakan dengan paksa “anak-anak kos kita”, hidup yang memberi kuasa pada kita untuk menentukan apakah harus tidur atau bekerja, hidup yang tiidak menjenuhkan, hidup setiap hari seperti hari baru. Yah…sebuah hidup yang telah kami pilih dengan sadar, dan semakin sadar saat menjalaninya, bahwa inilah yang paling benar.
Sampai, umur ke tiga perjalalanan kami, kami tidak meragu bahwa kami tidak boleh berhenti untuk saling mempelajari, tidak boleh berhenti di sebuah titik nyaman lalu menutup semua kemungkinan. Kami berdiskusi, tak henti berkomunikasi, kami berdebat, kami saling memarahi, tanpa memaki, sesekali menangis, kami mengkaji, menganalisis, dari segala perspektif, dan semua itu akan berhenti pada sebuah kata “sepakat” dan senyuman.
Dan inilah cinta kami, cinta yang penuh gairah untuk terus menggali kedalaman hidup, cinta yang tidak pernah berhenti bertanya, cinta yang tidak meneror apalagi  menguasai, dan cinta yang tak pernah lelah berbagi.
Untuk cinta kita yang selalu saling meyakini…
“selamat komrad”
Always love you…

Komentar

Postingan Populer