...pulang...

ada saatnya untuk kembali
sekedar berbagi mimpi
pada satu satunya harapan
kuharap tetap bersama

 Kuputuskan untuk pulang pagi ini, tiba-tiba dua hari yang lalu, aku merasa ingin sekali ada di rumah. Menghabiskan waktuku bersama sepi di kala pagi, saat semua orang menjalankan aktivitasnya di luar, Heri, kakak tertuaku sekaligus donatorku, ke kantor, mama dan Ana ke sekolah. Menunggu adzan magrib di rumah nenek Cingke, bukan ibu dari ayah atau ibu tapi dia sudah seperti keluarga, konon katanya dia yang mengasuhku waktu kecil, rumahnya tepat di belakang rumah. Melewatkan malam dengan menonton acara tv yang sama sekali tidak menarik tapi, mampu mengumpulkan kami sekeluarga di depannya. Tiba-tiba aku rindu semua itu.
Kunikmati bentangan alam melalui kaca mobil. Betapa indah dan kuasa penciptanya. Perjalananaku kali ini sangat menyenangkan, tentunya tanpa berdesak-desakan, bahkan tak satupun menggangguku di bangku belakang. Aku bahkan tidur seperti  di kamar sendiri, sebelum seorang anak kecil duduk menemaniku dan mengahabiskan snackku. Sekitar 90 menit lagi, aku akan sampai di kota tercinta.
Rumahku belum berubah, hanya ada beberapa bagian yang diperbaiki, kursi-kursi di ruang tamu atas ditukar dengan yang ada di bawah. Dapur tetap saja berantakan, kutahu itu ulah mamaku yang sama sekali tak tahu bagaimana membersihkan dengan baik, itu kata kakakku. Kamarkupun tak kalah berantakannya, sekarang bukan lagi milikku. Halaman juga seperti biasa, kotor penuh daun bambu. Pohon bambu di depan rumah semakin rindang, ini pasti menambah kerja adikku yang harus menyapu tiap sore. Rumah sakit yang berada di depan rumah, memberi suasana baru, sedikit megah tapi juga agak menakutkan.
Selebihnya.., terlalu banyak yang mesti kuceritakan. Kisah-kisah baru yang sebenarnya sudah lama ada di sekitarku, hanya dengan tokoh-tokoh berbeda.

Kisah Ria…

Setelah menikah enam bulan yang lalu, aku baru melihatnya hari ini. Pernikahan yang tak ia ingini tentunya, selain karena ia punya pacar, ia masih terlalu muda untuk berumah tangga. Umurnya kira-kira tiga tahun lebih muda dariku. Ia masih terlihat sangat manis
“ Kamu masih cantik, makin putih dan…wow cincinmu makin banyak..” kataku bercanda samil menghitung cincin di jarinya. Ia hanya tersenyum dan mencibir. Sambil menawariku barang dagangan, aku masih getol berbicara.
“ Aku ingin dengar kisah rumah tanggamu. Bukan rahasia khan? Atau minimal tentang suamimu.” Dia tersenyum kecut, kecut sekali.
“ Tidak usah ketemu dia, nanti kamu muntah.” Jawabnya tak jujur. Dari beberapa orang yang kutanya tentang suaminya, mereka semua bilang kalau suaminya cukup tampan. Bahkan, Ana, adikku yang jarang memuji orang lain, pun berkata yang sama.
Aku memutuskan untuk berhenti membicarakan itu. Kutangkap ia tidak senang menanggapinya. Matanya berkaca-berkaca saat menyebut nama suamiya.
“ Aku dimanfaatkan ”  katanya memulai pembicaraan kembali tentang sepotong kehidupannya empat bulan terakhir. Ia bercerita dengan sangat lancar, seperti sedang membicarakan sesuatu yang sudah lama ia pendam. Matanya tetap saja berkaca bahkan tambah bening. Kurasakan betapa ia sakit.
Keluarganya memang tak mampu, miskin. Ibunya yang sudah menjanda sejak 4 tahun yang lalu, memilih menikahkan anaknya sebagai salah satu jalan untuk meringankan beban keluarga. Dan ia tak punya pilihan lain.
Aku mendengar semua cerita yang mengalir mulus dari bibirnya. Aku bahkan tak bisa tersenyum, hanya berusaha bijak melihat masalahnya. Tak ada lagi tawanya yang meledak, suarnya yang bergetar ketika ia mencaci ibunya yang menurutnya tak bisa jadi ibu yang baik. Aku tak menemukannya.
Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa.

Kisah Opie

Kami saling menatap saat aku membuka pintu dan kudapati ia duduk di teras. Ia tumbuh besar dan subur bahkan jauh lebih besar dari aku yang jauh lebih tua darinya. Kalau tidak salah ia berumur 13 tahun.
“ Kelas berapa sekarang?” tanyaku seperti biasa pada semua anak-anak di sini. Aku lebih suka memulai pembicaraan dengan itu. Ia menunduk lalu menggeleng.
“ Kenapa?kamu tidak sekolah lagi?” tanyaku menyeledik. Ia masih saja terdiam
“ Kenapa?” aku tak berhenti bertanya. Ia ditinggal ibunya sejak kecil, anak kedua dari tiga bersaudara. Mereka tinggal di samping rumah dengan kakeknya yang juga ditinggal mati istrinya sekitar setahun yang lalu. Ayahnya masih ada, tapi hanya sesekali mengunjunginya.
“ Bapakku, tidak mau menyekolahkanku lagi. Kakek juga begitu.” Katanya lambat. Yang kutahu kakeknya cuma seorang pensiunan guru yag nembiayai hidup ketiga anak itu.
Setelah kutanya pada ibu, katanya ayahnya sudah tidak bisa membiayainya sekolah lagi, penghasilannya sangat sedikit terlebih setelah pasar sentral terbakar.
“ Mana bisa sekolah? Mau masuk SMP, harus bayar uang pangkal sekitar 200.000. Tanya mama tanpa meminta jawaban.
“ Sebentar lagi dia juga akan dinikahkan…, mungkin………..

Kisah Paiz, Nonoy dan Firza.

Aku baru melihat mereka hari ini. Mereka bermain di halaman rumah dengan Rendi, adik Opie. Aku langsung tertarik melihat mereka. Anak-anak itu sangat lucu, dengan rambut keriwil-keriwil, dan kulit yang sangat putih.
“ Siapa mereka?’ tanyaku pada Rendi.
“ Saya Faiz, itu Nonoy kakakku, itu Firza sepupuku.” Jawab si gagah kecil menjawabku. Aku tersenyum. Dia begitu menarikku.
“ Kau tinggal di mana? “ tanyaku sembari mendekatinya yang sibuk melahap jalangkote di tangannya.
“ Saya tinggal situ” katanya menunujuk rumah di depan samping rumahku.
“ Sama Nenek sama Tante Eda.” Katanya menambahkan.
“ Kamu sudah sekolah? Tanyaku lagi
“ Belum, saya mau sekolah di Malaysia, bapak sama ibuku ada di sana sekarang. Mereka cari uang untuk sekolahku. Kalau Firsa sudah sekolah.” Terangnya tanpa melihatku.
“ Oh.., mamamu di Malaysia? Tanyaku lagi
“ Iya.., sudah lama, saya dititip sini. Katanya mamaku sama bapakku mau datang jemputku di sini, sama Nonoy.” Katanya dengan harapan. Harapan seorang anak yang lugu dan amat jujur.
Aku tersenyum, kuharap itu bukan kata-kata putus asa. Kupandangi mereka yang mulai berlalu. Kudengar sayup-sayup Tante Eda berteriak memanggil mereka. Tante Eda sudah punya satu anak, suaminya bekerja sebagai kuli kasar. Semoga ketiga anak itu diterima tidak sebagai beban. Aku bukan tidak yakin mereka disayangi oleh tante Eda, tapi.., aku tahu lingkunganku. Aku hidup di sini hampir 20 tahun, banyak yang aku tahu dan mereka tidak mengerti.
“ Mereka sering dipukuli…” kata Rendi mengakhiri harapanku. Aku sudah duga seperti itu.

Kisah Tante Rabiah

“ Dg. Aji (begitu ia memanggil ibuku) saya akan kasi cincin ini, sebagai jaminan. Ini cincinnya Ria, saya Cuma mau pinjam 10.000 rupiah. Riri sudah harus membayar hari ini.” Pembicaraan itu samar-samar kudengar. Aku masih di tempat tidur, tapi bisa kutebak dia Tante Rabiah.
Masih ingat Ria, gadis yang menikah karena dijadikan tumbal? Tante Rabiah ibunya. 9 orang anak harus ia urusi sendiri. Anak pertamanya, Male, yang juga sahabatku, tidak bisa diharapkan lagi. Anak keduanya, bekerja sebagai pegawai koperasi di Gowa. Dan yang lain masih kecil-kecil. Ia punya semangat besar untuk menyekolahkan anaknya, untuk biaya sekolah ia kadang harus meminjam uang, menjual atau menggadaikan barang-barangnya, atau bahkan dengan mencuri.
Anak-anaknya pintar, tapi dia tidak punya apa-apa lagi. Beberapa keluarganya yang katanya kaya, memilih untuk tidak mengurusi mereka. Ia tinggal di depan rumah juga, sebuah rumah kecil atau lebih tepat dikatakan sebuah gubuk yang sudah reot. Ditendang sekali saja mungkin sudah ambruk. Suaminya meninggal akibat TBC, sekitar tiga tahun yang lalu. Ia tidak punya pekerjaan, sementara masih ada sekitar enam nyawa yang harus ia hidupi. Kiriman anak keduanya tiap bulan tidak mungkin cukup, bahkan untuk makan.
Aku masih dengan malas menyantap nasi goreng buatan mama. Kudengar langkah seseorang memasuki ruang tamu.
“ Dg. Aji.., maaf saya datang lagi.” Kata Tante Rabiah pada ibuku yang siap-siap ke sekolah. Kulihat tampilannya yang amat sangat berantakan, tubuhnya sangat kurus, matanya merah, cekung dan…….. Padahal menurut cerita yang kudengar, dulu ia termasuk bunga di kawasan MH. Thamrin ini.
“ Dg. Aji, maaf, saya ke sini meminta tambahan uang 4.000 rupiah. Kata Riri ada dua LKS yang harus dibayar hari ini. Dan kalau tidak punya uang, dia tidak mau ke sekolah karena pasti dia akan dimarahi dan disuruh pulang untuk ambil uang.” Katanya memelas. Ia bahkan tak punya uang 4.000 rupiah, padahal bagiku itu sangat sedikit. Lalu, siang nanti meeka akan makan apa? tanyaku dalam hati.
Aku melihat ibuku memberikan uang 4.000 padanya, sambil membenarkan bahwa memang sekolah butuh banyak uang. Karena terlalu banyak yang harus dibeli oleh anak sekolah. Pendidikan sangat mahal.
Aku masih menatap pohon bambu di hadapanku. Baru dua hari aku di sini, di Bone. Kota kecil yang membesarkanku, tapi terlalu bayak yang terjadi. Kuyakin ada 1001 kisah lagi yang belum kutahu,. Itu baru di sini. Di luar sana, ada berpuluh-puluh ribu orang yang tak bisa bertahan hidup, harus makan dari sisa-sisa orang lain, atau tidak makan sama sekali. Di mana-mana ada kelaparan, buta huruf, kemiskinan, penindasan.
“hmmmmm…” aku menggumam karena hanya itu yang bisa kulakukan.

26 Juli '05
_ibumaha_

Komentar

Postingan Populer