Pendidikan Meresahkanku

Hey.., wajahnya tiba-tiba garang saat kutanya. Padahal sebelum aku utarakan pertanyaanku di kelas ini, pikiranku bahwa semua yang akan kutakan nantinya akan menjadi bahan diskusi yang alot. Kurasa harapanku tidak terlau tinggi, ya.., semua mahasiswa sejurusanku atau mungkin sefakultas tahu siapa dia. Dosen  yang menyandang dua gelar kesarjanaan di belakang namanya ini, menurutku akan menganggap pertanyaanku sangat keren. Sebelumnya aku memang sering mendengar metode yang ia gunakan dalam mengajar. Metode kuno yang sampai sekarang masih banyak diberlakukan di sekolah-sekolah, di tempat kuliah, atau mungkin di berbagai badan yang katanya badan pendidikan. Tapi yang kudengar sebatas dia hanya tidak suka jika dikritik habis-habisan.
               “ Usul Pak.” Kataku setelah ia menerangkan tentang bagaimana pondasi kerangka berpikir orang-orang negara Semilir Angin, negara besar yang banyak membuat negara-negara kecil seperti negara kita bergantung. Kalau dalam teori pembangunan dunia ketiga, fenomena tersebut disebut sebagai teori dependensi. Negara yang menjadi kiblat negara-negara kecil, suka atau tidak suka. Untuk pertemuan kedua di mata kuliah ini, ia memang membahas tentang nilai-nilai dasar bangsa tersebut. Dari segi sosial budaya, ekonomi dan politik.
               “ Bagaimana jika istilah budaya dalam konteks ini kita ganti dengan prilaku atau pola hidup orang-orang Amerika.” Kataku dengan semangat 45, menanggapi pernyataannya yang mengatakan bahwa sampai hari ini budaya negara inilah yang paling baik.   Seperti biasa ketika ia tak menyukai sesuatu, ia menunduk terlebih dahulu, sembari menggeleng-gelengkan kepala, tentunya diikuti broken smile*. Dan sementara itu, akupun menyiapkan jawaban sekiranya ia akan menanyaiku balik. Masih dengan menggelengkan kepalanya.
               “ Apa hakmu mengganti istilah budaya dalam kuliah ini? Hah..?” tanyanya garang, dan berbalik menyerangku. Kurasakan semua mata memandangku,..
               “Begini, Pak.., di dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan ada istilah relativisme cultural, yang berarti tidak ada suatu kebudayaanpun yang lebih baik dari kebudayaan lainnya.” Menyebut salah satu judul buku kuharap tidak dianggapnya sebagai suatu pamer, ini semata-mata untuk meyakinkannya kalau ini bukan mengada-ada.
               “ Sudah…sudah, lebih baik kau diam saja, kau tidak punya wewenang mengganti kata budaya itu seenakmu, kau pikir kamu siapa?” serangnya bertubi-tubi. Sama sekali aku tidak merasa kalah, walau sebagian teman mengeluarkan nada tawa yang kedengarannya sangat sumbang. Aku menunduk. Pikirku berkecamuk, kenapa harus seperti ini? Dua menit berikutnya, suasana hening, tak ada suara sedikitpun, bahkan aku berfikir semua di ruangan ini menahan nafasnya. Suasana seperti ini memang serig ia ciptakan, suasana yang menegangkan.
               “Yah.., ada lagi yang ingin dipertanyakan? Tanyanya memecah kesunyian. Aku mendongakkan kepala.
               “ Saya Pak.” Kulihat Asri mengangkat tangan, aku tersenyum. Kenapa tiba-tiba aku berfikir buruk. Masalahnya, Asri adalah temanku bukan sekedar teman seangkatan seperti yang lain, tapi ia juga teman diskusi yang setidaknya sejalan dengan pikiranku dan aku tahu bagaimana arah pembicaraanya.
               “Sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Negara Semilir Angin yang katanya merupakan negara yang menjunjung tinggi demokrasi, negara yang menempatkan kebebasan individu di atas segalanya, negara yang  memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Dan kenyataanya, aplikasi prinsip dasar kehidupan mereka telah terbantah sejak ditetapkannya sampai sekarang.” ucap Asri menggebu-gebu.
               “Hey.., sampai di mana tingkat bacaanmu? Kau ini mahasiswa? Dari mana dapat data seperti itu?” tanyanya sembari tersenyum sinis dan mengusap keringatnya dengan sapu tangan. Suatu kebiasaan yang katanya Zein sangat menarik.
               “Datanya dari buku Mengapa orang membenci Semilir Angin? (salah satu literature yang wajib di baca) dan sebagian dari internet, Pak.” Kata Asri memperkuat argumennya.
               “Anak muda, buku yang harus kau baca sekitar delapan buku, jangan kira karena telah membaca satu buku kamu sudah tahu tentang Semilir Angin, dan data dari internet???.., itu belum valid. Jangan langsung mengklaim Semilir Angin seperti itu!.” Katanya sembari memandang Asri sinis. Aku tersenyum, Asri berbalik padaku. Ia pun tersenyum, senyum kekecewaan, sangat kecewa. Setelah itu, kuliah berjalan lancar, suasanapun sedikit lumer ditambah plesetan-plesetan bapak yang lumayan lucu juga.
*******
               “Sudahlah.., aku kan sudah bilang. Pak Robert itu orangnya memang seperti itu. Kamu cukup terima saja, nda usah ndebat. Nanti malah nilaimu jadi tidak karuan.” Nasehat Ivo dengan logat Jawanya yang kental padaku, teman yang sering jadi tempatku berbagi.
               “Tapi, masa aku harus diam jika aku tahu itu salah, itu namanya pengecut, Vo.” Kataku membela diri.
               “Aku tahu, aku faham, tapi ini konteksnya lain, dia punya kuasa atas kita. Tahu khan apa yang bisa dia lakukan? Dia memegang tiga mata kuliah semester ini? dia bisa saja memberimu nilai mati. Terlebih lagi tak ada pengulangan bagi dia.” Jelasnya dengan nada yang agak tinggi. Kutahu bukannya ia tidak tahu, tapi seperti inilah yang kita hadapi sekarang. Pendidikan menjadi sesuatu yang menakutkan, dan mengharuskan kita tunduk dan patuh**. Dosen yang harusnya menjadi teman diskusi, sebaliknya menjadi monster dengan senjata nilai di akhir semester. Lalu bagaimana kita bisa berkembang? Sedikit kritis, maka beribu resiko akan kita hadapi.
               “Aku  tidak peduli, mau nilai C, D, atau E sekalipun, poko’nya aku tetap harus bicara.” Tegasku.
               “Terserah, kalau seperti itu yang akan kamu lakukan. Tapi, aku tidak bisa bilang apa-apa jika nanti kamu datang, stress, melihat IPmu yang jeblok seperti kemarin.” Katanya sembari tersenyum mengingatkanku. Aku terdiam, kemarin aku sempat stress di buat IPku yang jeblok, nilaiku tidak seperti yang kuharap. Yang buatku pusing, bagaimana bertanggung jawab pada ayah, ibu, dan semua yang mengharapkanku. Tentunya mereka akan menanyakan IPku. Itu khan legalitas formalnya.
               Betapa sulitnya mengubah sebuah system yang sudah beranak-pinak, terlalu banyak yang harus dikorbankan. Selemah-lemahnya iman yah.. makilah dalam hati. SHIT!!!!!!!!!!. Seperti inilah wajah pendidikan kita hari ini, sangat tepat jika industri pendidikan kapitalis ini hanya melahirkan kambing-kambing penurut dan budak pengikut.***
               “Hey..,bagaimana? Aku tahu kamu pasti sangat kecewa, tapi tidak semua dosen kita seperti itu. Banyak tempat bagi kita untuk belajar. Jangan khawatir!!” katanya sembari mengajakku untuk memenuhi kebutuhan hidup. MAKAN!!!
               Aku beranjak dari tempat dudukku. Kucoba untuk menerima semua yang Ivo katakan, sangat sulit memang. Tapi aku tidak berhenti berharap, kuharap akan ada yang membuat kekecewaanku ini lebur.
*****
               “Rey, dipanggil rapat di ruang rapt B1. Semua panitia kegiatan untuk dies natalis Fakultas Entah Berantah, dipanggil ama Pak Dekan.” Kata none Jakarta padaku. Aku melihat pakaianku, kupikir aku sudah rapi. Ku tahu, beberapa teman-teman sudah ada di sana. Aku ditunjuk sebagai sterring untuk kegiatan lomba debat. Kemarin malam aku sudah mendiskusikannya dengan teman-teman, rencananya kami akan buat lomba debat se-propinsi, minimal melibatkan seluruh fakultas di kampus.Beberapa teman-teman panitia dan sterringnya sudah memaparkan konsep kegiatan mereka. Sekitar lima menit,
               “Rey, bagaiman konsep kegiatan debat bahasa Inggris yang akan dilaksanakan? Tanya PD 3 padaku. Seperti tersihir aku mulai menjelaskan. Sekitar tiga menit aku menjelaskan.
               “Apa? Kamu berencana mengadakan debat se Makassar?” Tanya dekan padaku.
               “Ya Pak, ini akan melibatkan banyak peserta, kalu bisa kita juga mengadakan antar SMU se Makassar.’ Kataku
               “Jangankan sepropinsi, sekampuspun sepertinya harus kita pertimbangkan. Kenapa tidak se Fakultas saja? Tanyanya membuatku geli. Se fakultas? Memang siapa yang akan lomba. Tidak taukah ia kondisi mahasiswanya di fakultas yang ia pimpin? apalagi jika berbicara tentang English.
               “Dipertimbangkan? Kendalanya apa Pak?“ Tanyaku coba menelusuri.
               “Begini, kalau kegiatannya besar begini, takutnya nanti yang akan juara bukan dari fakultas kita lagi.” Katanya dengan sangat jelas dan kena. Aku terdiam. Segala ide-ide brilliant yang kutampung sejak semalam lenyap seketika. Dipikirku, sekarang aku berhadapan dengan siapa? Di depanku adalah seorang akademisi dengan gelar doktor, kenapa berfikir sepicik itu? Haruskah semua dilihat dari posisi menang dan kalah?
               Aku berjalan lunglai sambil menunduk, aku prihatin. Selama ini aku selalu bilang, masalah utama yang membuat bangsa kita tidak bisa maju sampai hari ini, bahkan jadi objek hegemoni negara-negara maju, tidak lain karena pendidikan kita yang sangat konvensional. Semua bisa kusimpulkan dari berbagai literature yang kubaca, dan hari ini yang kudapati adalah gambaran nyata dari kebobrokan sistem pendidikan kita.  semua ini meresahkanku, kamu tahu?
...based on true story...

2006, ibu maha

Komentar

Postingan Populer