...unidentified morning...
Harusnya pagi ini aku bisa melanjutkan project tulisanku seperti yang kukatakan kemarin. Harusnya pagi ini dengan menulis, aku bisa menenangkan resah-resah kecil yang menari-nari sejak kubangun tadi. Tapi tidak, ia masih terus mericuki kepalaku, sesuatu yang kecil tapi mengganggu karena tak kutahu apa. Kukroscek tulisan lama, kubaca, dan kuputuskan untuk kuposting pagi ini. Saat membacanya, aku tahu mungkin aku sedang merasakan yang sama saat itu, walau dalam konteks yang begitu berbeda. ok..selamat membaca!!!
...Unidentified night...
Akhirnya aku baru
percaya, bahwa mata punya hubungan yang sangat erat dengan hati. Mungkin dalam
ilmu biologi, ada sebuah sel besar yang langsung dari hati menuju mata. Malam
ini, akupun merasakannya..., bukan seperti saat para muda terbang dalam
cintanya, tapi lebih pada memberi makan untuk hati yang saat ini sedang
terkulai.
Yang aku punya
keinginan untuk memuaskan hati, selain itu, tidak ada. Jika kalian tanya apa
yang kamu dapatkan? Maka itupun akan menjawab. Selain ketenangan dan kepuasaan
hati, aku tidak dapat apa-apa.
Ya..., malam ini
kuputuskan untuk duduk sendiri di pinggir kompleks sejajar dengan traffic
lights yang banyak membantu mulusnya alur lalu lintas, walau belakangan banyak
yang sadar kalau lampu itu punya banyak masalah misalnya..., ada beberapa mata
lampu yang sama dibeberapa waktu menyala bersamaan. Walau pak polisi jarang
absen di sekitar situ, kemacetan masih sering terjadi. Mungkin salah satunya,
karena mereka terlampau sibuk mencari mangsa untuk bisa dijadikan tumbal pembeli
satu-dua bungkus rokok. Tapi, malam ini tak ada pemandangan seperti itu yang
ditangkap mataku.
Mataku membaca
terlampau banyak gerak di simpang empat jalan ini. Jalan yang menghubungkanku
dengan kampus, jalan yang setiap hari kulewati dan selalu dengan suasana yang
berbeda. Tapi, baru kali ini aku memilih untuk mengamati tiap gerak yang ada
disana. Sekali lagi, selain memuaskan hati aku tak dapat apa-apa.
Aku duduk di sebuah
meja besar yang di atasnya ada rak dari kaca yang saat pagi hari digunakan
seorang ibu untuk menjajakan kue-kue kecil pengganjal perut, harga khusus
mahasiswa mungkin. Khususnya lagi bagi mereka yang tidak sempat membuat
sarapan. Tempat ini cukup strategis, bisa membuatku melihat empat sudut yang berbeda
sekaligus. Aku mulai merasa nyaman, saat kulihat langit menampakkan niatnya
untuk mengakrabiku malam ini. Aku bahkan tersenyum-senyum saat bulan mengirim
cahaya kebahagiaanya seolah hanya untukku yang sedang sendiri dan memuaskan
hati.
“Hoi....., “
terdengar suara yang kukenal dari arah kompleks perumahan tempatku tinggal. Aku
tersenyum
“Sedang apa?”
tanyanya dengan mimik penuh keheranan. Aku tersenyum pun dengan setan yang
mengintaiku, aku tahu aku harus berbohong.
“Duduk-duduk saja”
kataku dan tak membiarkan setan menang. Ia memandangiku lagi dengan heran.
Mungkin menilaiku sangat aneh. Sedikit basa-basi lalu pergi. Aku kembali
tersenyum karena kutahu telah kutinggalkan teka-teki untuknya, dan semoga ia
mencari jawabannya. Malam masih bersahabat, sesekali kuhirup udara yang kotor bercampur
dengan asap knalpot kendaraan bermotor yang lalu lalang di depanku. Lampu-lampu
masih terus menyala silih berganti. Merah, kuning, hijau, seperti saling menghargai
akan gilirannya masing-masing. Pun untuk membuktikan itu, aku mencoba
menghitung lama durasi tiap lampu menyala. Walau dengan ketukan yang tidak
bertempo tetap,...
“Satu.., dua....,
tiga..., empat..., lima...., sepuluh..., enam belas...., dua puluh..., duapuluh
dua. “ Lampu hijau menyala selama 22 ketukan.
Lalu, kumulai lagi untuk warna merah, warna yang kadang membuat detik
seperti berhenti.
“Satu..., dua..., tiga
puluh..., empat puluh empat..., ya...berhenti dihitungan empat puluh empat.”
Ativitas ini kulakukan berkali-kali dengan tempo ketukan yang sengaja
diperlambat, karena aku dulunya termasuk tidak percaya kalau hijau menyala
lebih cepat dibanding merah. Sampai akhirnya kudapat kesimpulan yang
mengharuskanku percaya akan hal itu.
Aku menggeleng...,
kuharap tidak seorangpun mengintaiku karena kutahu pasti mereka akan tertawa
terpingkal-pingkal. Aku masih menatap hingar jalan raya, suara deru kendaraan
membuatku tahu bahwa hidup ini dipenuhi dengan kesibukan, diburu waktu seolah
24 jam tidak cukup, hingga memilih untuk bermain-main dengan pencabut nyawa.
Aku sedikit bangga
dengan tempat ini, setidaknya sampai hari ini aku masih bisa berjumpa dengan
tempat-tempat yang sejak dulu digusur oleh kebijakan tata kota.
”menjaga kebersihan,
keindahan,dan ketentraman” kata mereka. Walau setelah PK V di depan (baca:di
pintu II UNHAS) juga telah diusir pergi, tapi masih ada juga yang bertahan
mencoba menerjemahkan keberadaannya di tengah kebisingan dan kemegahan Makassar
yang sudah hampir dipenuhi dengan pusat perbelanjaan. Tukang jahit sepatu
misalnya, yang baru-baru ini tempatnya sedikit digangu oleh pos polisi
sekaligus pos tukang ojek saat mereka tidak ada. Lalu, penjual nasi kuning
dengan gerobak kecil yang berdekatan dengan gerobak kecil juga, milik penjual
gorengan.
Lalu.., di depanku
ada tukang tambal ban sederhana dengan alat sederhana pula, lalu seterusnya
berjejeran pedagang kecil tentunya dengan penghasilan kecil tapi merupakan
usaha yang besar untuk hidup di tengah dunia yang ganas. Sesekali, pandanganku
terganggu dengan keberadaan tukang ojek yang tidak jarang berteriak kasar pada
pengguna kendaraan beroda empat yang berniat masuk melalui pintu utama kompleks
yang sebenarnya sudah diberi tanda dilarang masuk. Sebuah usaha yang jarang
gagal, menurutku. Agak kasar, tapi jaman sekarang, kita semua memang harus
tegaan karena terlampau baik, artinya memberi orang ruang untuk berbuat kejahatan.
Mataku betul-betul
menjadi mulut yang tepat untuk hatiku malam ini, mampu memilah makanan dan perlahan
menggeser sedikit keresahan dan kebingunganku akan diri sendiri. Banyak
pemandangan yang cukup mengasyikkan. Mungkin karena ini malam minggu, aku
melihat banyak pasangan malam ini. Setiap kali melihat mereka, aku mencoba
mereka-reka hubungan mereka..
“Pasti cowo’nya
egois. Pasti dia sedang marahan, pasti cowo’ itu hanya dimanfaatkan oleh
cewe’nya, mungkin saja cewe’ itu menduakan pacarnya.., dan berbagai cerita yang
tak masuk akal.
Kunikmati teguk
demi teguk susu yang diberi seorang teman yang lain padaku. Sama seperti
sebelumnya, diapun merasa tindakanku cukup aneh. Kuintip bulan sesekali,
kutransfer kegalaunku padanya.., pada langit yang terlampau luas untuk
kutumpahkan kesah. Kesah yang lahir dari ketidakmengertianku.
Lagi..., selain
memuaskan hati, aku tidak dapat apa-apa lagi. Aku membidik arah jarum jam yang
tergantung di dinding sebuah kios di depanku. Sudah hampir sejam aku ditemani
debu jalanan dan sedikit bintang mencoba untuk lebih arif melihat diri ini. Aku
melihat bapak tua melahap mie rebus dengan semangat yang sangat besar. Dari
wajahnya, kira-kira ia lebih muda sedikit dari kakeku. Wajahnya sudah renta, ia
juga mengunyah dengan gigi depan, karena gerahamnya telah tanggal oleh usia dan
kenangan.
Lima menit terakhir
terasa sangat lambat, bahkan seakan waktu enggan membiarkanku pulang. Mungkin sedikit
khawatir akan kesulitanku memahami diri sendiri. Kubuat banyak rencana di
kepalaku, mulai dari mencoba membicarakan diriku pada orang yang kuharap sedang
menungguku. Kulangkahkan kakiku dengan sedikit paksaan kekuatan, karena terasa
pegal dan sakit. Kujalani lagi jalan yang tadi..., jalan yang setiap hari kulalui.
Aku merasa sedikit
lapang, entah akhir-akhir ini aku sering merasa sendiri, merasa tidak ada orang
yang menempatkanku di posisi yang spesial.
Aku melangkah lebih
lambat, saat kutahu dia sedang memetik gitar di pekarangan rumah. Sedikit
keberanian aku melaluinya tanpa bicara, sedikit senyum, menuju kamarku.
Kurasakan getaran langkahnya mendekatiku
“Kamu dari mana? Tanyanya
datar
“Dari luar...”
kataku pelan sambil membetulkan letak pakaianku.
“Kamu tidak tahu
aku sedang khawatir?”tanyanya dengan sedikit tekanan. Aku ingin sekali bilang
seperti ini....
“Aku bukan sedang
melakukan aksi ngambek karena kamu tidak membawaku bermalam minggu di mall, di
TO, atau di tempat-tempat sekawanannya. Bukan...bukan seperti itu, aku juga tidak
sedang ingin membuktikan sesuatu. Tapi, masalahnya aku juga tidak mengerti.
Atau mungkin karena
aku keseringan berkhayal... berharap. Aku sering berharap..., saat pulang ke
rumah kamu akan menyiapkan kejutan kecil untukku, dengan apa saja. Aku sering
berharap..., saat lelahku menghadapi teman-teman yang saat ini menyibukkanku dengan
latihan, kamu datang dengan senyuman dan menemaniku. Aku selalu berharap saat
aku mengubah mimik wajahku karena ada sesuatu yang tak beres, kamu datang
dengan sabar menenangkanku, bukan membiarkanku berpikir sendiri. Aku sering
berharap saat malam panjang seperti ini, kamu mengajakku berjalan ke mana saja.
Tak perlu ke mall atau ke tempat yang akan membuang uang kita yang pas-pasan,
mungkin jalan menyusuri malam lalu berbicara tentang banyak hal, atau mungkin
menemaniku sepanjang malam dengan
cerita-cerita lucu yang tidak kudapatkan dari orang lain. Aku sering
berharap.., kamu mengejutkan hari-hariku.
Ini juga mungkin
tentang keikhlasan, aku mungkin tidak ikhlas ketika telah kuberi segalanya dan
ketika aku meminta, kamu tidak bersedia melakukannya untukku. Aku sepertinya
harus memohon maaf, tapi aku tidak sepertimu yang mampu lari dari masalah.
Aku tidak sedang
ingin bilang kalau selama ini, kamu tidak memberiku apa-apa. Aku juga sadar,
mungkin ini tuntutan yang berlebihan. Aku tahu, kamu ingin menjalaninya dengan
berbeda,. Aku ingin mencoba mengerti itu.” Aku ingin bilang seperti itu...,
tapi hanya ingin..., karena aku kembali kecewa saat kamu memilih larut dengan
lagu-lagumu, seolah-olah aku tidak sedang merasakan apa-apa. Aku terdiam dan
membiarkannya. Kuharap aku bisa menerjemahkan diri sendiri. Aku juga sebenarnya
tidak begitu tahu, aku seolah-olah membuat diriku sulit dimengerti. Aku berubah
menjadi sangat cengeng dan melo. Aku tidak tahu..., atau mungkin karena aku
terlalu takut? Tapi sudahlah..., aku ingin kembali bersama kesendirian saat
kamu memilih untuk menikmati tontonan tentunya tanpaku.
Aku juga tidak
mengerti..., persis seperti sekarang, saat aku menulis dengan sangat lancar dan
emosioanal. Seperti sekarang saat aku tak mampu pejamkan mata dan sibuk menata
hatiku. Aku tidak mengerti.
_n_
120306
pusingka
Hehehehe... aku banyak mengabadikan rasaku dulu. Biasanya, aku menulisnya dalam bentuk cerpen seperti di atas. kebanyakan tulisanku, berdasarkan apa yang kulewati. Ini masa-masa dimana aku dan komrad masih saling mempelajari, masa dimana kami belum mampu menerjemahkan yang kami rasakan dengan proporsional. Masa dimana ego selalu menjadi pemenang dalam setiap pertengkaran kami. yah..kami pernah melewati masa itu..., masa yang sekarang sering kami tertawai! hmmm...tulisan ini mampu mengusir sedikit keresahan kecilku pagi ini. Selamat pagi..selamat beraktivitas!
Ibu Nhyta
13 Mey 2012
#makassarpagi
Komentar
Posting Komentar