....inginkuinginmu...

Jauh sebelum berkeluarga, ada ruang dalam diriku yang tidak berhenti meminta untuk diberikan pendamping yang mampu memahami setiap “ketidakbecusan” hidupku dari yang kecil hingga yang besar dan aku berharap anakku kelak tidak memiliki banyak hal buruk dalam diriku yang sifatnya genetis. Aku telah mendapatkan keduanya. Komrad, yang sejak kali pertama bertemu mampu menerimaku dan mengikis hampir semua “keakuanku” yang telah terpelihara sejak kecil, lalu maha yang aku harap akan  mewarisi sifat bapaknya.
Aku tumbuh besar dengan cukup sulit dibanding keempat saudaraku lainnya untuk diatasi oleh mamaku hampir seorang diri. Bapak yang lebih banyak bekerja di luar rumah dan sesekali pulang setiap minggu, jarang mengambil bagian dalam kehidupan anak-anaknya. Ia lebih banyak mengurusi kebutuhan finansial keluarga, seperti umumunya kepala keluarga. Sejak kecil, aku memiliki pendirian yang keras. Apapun yang kuinginkan, harus kumiliki, semua anak mungkin begitu. Namun sifat ini tumbuh subur dalam diriku saat remaja usia SMP, aku berteman, berhubungan hampir dengan semua orang yang tidak bisa mengajukan penolakan atasku. Termasuk ibu. Banyak pilihan-pilihan hidup khas anak muda yang ia tentang tapi tetap kulakukan dan berujung air matanya. Tidak sedikit air mata yang ibu keluarkan demi memastikan hatiku yang keras tidak membawaku dalam pilihan hidup yang keliru. Aku mulai berdamai dengan diriku akhir masa SMA, aku menyebutnya berdamai, karena kekerasan hatiku seolah tumbuh sendiri dalam diriku, menjadi bagian lain yang kusaksikan dan tak bisa kubendung. Dan ini bukan pekerjaan mudah untukku secara pribadi. Dan tentunya orang-orang di sekitarku.
Kini, setelah banyak belajar dan melihat, aku bersyukur aku banyak berubah. Segala dulu yang hanya tentang aku kini mampu kuramu menjadi kita atau kami. Jika dulu yang mataku lihat hanya diriku kini aku bisa melihat kamu, kalian, mereka dan dunia. Dalam perjalanan hidupku, inilah capaian terbesar yang kulakukan sekaligus menjadi pondasi dalam hidupku selanjutnya sebagai istri dan ibu.
***
Beberapa hari ini,seperti balita pada umumnya, maha menunjukkan lonjakan emosi yang tidak biasa. Sebenarnya, dia pernah mengalami ini beberapa kali, bedanya kali ini usianya semakin besar, metode marah, ekspresinya mulai variatif layaknya orang dewasa. maha kami usahakan tumbuh dengan nila-nilai positif dari lingkungannya. Ia yang tumbuh ditengah semua orang yang menantinya, membuat segala inginnya berbuah “ya”. Membuat segala pintanya berakhir senyum puas.
Dalam beberapa case, aku luluh atas inginnya. Namun, kadang aku juga berdiri keras dan tak tergoyahkan menghadapi hal-hal yang ia tuntut. Menurut komrad beberapa hari ini, maha sepertinya memegang prinsip saat Revoluis Prancis dulu “tuntutlah yang tak mungkin”. Dan memang betul, segala hal ia minta dan menurutku jauh melampaui kebutuhan usianya. Mau sepatu sekolah SD, mau mic telinga, mau ikat pinggang, mau…mau..mau..dan segala mau yang biasanya berujung beli…beli..beli. walau bersusah payah kukatakan tentang kesulitan uang, ia tidak ambil pusing. Menurutnya, uang bisa diambil di ATM kapan saja dan berapa saja.
“ambil di bank saja” begitu katanya selalu, saat kukatakan ibu tidak punya uang. Saat kukatakan untuk tidak selalu ingin membeli ia berkilah “ karena maha belum punya” Ia tidak suka dengan banyak aturan yang kuterapkan untuknya. Walau tidak terlalu ketat, aku mengajarinya berusaha memegang komitmen yang kami sepakati. Semuanya kadang terlewati dengan tawa, karena ia selalu lucu saat menjelaskan inginnya, namun lebih banyak dengan tangisnya. Jika sudah menangis,dan itu baru beberapa minggu terakhir, tangisnya sangat lama hingga berjam-jam. Berbicara tentang komitmen dan janji, jangan coba-coba berjanji padanya walau hanya dengan anggukan karena ia akan memburumu seperti rudal. Dan dia punya ingatan cukup kuat. Janji sebulan lalu, akan dia ingat apalagi untuk hal-hal yang betul-betul dia inginkan.
Semalam, aku dan komrad kehabisan akal menghadapinya. Jam setengah 12 malam, ia belum lagi tidur. Hobbynya begadang sambil menonton atau bermain adalah sebuah kebiasaan yang sulit kami hilangkan. Terkadang perlu memaksanya tidur. Dan semalam kami melakukannya. Awalnya, lampu ruang tengah kami matikan. Ia berkeras tidak ingin masuk kamar. Aku dan komrad memutuskan untuk tidur dan berharap ia masuk kamar dan minimal berbaring menunggu kantuk di kasurnya. Tapi tidak, ia tetap berdiri didepan pintu. Lama dan ia tidak juga beranjak,komrad mematikan tivi, aku memaksanya masuk lalu menutup pintu. Marah dan tangisnya menyatu dan berusaha membuka pintu. Ia berdiri dan memutar-mutar handle pintu yang tidak mungkin terbuka. Pikir kami ia akan kecapean sendiri. Aku dan komrad mencoba untuk tidur dan mengacuhkannya. Mataku tidak bisa terpejam, bukan hanya karena suara handle pintu yang ia gerakkan terus menerus, tapi saat sesekali kami lirik, ia sebenarnya sudah mengantuk dan berkeras untuk menahan kantuknya demi meluapkan inginnya. Lama, setengah jam kira-kira ia berdiri di depan pintu tanpa istirahat sedikitpun dan diam seribu bahasa. Aku yang berkeras tidak memperdulikannya, berbalik kasian karena ia menahan kantuk dan cape’nya di tengah malam demi kerasnya inginnya. Berkali-kali bergantian, aku dan komrad datang membujuk, tapi tidak juga mengubah inginnya. Hampir jam 1 dini hari setelah kami menyerah dan pintu kami buka. Ia keluar dan komrad mencoba membuka percakapan,  beberapa menit dan ia akhirnya luluh. Dejavu. Beberapa tahun yang lalu, komrad melakukan itu padaku, walau dengan cara yang lain.
Aku terdiam tidak lama. Usianya baru 3 tahun lebih dan ia tidak bisa berdamai dengan keegoisannya. Dia begitu dini mewarisi sifatku. Aku selalu melakukan hal seperti itu dulu. Melakukan hal yang menyakiti tubuhku hanya untuk melampiaskan rasa marah dan mendapati kepuasan lain atas penolakan yang kuterima. Dan komrad telah hatam akan sikapku yang seperti itu. Ia bekerja keras dan menerjemahkan cintanya dengan menjadikanku pribadi yang lebih baik. Dan aku?? Aku ditumpuki pekerjaan lebih keras lagi. Bukan hanya harus mencari cara menghadapi maha tapi juga mengendalikan diriku dari dalam. Tak terbayang bagaimana mama’ bekerja keras menghadapiku. Baru begini saja, aku hampir kalap dan sakit kepala lantaran menahan marah menghadapi maha. Nafasku kuatur berkali-kali, dan sesak teras menjalar hingga seluruh tubuhku.
***
Pagi, hujan tidak berhenti mengguyur sejak subuh tadi. maha masih terlelap dan komrad baru saja bangun. Aku terbangun dari tadi, dan memikirkan kejadian semalam. Bahkan hingga pagi ini, emosiku terasa terkuras. Aku sadar, aku masih harus banyak belajar. Aku tidak ingin menyesali atas apa yang telah mejadi milikku, kuharap mahapun kelak tidak. Hanya saja,aku harus bersabar menghadapinya. Aku sendiri toh, butuh waktu puluhan tahun untuk bisa berdamai dengan "keakuan" ini. Lalu kenapa harus kupaksakan maha melakukannya diusianya yang baru tiga tahun??? Perjalanan masih panjang, Nak! Dalam beberapa hal, aku sering bangga menjadi “batu”. Pendirianku untuk beberapa hal, tidak tergoyah. Termasuk untuk menjadi ibu yang baik untukmu.

Ibu Nhytha
24 May 2012
#hujanmengguyur

Komentar

Postingan Populer