Rumah dan Ruang Imajinasi

Di penghujung bulan lalu, saya bersama Sawing hendak mengunjungi rumah yang sekaligus studio kreatif seorang kawan di bilangan Minggiran selatan Jogjakarta. Cuaca siang itu lumayan tak bersahabat. Panas menyerang lalu memicu peluh di sekujur tubuh. Tapi kami tetap beranjak. Suatu hal harus kami bicarakan secepatnya. Sepele mungkin tapi ia serupa ide besar yang tak sabar untuk mewujudkannya.
Sesuatu yang sepele ini bermula beberapa malam sebelum siang itu.  Sebelum beranjak tidur, kukirim sebuah pesan singkat ke kawan yang menamai studionya dengan LIBSTUD dan kebetulan adalah penyeru lagu pada sebuah ben-benan bernama FSTVLST (baca: fes-ti-va-list). Isi pesan singkatku betul-betul singkat.
Bagaimana kalau untuk panggung besok FSTVLST membagikan zine? Begitu isi pesan singkatku.
Pesan singkatku segera berbalas. Dan kami bersepakat untuk segera bertemu dan membicarakan sesuatu yang sepele tapi serupa ide besar ini. Di siang yang gerah itu kami sepakat bertemu.
Di ruang tengah rumah yang di hampir semua sudutnya terpajang artwork cantik, kami duduk melantai santai. Memulai pembicaraan tentang zine yang akan kami kerjakan. Kumulai dengan alasan mengapa zine ini meski sepele namun penting untuk dikerjakan. Dari situ lalu pembicaraan menjadi serius dan berisi. Gerah tak lagi begitu terasa. Perut yang belum terisi sejak pagi tak seperti biasanya tidak membuat jidatku berkerut pertanda sebentar lagi sebiji bodrex harus segera kukonsumsi. Adrenalin benar-benar terpacu di tengah-tengah pembicaraan.
Kami berbicara dan berbagi tidak lagi hanya di seputaran zine yang rencananya akan segera kami kerjakan, tapi lebih dari itu kami terlibat dalam tema-tema besar di baliknya. Tentang kesetaraan, kebahagiaan yang sederhana dan tentu tentang cita-cita hidup yang lebih baik.
Kami sama-sama bercerita dan berbagi banyak hal tentang ide-ide besar itu. Di sela-selanya, kami berbagi kisah bagaimana ide-ide itu “diperjuangkan” di “rumah” dan “keluarga” kami masing-masing sejak dulu hingga kini. Si kawan bersama ben-benan nya sejak bernama Jenny hingga akhirnya mereka bersepakat men-transform nya menjadi energi yang lebih besar bersama FSTVLST, dan saya bersama Sawing dengan rumah kecil nan sederhana berabjad HIMAHI. Di dalamnya ada ledakan-ledakan emosi, sedikit amarah karena rasa tak sabar yang sering menyerang ketika secuil aral menghadang di tengah perjuangan. Namun di keseluruhannya ada harapan besar menjadikan rumah dan keluarga kami serupa bahtera Nabi Nuh yang mengajak siapa saja pada perayaan terhadap kebahagiaan dan kesetaraan yang semuanya sedianya tetap pada titahnya yang sederhana. Sekali lagi dengan selera kami masing-masing.
Kami tertawa saat merasakan sesuatu yang kami iyakan dan sepakati, saling memperhatikan dengan seksama dan tak jarang menimpali tanpa harus menunggu permisi. Uh, sudah lama tak berdiskusi dan berbagi dengan adrenalin tinggi seperti ini dengan cara-cara yang biasa-biasa saja tapi keakraban begitu terasa.
“ini seperti di Himahi dulu,” bisik Sawing kepadaku. Dan kumengangguk membenarkan.
Tiba-tiba ku dibawa terbang jauh ke masa-masa itu.

***********

Subuh itu kami berlima memutuskan untuk memanggil beberapa pengurus Himahi. Iya, subuh hari. Keputusan memanggil mereka diambil setelah hampir tiga hari saya bersama beberapa teman lainnya berada di rumah seorang teman yang kini menjadi abdi negara di tenggara sulawesi, dan menghabiskan banyak waktu untuk berdiskusi tentang organisasi yang lebih kami anggap sebagai rumah.
Diskusi tentang rumah selalu jadi tema sendiri dalam pembicaraan apa saja yang kami lakukan. Dimana pun dan kapan pun. Tidak hanya sebagai pelengkap pembicaraan, ia bahkan melebihi posisi susu dalam konfigurasi empat sehat lima sempurna. Tidak hanya menjadi pelengkap namun ia adalah substansi itu sendiri.
Berbicara tentang rumah selalu memicu adrenalin dan membutuhkan porsi energi yang tak sedikit. Bukan apa-apa, pembicaraan tentang rumah selalu mebutuhkan imajinasi yang tidak ala kadarnya. Mengingat-ingat apa-apa yang telah dilakukan sembari melakukan koreksi dan evaluasi sana-sini dan tentu mengutak-atik banyak model metodologi yang sesegera mungkin harus mendapatkan ruang praksisnya. Betul-betul saat-saat seperti itu siapa pun akan diantar menuju ruang-ruang imajinasi dan anehnya selalu tak asik bertamasya ke ruang-ruang itu tanpa mengajak lebih banyak teman dan kerabat.
Begitu pun subuh itu. Setelah diskusi berhari-hari akhirnya kami memanggil dan mengajak beberapa teman lain untuk berimajinasi bersama. Penuh adrenalin, semangat dan tentu kesederhanaan serta keakraban.
Momen subuh itu adalah yang kesekian kali diantara sekian banyak “subuh-subuh” lainnya. Subuh yang akrab itu terjadi sekitar 6 tahun lalu.
Rindu dengan subuh seperti itu.

**************

Empat hari lalu, selama dua hari saya dan keluarga dikunjungi beberapa saudara penghuni “rumah.” Mereka datang atas undangan kami yang memohon bantuan mereka untuk berpartisipasi pada sebuah event kecil-kecilan yang kami buat sebagai kado ulang tahun pertama kursus-kursusan yang lebih daru setahun ini kami garap.
Saat kusambut mereka yang tiba agak larut, tiba-tiba kumerasakan sensasi lain. Entah apa, ia tak bernama. Ini bukan sekedar kerinduan biasa atas saudara setelah berpisah agak lama. Seingatku, beberapa diantara mereka toh kujumpai beberapa bulan lalu saat menghadiri pernikahan seorang saudara se rumah. Menjumpai mereka beberapa malam kemarin seperti membangkitkan kenangan dan ingatan akan rumah dan penghuni serta geliatnya yang seolah tak pernah berhenti.
Sejak malam pertama saat pertama kali mereka tiba, saya sudah merasa kalau beberapa hari ini pasti akan sangat berkualitas. Meski kuberusaha menahan, di sela-sela rapat persiapan event esok hari akhirnya kuterlibat juga dalam perbincangan beradrenalin tinggi itu dengan salah seorang saudara se rumah. Seperti biasa saya selalu bersemangat meski malam itu kami tak serta merta membahas tentang rumah. Iya, akhir-akhir ini saya memang agak menahan diri membicarakannya sehingga tak seperti biasanya saya tak langsung menanyakan kabar rumah.
Event berjalan dengan cukup berhasil. Semua tersenyum meski beberapa memberi senyum kecut. Kami tentu bersyukur. Dan selanjutnya adalah keakraban dan kebersamaan yang sederhana bersama saudara-saudara se rumah. Tawa, kelakar, berbagi informasi, dan tentu diskusi serta berbagi berbaur menjadi satu seperti biasanya kami lakukan di rumah. Saya dan istri memang tak begitu sering bertemu dengan beberapa saudara-saudara ini tapi dalam sekejap semua seolah menjadi wahana bina keakraban yang sejati. Benar-benar akrab!
Tak terlalu banyak waktu untuk berdiskusi. Namun di akhir sebelum saudara-saudara se rumah berangkat kembali ke Makassar akhirnya bisa berdiskusi lumayan lama. Diskusi dengan “tensi” yang agak tinggi, dan bersemangat. Diskusi yang pelan-pelan membawa kami ke ruang-ruang imajinasi itu lagi. Ah, kusuka momentum seperti ini! Meski kami tak eksplisit membahas tentang rumah, tapi semangat dan gagasan-gagasan yang terlontar begitu khas “rumah.” Saya betul-betul mengenalnya.
Hingga salam dan pamit terucap, memang tak sering kami berbicara tentang rumah. Kalaupun ia terlontar namun hanya sesaat lalu segera berganti. Tapi semua itu tak mengurangi kebahagiaanku untuk dua hari yang singkat namun berkualitas itu. Untuk itu semua terima kasih kuhaturkan.

Kapan-kapan ajaklah saya ke ruang-ruang imajinasi itu lagi. Kutunggu!

Watampone, 10 Mei 2012

Bobhy
Semoga ia masih nyaman dan hangat…

Komentar

Postingan Populer