Ingatan dan rasa

Pernahkah kalian merasakan hal yang betul-betul sama? Pernahkah kalian mengingat hal yang betul-betul serupa tanpa masa kini yang mengganggunya? Ingatan dan rasa, dua hal yang tidak pernah saling meninggalkan, mereka mengikat diri satu sama lain. Tiba-tiba pagiku ditelisik oleh dua kata ini. Pagi yang beberapa hari ini selalu tidak mengenakkan, karena semalaman kipas mengguyuriku dengan angin buatan yang kutahu tanpanya mungkin lebih tidak enak lagi. Hampir seminggu di Makassar, selain panas dan macet, kota ini begitu menyegarkan. Setiap ke sini, aku disuguhi banyak kenangan-kenangan. Memaksaku untuk mengingat dan merasa kembali. Mungkin, karena alasan itupula, kota ini menjadi kota masa depan mimpi aku dan komrad membawa keluarga kecil kami. Kota ini memunculkan sisi lain yang selalu berhasil kelihatan sejalan dengan kemegahan dan kemajuannya, walau sebenarnya ia bertabrakan. Di tengah perkembangan kota ruko misalnya, pusat perbelanjaan dimana-mana, diskon bertebaran hingga di pinggir jalan, menyulap semua keinginan menjadi kebutuhan yang harus terpuaskan dengan membeli dan membeli, Makassar masih menyisipkan ruang kecil di jejeran-jejeran pondokan UNHAS yang juga hiruk pikuk tapi dengan kelelahan yang berbeda, menghantar senyum khas anak pondokan yang sangat terbaca di awal, tengah dan akhir bulan. Pasar yang juga ditongkrongi pagi hingga pagi lagi namun diselipi semangat yang tiba-tiba kutemukan disepanjang perjalananku beberapa kali melintasi ruang-ruang sempit itu.
Setiap mengunjungi kota ini, seolah waktu tidak mengantarku terlalu jauh, dan seolah semua yang muncul dalam memoriku terjadi baru kemarin. Mengunjungi kampus, halte bus, parkiran, danau, pondokan, pkm, lapangan basket, aku pernah mengeja mereka sendiri, pernah betul-betul merasakan bahwa “hidup adalah kesunyian masing-masing”…..hehehehe! aku melihat diriku sendiri sedang menyaksikan hitamnya air di sepanjang pondokan. Aku duduk sendiri sambil menikmati riak-riak air yang bertikai dengan sampah. Di satu malam, aku melihat diriku sedang berjalan sendiri mengitari lapangan basket yang belum sebagus sekarang, dibungkus sweater belang biruku. Aku sangat kurus saat itu. Sesekali aku duduk di kursi penonton, menyaksikan bintang malam di langit hitam nan luas. Aku melihat diriku sedang berjalan lelah gontai, hampir malam melewati lapangan sepak bola dan kolam renang. Begitu lunglai, namun di hari-hari lain sepanjang jalan itu, aku melihat diriku berlari kencang entah sedang mengejar apa. Di sepanjang danau, kulihat diriku sedang memaki bulan, kudapati diriku duduk di atas gedung tinggi yang belum jadi dan membaca bumi. Di pkm, aku tidak kaget melihatku tak berbalut selimut tertidur pulas di atas trap depan TKU, bernyanyi. Di parkiran, aku juga bertemu diriku yang sedang melahap buku-buku, lalu berjalan di atas besi-besi pembatas menguji keseimbanganku. Di halte bus, diriku sedang menyeruput kopi, tidak ingin menunggu panasnya hilang. Walau berubah banyak, namun titik-titik tempat itu, tidak bisa kuhilangkan betul-betul dari ingatanku. Aku mengingat semua yang kulakukan, bahkan beberapa momen mampu kuingat secara detil, baju , sendal, tas, daun-daun, dan suara yang kudengar, aku bahkan tahu apa yang kurasakan saat itu, tapi aku tidak bisa betul-betul merasakannya.
Makassar memang menyimpan banyak hal yang tidak biasa. Ini salah satu tempat yang membentukku menjadi sekarang. Tidak kubayangkan, andai saja 9 tahun yang lalu, aku memilih menerima tawaran beasiswa di IPB, mungkin hidupku tidak sedahsyat ini. Sisi lain Makassar yang semakin ke sini semakin mulai dihilangkan, adalah sisi yang menghidupkanku dan banyak orang lain. Aku tidak jarang membenci kota ini karena panas, macet, pembangunan yang semrawut, tata kota dengan jejeran ruko dan pusat perbelanjaan di mana-mana, yang begitu kejam dan menwarkan sedikit sekali ruang kebahagiaan untuk orang-orang yang tidak berduit banyak. Tapi di atas semua itu, kota ini selalu menjadi istimewa, diantara ruang-ruang yang saling menyikut itu, selalu muncul tangan yang saling menggenggam lalu tersenyum. Diantara kejamnya jalan, selalu ada lorong-loroong kecil yang bisa ditempati bersembunyi.
Antara ingatan-ingatan ini, aku terhimpit amukan rasa. Bukan rasa dari masa lalu, namun rasa bahagia yang tidak bisa hilang karena aku melewati hidupku di sini. Rasa itu bisa saja hilang, ingatan mungkin akan menemui lupa, tapi…setiap hidup, setiap jalan, setiap tanah yang kupijaki, dan langit yang telah kumaki, aku akan bersyukur. PadaMu…betapa istimewanya hidup yang Kau berikan padaku.

Makassar, 16 Mei 2012
# harusterusmenulis

Komentar

Postingan Populer