..perpustakaan itu dan baut berkarat dalam mesin bernama sekolah..
Hampir sebulan di sekolah baru ini, banyak yang baru dan
tentunya membuatku bersemangat. Mulai dari tugas dan kewajibanku di sekolah,
rumah baruku bersama Puang Senna dan keluarganya, dan satu lagi, rute baru yang
kulewati dengan berjalan kaki saat pagi dan sore. Kesemuanya memberiku semangat baru, untuk
akhirnya kuluapkan di sekolah dengan segenap muridku. Namun, tidak semua yang baru bisa memberi
semangat baru. Untuk tahun ajaran ini, aku memegang dua mata pelajaran
sekaligus Writing dan Bahasa Indonesia hanya untuk anak SMP. Aku hampir tidak
lagi berinteraksi dengan anak-anak di kelas SD apalagi kelas 4 ke bawah yang
kelasnya berada di lantai 2. Kami hanya bertemu saat makan siang di lantai
teratas. Itupun minus kelas paling bontot Abu Bakar, mereka menyantap makan
siang di ruangan sendiri dan shalat di ruangan sendiri. Sekolah baru ini, dengan kapasitas ruangan
yang lebih besar dan banyak, menciptakan suasana baru yang aneh. Di sekolah lama
dulu, terbatasnya ruang membuat kami sering bersua satu sama lain, dengan
anak-anak terlebih dengan guru-guru. Dengan sigap dan cepat, informasi bisa
kami dapatkan, tentang apa saja, hampir tiap hari. Di perpustakaan itu.
Perpustakaan itu, seingatku pernah beberapa kali kusentil
dalam banyak kisahku dengan sekolah ini. Bagaimanapun, di sanalah banyak ide
dan lebih banyak ketidaksenangan bergumul. Setelah sejam dua jam di dalam
kelas, perpustakaan itu selalu kami, guru-guru tempati untuk melepas segala kepenatan
di dalam kelas. saat pagi masih muda dan lonceng belum berbunyi, perpustakaan
itu dipenuhi tawa kami yang baru datang, mengutuk perjalanan pagi yang lebih
banyak diwarnai kantuk, atau mengawasi anak-anak yang lebih lantang melawan
pagi. Saat sore beranjak pergi, perpustakaan itu digerayangi semangat pulang,
seolah-olah besok tidak akan menemuinya lagi. Dan yang lebih utama, dan
menurutku sangat ditakuti oleh Mr. head, bahwa di perpustakaan itu sangata
nyata terasa walau tidak berbentuk, telah bergumul keluhan, telah menyatu
ketidaksepakatan yang seragam.
Perpustakaan di sekolah yang lama, seingatku hanya
sekitar 4 x 2 m. semua tembok dikelilingi rak buku dari serbuk gergaji yang
banyak di obral di supermarket-supermarket, yang tingginya hampir mencapai atap
dan dipenuhi buku-buku dengan genre anak dan agama yang mendominasi. Hampir semua
buku yang ada di sana keluaran penerbit mizan yang harganya lumayan mahal. Dan
koleksi buku di perpustakaan ini sangat lengkap. Di sudut dekat jendela, ada
satu buah komputer yang biasanya digunakan oleh kami para guru untuk mengolah
bahan ajar. Ada sebuah meja tempat Ratu Pustaka, Bu Oda, dia selalu duduk, menulis, mengetik, tanpa
lupa membawa senyum dalam semua kegiatannya. Perutnya sudah kelihatan berisi
saat aku bertemu kali pertama dengannya. Sampai terakhir kali bertemu, dia
adalah satu-satunya pekerja di sekolah ini yang tidak pernah kudengar
keluhannya. Saat kami semua mengeluh, marah, akan segala hal yang berkuasa atas
diri kami, dia hanya akan terseyum dan berkata
”sabar Bu Nita..sabar Bu Riri” duet pemarah yang selalu bertemu di
perpustakaan dan didengar oleh Bu Oda. Perpustakaan itu tidak hanya menjadi
tempat membaca yang ayik tapi lebih dari itu, ia menjadi pusat perlawanan.Perpustakaan itu terbukti telah menggumpalkan banyak
amarah. Bu Uit, Rak Ram, pak Indra, Pak Kasman yang hari ini tidak lagi
terpenjara di sini.
Di sekolah baru ini, bukan hanya ruang makan yang
terpisah jauh. Tapi gedung yang besar ini disekat sedemikian banyak dan
mengikis intensitas pertemuan kami.
Termasuk perpustakaan. Perpustakaan, tata usaha, dan ruang guru,
dipisahkan. Walau memang seyogyanya harus begitu. Tata usaha, kantor, dan pusat
informasi berada di lantai 1. Itu
membuat guru-guru dan Bu Lyn dan Bu Hawa
yang menguasai ruang bawah jadi
jadi agak sulit bertemu dan bergosip seperti dulu. Satu keberhasilan Mr. Head. Perpustakaan dan ruang guru walau
berada di lantai yang sama, tapi seolah terpisah jauh. perpustakaan punya
aturan ketat dengan ratu pustaka baru, Bu Marni, yang melakukan tugasnya dengan
baik juga dengan senyum, yang betul-betul akan menegur kami, jika bergosip di
perpustakaan. Dua keberhasilan Mr. Head. Ruang guru biasanya hanya diisi oleh
guru-guru mata pelajaran, karena aturan baru yang diterapkan, setiap wali kelas
diharuskan berada sepanjang hari di dalam kelas. dan hampir semua guru
mengamininya. Tiga keberhasilan Mr. head. Jadi, aku atau guru-guru yang lain
biasanya hanya bertemu di waktu istirahat, atau sebelum masuk kelas, atau
setelah pulang, jika dijumlahkan masing-masing tidak lebih dari 1 jam. Dan tidak akan ada waktu untuk mengumpulkan
keluhan. Empat keberhasilan Mr.Head. Rentetan keberhasilan Mr. Head yang kasat
mata dinilai sebagai keberhasilan manajemen sekolah adalah pukulan telak bagiku
khususnya. 30 hari ini dengan cepat ia membagun penjara dengan tembok besar yang tinggi, hanya menyisakan
sedkit kaca bening di lantai tiga untukku. Keberhasilan selanjutnya tak perlu kupaparkan
gamblang. Singkatnya semua ruang untuk
berdiskusi, untuk bertemu, untuk berkeluh ditutup rapat-rapat. Jam kerja hampir
10 jam perhari, ia penuhi dengan kerjaan.
Silabus, modul, kontrol personal, laporan harian, buku penghubung, semua
jenis pekerjaan yang terasa jauh lebih berat dari dulu. Tidak ada waktu untuk
saling menegur, saling menanyakan dimana jilbab barunya Bu anu dibeli, atau
bagaimana perkembangan diet Bu Ina, atau rumah tangga barunya Bu Ni’ma atau
segala tetek bengek pergaulan yang membuat ku khususnya bersemangat untuk ke
sekolah.
Dan aku??? Satu bulan lebih berlalu dengan segala yang
baru di sekolah ini. Aku berusaha tidak menyesali pilihanku dan menjalaninya
melalui hal postif yang kudapatkan. Dalam beberapa momen, saat semua orang di
sekolah ini bergerak cepat, menuruni tangga, menaiki tanngga, dengan langkah
kaki berlomba, aku mengeluarkan diriku dan menonton sejenak. Seperti adegan
film yang kuperlambat tapi tetap saja kelihatan cepat. Sekolah ini belum lama menyesuakan tempat, tapi telah bergerak seperti
mesin, bahkan jauh lebih besar dan beringas dibanding sekolah yang dulu. Jika sekolah ini mesin dan semuaindividu di
dalamnya adalah elemen-elemen yang mendukung jalannya mesin itu, aku adalah
elemen yang rusak. Aku dan Riri. Kami
berdua seperti baut yang berkarat dan tidak bisa menahan
beberapa susunan elemen di sekitar kami dan mengganggu jalannya mesin, walaupun
sedikit. Kami memilih menjadi baut ini, kami meninggalkan
kelas dan menghabiskan waktu emperan kelas kami yang bersebelahan saat
pelajaran kami kosong, kami berlari
kebawah dan ikut cuap-cuap, mencla-mencle dengan Bu Lyn dan Bu hawa yang selalu
sibuk di ruangan kacanya dan berlari agak taku dengan sedikit sandiwara jika tiba-tiba mr. head muncul di depan pintu
masuk, kami mengganggu Pak Rifki yang
selalu serius di lab komputer, mengganggu Bu Ni’ma dan pasangannya yang selalu menyembunyikan
kemesraan mereka. Saat jemu dengan dindidng kelas putih yang kaku, aku mengajak
siswaku belajar di emperan toko-toko yang belum terpakai di belakang gedung
sekolah, jika kelasku di jam pertama saat matahari tidak terlalu sombong
bersinar aku mengajak siswaku lomba lari di jalan-jalan itu. Janggal dan aneh,
karena aku mengajar Writing, bukan olahraga.
Mesin bernama sekolah ini bisa saja merebut banyak hal
yang kutunggu, bukan hanya perpustakaan, par singkat dengan guru-guru, atau tawa
lepasku. Tapi aku tidak membiarkannya, merebut banyak hal dariku lagi. Kamu
bisa saja menggerakkan roda ini dengan cepat, mengerahkan kekuatan penuh,
mungkin aku juga akan ikut berlari seperti yang lainnya, tapi saat aku tahu aku
butuh istirahat, aku akan istirahat, melangkah pelan, rehat di warung kopi,
menikmati senja, mengumpulkan tenaga lalu berjalan dan berlari lagi. Mesin ini
akan rusak oleh satu buah baut berkarat, jika ia tidak diganti baru. Aku tahu
itu, tapi aku tidak peduli. Aku memilih menjadi baut itu, baut berkarat .
_n_
#mulaimembakar
Komentar
Posting Komentar