Menapaki rumah di Pongkalaero_Catatan Perjalanan #2

Satu-satunya yang tidak menyambut kami dengan ramah di hari pertama kami tiba, adalah matahari. Ia pongah, berkolaborasi cukup apik dengan hembusan udara. Terasa sangat panas menyapa kulit. Kami tiba di depan rumah panggung khas rumah-rumah di kepulauan. Rumah ini adalah rumah milik tante, kakak dari ibu. Orang memanggilnya mama khadijah. Kak Khadijah adalah anak pertama yang sekarang tinggal di kampung berbeda yang harus ditempuh dengan perjalanan darat selama kurang lebih dua jam dari pongkalero, saya lupa nama desanya. Di rumah ini, yang menemani tante sehari-hari hanya Haris. Yang lain tinggal di daerah lain. Lebaran kali ini, hanya Hudi dan Yanti yang pulang kampung. Kami disambut oleh tante yang sedang membuat nasi bambu, salah satu penganan dari ketan yang dibakar di dalam bambu yang menjadi santapan wajib saat lebaran. Setiap komrad pulang kampung, rumah ini menjadi tempat tinggal.
Rumah ini langsung berhadapan dengan lautan nan luas. Pasal inilah yang membuat maha tidak bisa bersabar melihat kampung halamannya. Dia ingin mandi di laut sepuasnya. Sayangnya, sebagian wilayah pantai di depan rumah sudah ditimbun, untuk pembangunan mesjid dan lain-lain. Tapi tidak mengurangi indahnya pemandangan laut yang bisa kita nikmati dari teras rumah. Seperti rumah panggung pada umumnya, rumah ini kelihatan sangat kecil dari depan. Tapi sangat luas. Punya beberapa kamar yang sudah disediakan untuk kami. Saya dan keluarga di kamar depan, Tante Fajh dan om Felix di kamar tengah, Ibu, Ni’mah dan Keenan di kamar tengah. Rumah berdinding dan beralas papan, beratap seng, sangat panas di siang hari. Namun, ada bagian rumah yang menjadi perantara antara ruang depan dan belakang, yang menjadi spot favorit kami semua. Panasnya siang tiba-tiba terkalikan nol, jika kami duduk dan berbaring di sana. Alasnya bukan papan tapi bilah-bilah bambu yang kecil dan menjadi ruang besar bagi udara-udara sejuk yang meniup-niup dari bawah. Setiap siang kami habiskan di situ, apalagi maha dan suar. Mereka akan tertidur dan kami pastikan nyenyak. Mengalahkan kipas atau mungkin AC. Suar dan Keenan menjadikan spot itu, sebagai arena  bermain yang menegangkan dan menyenangkan. Beberapa bilah bambu terlalu jarang dan sangat lowong untuk kaki-kaki mereka yang kecil dan enggan berhenti berlari.
Alas bambu seperti itu, juga ada di bagian dapur. Katanya, dulu, hampir seperdua rumah alasnya dari bilah-bilah bambu ini. Jadi sangat mudah untuk melihat segala sesuatu yang wara-wiri di kolong rumah. WC terpisah dari rumah dan harus melalui tangga yang cukup terjal. Nah, halaman belakang rumah ini juga spot favoritku. Ada pohon kelapa kecil yang selalu berkawan angin, bergerak-gerak gemulai dan sendu. Di sampingnya, ada kandang ayam yang ayamnya tidak pernah kulihat.
Ada yang lucu dari rumah ini, sesaat kami tiba, kami heran, ada satu wadah, serupa tempat-tempat kecil dari kayu yang digantung dari kayu juga dan sangat kokoh. Kami menyimpan gelas setelah minum, atau rokok dan memfungsikannya serupa meja. Setelah diulik, ternyata itu adalah tempat hape. Bagian itu adalah bagian dimana signal tertangkap dengan bagus. Yah, di kampung ini bukan hanya listrik yang masih minim, signal provider telekomunikasi juga datang dan pergi semaunya.      
Rumah kedua yang jadi tempat saya menapak adalah rumah tante juga. Adik perempuan dari kakeknya maha. Maha dan suar lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ini. Rumah ini tidak pernah sepi. Semua anak hingga cucu tante dan om berkumpul dengan formasi lengkap. Maha memiliki sepupu-sepupu seumurannya dan kebanyakan laki-laki yang telah dia kenal jauh sebelumnya. Jadi tidak perlu menunggu lama untuk menyatukan feel mereka. Apalagi Suar. Maha bahkan tidak sempat beristirahat dan langsung diajak mengeksplorasi kampung sesaat setelah dia tiba.
Rumah ini sudah dipugar, menjadi rumah batu yang luas dan sangat adem di siang dan malam hari. Saya juga tidak terlalu sungkan menganggapnya rumah sendiri, saya sudah sering bertemu sepupu-sepupu komrad di beberapa acara keluarga. Saya merasa seperti berada di dekat kakak perempuan dan laki-laki saya sendiri.
Kami mengunjungi beberapa rumah di hari lebaran.  Rumah-rumah keluarga berdekatan. Hampir semua rumah dikampung itu, memiliki hubungan darah meskipun jauh.  Di malam terakhir, kami menginap di rumah kakak ibu. Rumah panggung yang juga bagian dapurnya, beralas potongan-potongan bambu kecil. Rumah di kampung memang kebanyakan terlihat kecil dari luar, tapi sangat lapang di dalam. Lapang dalam arti yang sebenarnya dan lapang dalam makna yang lebih luas. Di kota-kota besar, dengan rumah yang megah, kita justru kadang kesulitan mendapatkan sambutan hangat. Saya khususnya, yang baru kali pertama menginjakkan kaki di kampung ini, merasa disambut dengan hangat, merasa semua rumah menyambut saya dengan tangan terbuka lebar.  
Rumah-rumah ini menjelaskan pada saya banyak hal. Saya suka menayakan pada komrad tentang asal-usul keluarganya. Tentang bapak, tentang rumah yang dulu mereka tinggali. Bapak dan ibu adalah guru di kampung kemudian pindah ke kota Kendari. Bapak dan ibu memang sudah meninggalkan kampung itu berpuluh-puluh tahun lalu. Walau sisa-sisa rumah bapak yang dulu sudah tidak ada dan rumah di masa kecil ibu juga sudah dimiliki orang lain. Tapi bapak dan ibu tidak pernah meninggalkan rumahnya. Rumah mereka mewujud dalam bentuk lain. Dalam cinta yang lain.
Saat pergi meninggalkan rumah demi rumah dikampung ini, dalam hati saya berjanji bahwa akan datang menapaki rumah-rumah ini kembali.

Ibumahasuar
14 Juli 2016

pemandangan dari teras rumah

dari jendela samping kamar

bagian samping rumah

masih di depan rumah

bagian kanan yang agak gelap itu yang ada gelasnya, itulah tempat hape yang fenomenal

di rumah om

naahhh...ini spot favorit kami untuk tidur siang, di belakang sana dapur

dari atas sini, saya selalu duduk berlama-lama

rumah tante (adik bapak)

Komentar

Postingan Populer