Merayakan Kemenangan Berjamaah_Catatan Perjalanan#4
Satu hal yang membuat saya penasaran dengan kampung adalah
ritual lebaran. Cerita ini adalah satu dari kebanggaan bapak maha yang
diceritakannya hampir setiap tahun. Atau setiap tema lebaran disinggung dalam topik pembicaraan. Sebenarnya, niat menuju kampung sempat ingin saya undur
setelah lebaran, membayangkan perjalanan dalam keadaan berpuasa pula, membuat
saya berat memutuskan. Tapi, bapak maha memastikan bahwa saat lebaranlah,
kampung mencapai puncak keramaian. Bukan hanya itu, lebaran di kampung bukanlah tentang silaturahmi semata tapi
tentang menjaga tradisi.
Malam lebaran, kami habiskan sepenuhnya di rumah. Membantu
atau tepatnya menemani fajh dan ibu, dan tante yang sejak sore bergerak di
dapur. Takbir sudah berkumandang sejak setelah magrib. Kami menunggu rombongan
anak-anak takbiran yang membawa obor keliling kampung dan berharap mereka lewat
di depan rumah. Sayangnya tidak. Subuh lebaran adalah subuh pertamaku di
kampung. subuh yang telah dihujani takbir dan membuatku mengingat bapak dan
mama di Bone. Subuh lebaran di Bone saat itu pasti sangat sunyi, ketiga anaknya
yang telah berkeluarga sedang berlebaran di rumah mertua, menyisakan Udi
dan Ana. Hiruk pikuk ketergesa-gesaan
adalah satu hal yang tidak pernah berubah di rumah. Lebaran selalu menyisakan
haru, mengenang orang yang tidk ada atau tidak akan pernah ada lagi di samping
kita.
Saya melangkah malas menuju WC. Membayangkan dinginnya air
yang akan menyentuh kulitku, membuat langkahku tersendat-sendat. Saya seperti
sedang mandi air es. Semua gerakanku,
seperti gerak cepat. Mempersiapkan keperluan tiga lelakiku dan untukku sendiri.
Kami menuju masjid yang hanya beberapa langkah dari rumah. Mesjid sudah
dipenuhi warga yang sebagian besar memakai baju putih. Bapak dan maha sudah
berangkat duluan. Walau agak telat kami berada di shaf ke dua. Ibu sudah
mengurusnya sejak subuh tadi. Hehehe. Shalat Ied berjalan khusyu’. Suar dan
Keenan berulah tapi masih undercontrol.
Shalat Ied diahiri dengan saling meminta maaf.
Setelah shalat Ied, maka dimulailah runutan event yang tidak
berhenti membuat saya kagum dan bahagia berada di kampung ini. yang pertama
adalah siarah kubur. Siaraah kubur adalah agenda banyak orang saat lebaran,
mengunjungi dan mendoakan mereka yang telah mendahului kita, juga seperti alarm
bahwa cepat atau lambat kita akan menuju ke sana. Tapi, di sini, sangat unik.
Siarah dilakukan serempak. Awalnya, saya enggan pergi, toh tidak ada yang
menarik dari siarah kubur. Tapi, salah. Sesampai di sana, saya takjub, hampir
semua penghuni kampung ada di pekuburan umum desa ini, sebagian telah sedang
mengaji dan berdoa di samping kuburan keluarga mereka. Saya tidak pernah
melihat orang sebanyak itu berada di kuburan dalam waktu yang bersamaan. Lalu,
setelah beberapa menit, doa bersama di mulai. Dipimpin oleh seorang yang telah
ditunjuk sebelumnya. Semua orang menghadap kiblat dan berdoa. Dan seketika
suasana itu membangkitkan pada saya ketundukan yang dalam pada Sang Maha
Pemilik Jiwa.
Ketakjubanku tidak berhenti sampai di situ. Di hari kedua
lebaran, kami mengikuti acara Halal bi Hala, acara ini juga acara yang unik dan
mungkin tidak ada di kampung lain. Halal bi halal ini diselenggarakan dua desa
yang dulunya menyatu. Desa Pongkalaero dan Puununu. Halal bi halal ini dilaksanakan
untuk menjaga silaturahmi antara ke dua desa. Penyelenggaraannya sangat unik,
jadi warga desa Puununu yang saat itu bertindak sebagai tuan rumah, telah
menanti warga desa Pongkalaero dengan berjejeran di sebuah jembatan sampai di
mesjid besar yang menjadi pusat kegiatan. Saya menyelipkan diri diantara kakak-kakak
sepupu karena berbusana seadanya. Sementara semua orang tampil maksimal. Lalu,
saat semua sudah siap, kami dari Pongkalaero meneriakkan salam dan dibalas
dengan semangat pula dari kampung sebelah. Saya tidak berhenti tersenyum,
menyaksikan diri saya berdiri lalu berjalan beriringan menyalami semua orang
yang telah berjejer rapi menyambut kami. Orang tua, anak muda, anak-anak, semua
bersalaman dengan tertib.
Lalu, kami disambut dengan acara penyambutan dari kampung
sebelah. Sayangnya, Suar tidak dalam mood yang baik, sehingga saya tidak bisa
menunggui hingga selesai. Di hari selanjutnya, Pongkalaero bertindak sebagai
tuan rumah. Giliran kami yang menunggu dan berjejer. Saya datang terlambat. Padahal,
halal bib halal ini harusnya sangat special. Bapak maha diminta menjadi pengisi
hikmah halal bi halal. Bukan tanpa sebab. Panitia Halal bi halal, yang juga
sepupu komrad telah menghubungi komrad di hari lebaran untuk mengisi job ini. Komrad
tidak mungkin menolak, bukan karena dia pasti bisa melakukannya dan memang
senang jika mendapatkan waktu untuk bicara, namun ini tentang harapan orang
padanya dan yang paling penting, ini adalah bentuk kecintaannya pada kampung,
pada tradisi ini, dan pada bapaknya, kakek maha. Kakek maha jugalah yang
menjadi salah satu perintis kegiatan ini. Betapa membanggakannya memiliki
mertua seperti beliau.
Ini merupakan tugas bicara yang paling berat bagi komrad,
mungkin. Bagaimana tidak? Bayang-bayang bapak pasti terlihat di belakangnya. Dia
bahkan diserang sakit kepala, dan baru menyusun isi hikmahnya beberapa jam
setlah malam sangat tua. Tapi, untuk urusan itu, saya selalu yakin pada komrad.
Dia tidak pernah mengecewakan. Dia mulai dengan cerita tentang bapak yang
membuat kami semua terharu. Tema yang komrad angkat berkisar di isu-isu humanitarian yang dipadukan dengan
pembangunan desa. HI sekali. Namun, insiden kecil perkara konsumsi yang memecah
perhatian bagian belakang membuat tante Ni’ma cabut sebelum komrad mengakhiri
pidatonya yang sangat lama. 15 menit tidak akan cukup untuk dia yang memang
punya hobi bicara. Acara halal bihalal ini, ditutup dengan santap besar yang
membuat perut kami tenang.
Jika acara halal bihalal, didominasi pelaksananannya oleh
orang tua, kegiatan selanjutnya adalah ruang bagi mereka yang muda. Anak-anak
SMP dan SMA. Serupa Pekan seni dan olahrga yang masih digelar oleh dua kampung
ini. dan tidak main-main, mereka membukanya dengan pawai menyusuri desa. Dengan
menggunakan motor dan mobil. Menggunakan baju olahraga dan baju adat. Semua anak muda sangat antusias akan kegiatan
itu. Pertandingan olahraga digelar antara dua kampung, dan beberapa
pertandingan lain yang tidak sempat kami nonton.
Malam harinya, panggung kreasi terbuka. Berbagai jenis lomba
diadakan. Saya hanya sempat menonton lomba busana. Pesertanya banyak dan
menunjukkan totalitas dalam berlomba, busana muslim dan busana nasional. Penontonnya
apalagi. Hampir semua orang turut bergembira menikmati gelaran yang disajikan
panitia walau malam semakin tua. Sayangnya, kami hanya bisa menyaksikan lomba
busana, lomba yang menyegarkan mata. Maha bahkan hingga kini masih hapal
gaya-gaya para peserta yang tidak bisa membuat saya berhenti tertawa. Tante
Fajh paling tahulah masalah ini.
Gelaran yang disajikan di kampung saat lebaran, menurutku
bisa jadi potensi wisata budaya yang membanggakan. Kebiasaan yang diprakarsai oleh
tetua kampung dan dijaga hingga puluhan tahun lamanya sehingga menjadi tradisi
berlebaran adalah sebuah prestasi besar, yang harusnya dikabarkan pada banyak
orang. Tradisi lebaran ini, menyentuh semua kalangan, tanpa terkecuali. Semua rentetan
kegiatan ini memberikan akses yang lapang bagi semua orang untuk menunjukkan diri
dan kecintaannya pada sesama dan pada kampung halaman. Bukan hanya itu, hampir
semua yang mengorganisir adalah anak-anak muda, mereka bekerja berkolaborasi.
Di kampung ini, lebaran bukan hanya tentang baju baru. Lebaran
adalah semangat baru. Dan menurutku, sudah sepatutnya lebaran dirayakan dengan
semarak seperti ini. Saling membagi kebahagiaan, merasakan kebahagiaan secara
berjamaah. Bukankah itu makna lebaran yang sesungguhnya?
Sungguh…. pada Pongkalero, aku jatuh cinta berkali-kali.
Ibumahasuar
19 Juli 2016
mensiarahi makam om |
sesaat sebalum membaca doa |
halal bihalal di hari kedua lebaran |
penyambutan desa Ponunu |
halalbihalal di hari ketiga lebaran |
salam-salaman |
masih salam-salaman |
menyaksikan dari jauh komrad sedang membawakan hikmah halal bi halal |
Komentar
Posting Komentar