Berhenti menaruh harapan pada industri pertelevisian..
Saya kira, perjalanan industry pertelivisian negara ini bisa
dibilang berjalan mundur. Kemunculan banyaknya figure selebrita dan segala
aksinya tidak berbanding lurus dengan karya yang dihasilkan apalagi jika untuk
produksi televise. Tayangan tidak bermutu, jauh dari nilai-nilai edukasi sangat
mudah dilahap jika kita berada di depan telivisi. Berita dan informasi yang disuguhkan
pun seringkali tumpang tindih, menyelamtakan satu pihak, dan menenggelamkan
pihak lain. Pola pikir, pola hidup yang dsepakati ditularkan dengan mudahnya
lewat sinteron-sinteron kacangan yang sayangnya digandrungi semua usia. Pilihan
chanel ada banyak, namun hanya sedkit yang bermutu. Makanya, jauh sebelum semua ini, saya tidak
pernah percaya pada televise.
Saat Ramadhan lalu, tiba-tiba ada tayangan sinetron Ramadahan
yang entah sengaja atau tidak, kami ikuti. Saat Ramadahan walau
berbondong-bondong tayangan tivi meramaiakan sahur dan buka puasa, kualitasnya
tidak jauh berbeda. Yang diubah hanya tampilannya saja. semua serentak
berbusana santun. Nah, sinteron ini tayang di salah satu tivi swasta The
Hjabers. Yang menarik, bukan hanya pemainnya yang gagah dan cantik, yang paling
penting ide ceritanyasederhana. Perjalanan perempuan yang mencari pendamping hidupnya.
Sebenarnya, ide ini bukan ide langka, bahkan sudah sering diangkat di layar
kaca. Namun, The Hijabers mengemasnya seperti kehidupan sehari-hari. Tanpa pemeran
antagonis yang jahatnya bukan main dan tanpa pemeran protogonis yang bisa
diinjak-injak dan kebaikannya selalu disalahartikan.
Nuansa Islami yang diangkat, dikemas dengan kekinian.
fashion style nya pun, bisa jadi rujukan oleh banyak anak-anak muda yang memutuskan
untuk berhijab tanpa harus merasa kuper. Kisah cintanya, adalah kisah cinta
yang tidak basi. Perjuangan masing-masing tokoh mendapatkan mimpinya, dikemas secara
masuk akal. Tarik ulur berkali-kali
antara empat tokoh sentra di sinetron ini, menjadi keunggulan tersendiri.
Pokoknya sinetron ini bisa dijadikan juara diantara hampir semua tayangan sinetron
televise. Akhirnya, ada sinetron yang membuat kami bisa duduk bersama di depan televise.
Dan kami harap sinetron itu, tidak perlu berlanjut setelah Ramadhan.
Hampir mengujungi Ramadhan, sinetron ini tidak menunjukkan tanda-tanda
akan habis. tapi, kami mencoba percaya bahwa orang-orang di belakang sinetron
ini tidak berpikir murni hanya untuk rating dan atau keuntungan semata. Karena semakin
berjalan, iklan semakin banyak. Harapan kami terwujud, sinetron ini berakhir
satu minggu setelah Ramadhan.
Tapi, demi semua sinetron yang selalu saya umpat, demi semua
tayangan televise yang selalu saya caci, sinetron inilah yang paling memuakkan
pada akhirnya. Jadi tokoh Ilham, yang sejak awal telah dikelilingi perempuan
yang menyukainya dan mengharapkannya jadi suami, memilih orang yang sama sekali
tidak terduga. Tidak, ini bukan karena kecendrungan penonton akan memilih tokoh
utama, bukan karena itu. Bukan pula karena keberhasilan penulis scenario mengutak
atik cerita, saya pastikan cerita ini telah dibelokkan, atau jika tidak,
artinya penulis skenarionya betul-betul tidak tahu menulis scenario.
Pertama, Ilham sejak awal memang adalah tipikal laki-laki
kabanyakan, yang suka berbuat baik tapi tidak sadar bahwa yang dilakukannya
memberikan kesan yang berarti untuk perempuan. Perempuan sering menyebutnya,
tukang tebar pesaona. Tapi, secara logis, memang tindakan yang dia lakukan
adalah tindakan yang memang harusnya dilakukan sebagai seorang manusia untuk
manusia lainnya. Kenapa ujungnya memuakkan, karena perempuan yang dipilihnya di
kali terakhir sama sekali tidak pernah ia perlakukan special. Sementara, dengan
tokoh utama, dia telah menunjukkan perhatian lebih dari yang lain sejak episode
episode awal. Dan yang tidak masuk akal,
dia menyatakan telah mencintai perempuan itu jauh sebelum ia harus memilih. Sayangnya,
ia menyatakan itu setelah ia melamar perempuan tokoh utama. Pernyataan cinta
itu, tidak ditopang oleh fakta-fakta yang dilakukan Ilham sebelumnya. Itu adalah
kesalahan besar yang dilakukan sinetron ini.
Andai saja, dimunculkan potongan-potongan adegan baru di
masa lalu yang bisa menunjukkan bahwa Ilham memang mencintai perempuan itu secara
diam-diam seperti dalam drama-drama Korea, misalnya, sinetron ini jauh lebih
bermutu dan lebih menarik. Tapi tidak. Pernyataan
cintanya itu tidak berlandaskan atas apa yang terjadi selama ini. Sementara,
sosok Ilham adalah sosok yang sangat berhati-hati menentukan keputusannya. Diantara
keempat perempuan yang menegelilingi Ilham, dia memberikan balasan perhatian
yang serupa kecuali dengan satu orang, dia bergerak lebih maju, lebih
progressif dan lebih bebas menunjukkan perhatian yang lebih, dan ternyata bukan
perempuan ini yang dia cintai.
Bukankah itu bodoh? Atau mungkin ilham adalah tipikal lelaki
plin plan? Harusnya dia tidak perlu menunjukkan perhatian lebihnya pada seorang
perempuan yang tidak dicintainya sejak awal. Satu jawaban, sinetron ini semakin
berjalan semakin digemari dan itu adalah pertanda baik, membiarkan tokoh
utamnya bertemu membuatnya menjadi lebih sulit untuk mengangkat cerita baru. Ujung-ujungnya,
kisahnya menjadi sangat kacangan, tidak elegan, poko’nya semua alasan kami
menonton sinetron ini runtuh seketika karena ujung cerita yang bodoh. Saya bisa
pastikan ini berhubugan dengan kelanjutannya di Ramadhan tahun depan.
Tayangan televise bangsa ini lagi-lagi membuktikan, bahwa
keorisinilan cerita, kemurnia karya, adalah hal yang bisa disetir oleh modal. maka, berhentilah berharap pada isndustri ini. Televisi hanyalah layar kaca, namun kau bisa tenggelam atau memilih mematikannya lebih dulu.
ibumahasuar
28 Juli 2016
Komentar
Posting Komentar