Pulang Kampung_Catatan Perjalanan #1


Rencana berlebaran di kampung belum kami putuskan hingga di awal minggu terakhir Ramadhan. Namun kami sudah melempar issue ini jauh saat ramadhan masih sangat belia. Bermukim di daerah urban, adalah cerita tentang merindukan segala hal yang alami. Saya dan komrad sepakat, alam menyediakan banyak hal untuk maha dan suar pelajari, maka agenda liburan selalu menjadi bahasan penting untuk kami bahas.
Wacana tentang mengunjungi Kabaena, desa Pongkalaero, entah kapan tiba-tiba bergulir begitu saja.  dan semakin membesar saat liburan mulai diumumkan. Desa itu telah lama kami kenal, bahkan menjadi cerita andalan bapak bebi untuk maha di waktu luang kami. Komrad menceritakan hampir semuanya, tentang angin laut yang ramah, tentang kebun di gunung, tentang dingin yang menusuk kulit, dan tentang orang-orang yang hidup bahagia dengan sederhana di sana.  Kami pernah berencana ke sana beberapa tahun lalu, tapi selalu gagal. Dan akhirnya, tarik ulur rencana bermuara pada keputusan “setuju” di hari-hari terakhir Ramadhan, dengan bekal pengetahuan yang minim, tentang rute tentang cara menuju ke sana. Kami bukan hanya bersiap materi, namun mental dan fisik. Bepergian di tengah arus mudik adalah cobaan tersendiri yang harus kami siasati dengan benar.
Kami berangkat dari Bone, Minggu malam menumpangi kapal Mandala. Langkah awal yang menjanjikan, karena Kak Heri punya kenalan seorang kapten Kapal dan kami dapat tempat yang nyaman. Perjalanan kami tempuh kurang lebih 8-9 jam. Kami tiba di Kolaka, saat matahari sudah menyembul malu-malu. Mobil menuju Bombana, telah menunggu kami di pelabuhan. Kami akan melalui pagi yang panjang. Kabupaten Kolaka berbatasan langsung dengan Kabupaten Bombana. Pikirku, tidak akan lama.
Tapi salah, kami menempuh rute kurang lebih 4-5 jam. Melewati kecamatan-kecamatan yang banyak dan tidak bisa kuhapal satu-satu. Namun, potongan-potongan gambar saat berada di perjalanan itu, terekam jelas dalam memoriku. Hampir sepanjang jalan kami disambut oleh hamparan laut yang luas, jejeran pohon kelapa yang rapih. viewnya sangat membahagiakan.
Sepanjang perjalanan, saya khususnya terbuai dengan semua yang dilahap retinaku. Tiba di ibukota kabupaten Bombana, Kasipute sekitar beberapa menit sebelum Dzuhur. Ibu dan rombongan dari Kendari juga sudah tiba. Kami memang telah mengajak ibu, tante Fajh dan tante Ni’mah untuk lebaran sama-sama. Titik pertemuan adalah Kasipute.  Kasipute dalam bahasa Bugis berarti pasir putih. Namun hingga saya tiba kembali di sini, saya  belum menemukan alasan mengapa kota itu bernama Kasipute. Kami menginap di Sagori Instititute. Sebuah kantor yang tampakannya lebih mirip sekret mahasiswa.
Kasipute adalah kota Pelabuhan. Dibatasi gunung yang berkabut setiap sore dan pagi hari. Kami sempat mencicipi senja di sana. Mencari jajanan untuk buka puasa. Kabupaten Bombana jika tidak salah, adalah kabupaten yang baru mekar. Baru 2 atau 3 priode pemerintahan. Pembangunan masih belum terarah, banyak pekerjaan yang terbengkalai. Roda perekenomian, dari pengamatan singkatku digerakkan oleh bisnis penginapan. Riak-riak perdagangan juga tidak kalah bersaing. Seperti kebanyakan daerah yang baru mekar, kehidupan sosial dan ekonomi, didominasi oleh pendatang. Kebanyakan orang Bugis.  Bahasa yang saya temui adalah bahasa ibuku, bahasa Bugis. Saya seperti berada di kampung halaman sendiri.
Saat pagi masih buta, rombongan kami sekeluarga ditambah Hari dan istrinya, yang telah berlapang hati menerima kami dengan ikhlas, menuju pelabuhan. Pelabuhan sudah ramai dengan calon penumpang yang akan menyebrang. Kapal Cantika Anugrah telah siap mengantar kami menuju pulau Kabaena. Kami perkirakan, arus mudik telah mencapai puncaknya beberapa hari yang lalu, kapal terasa lowong dan tidak sesesak yang saya bayangkan. Dan kapalnya jauh lebih besar dari yang sering diceriatakan komrad.
Perjalanan hampir tiga jam dan terasa sangat lama. Saya harus mengakui, perjalanan laut bukanlah jalur favoritku apalagi harus ditempuh saat puasa seperti ini. Laut dan langit serasa memberkati perjalanan kami. Mereka sangat tenang. Kami bersandar di pelabuhan Batuawu, Kabaena. Pelabuhannya kecil dan sudah dipenuhi orang yang seolah hendak melompat masuk sebelum kami keluar. Terik matahari menyambut kami. Desiran ombak menuju pantai tetiba membuatku berhenti sejenak. Meresapi angin, berkenalan dengan pepohonan dan gagahnya pegunungan. Saya tersenyum, bahagia.
Kami tiba, di Kabaena. Kami mengendarai mobil yang sudah menunggui sejak tadi. Menyusuri jalan yang sepanjangnya berbatasan dengan pantai  dan gunung. Medannya tidak terlalu mulus, menurut sopir, baru sebulan lalu jalanan ini di aspal, lalu rusak lagi. Sebagian gunung yang kami lewati telah berteman eskavator. Pemandangan yang agak mengharukan. Mobil-mobil ini menempuh jarak yang sangat jauh hanya untuk “melawan” alam. Mereka tidak bisa merasa tenang jika belum mengeruk gunung dan menimbun lautan.
Sekitar 15 menit, kami tiba di Pongkalero. Saya diam sejenak. Menarik nafas. Dari sinilah kehidupan laki-laki itu bermula. Yang dengannya mimpi dan cita saya tautkan. Dari tanah inilah, mengalir darah anak-anakku.

13 Juli 2016
ibumahasuar

Di kapal Mandala menuju Kolaka

sesaat setelah bangun, dan pelabuhan sudah keliahatan

serupa papan pengenal di bagian depan Sagori Institute, terbuat dari pasir

di kapal Cantika menuju Kabaena

di pelabuahan Batuawu

view Kabaena yang menjemput saya

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer