Manusia alami, Alam manusiawi _Catatan Perjalanan #3

Saya suka menjelajah, menemui orang baru, mengunjungi tempat baru. Saya senang mendengar cerita mereka, dan suka bertanya apa saja tentang kehidupan mereka. Mumpung baru pertama kali ke kampung, saya menaruh banyak perhatian pada orang-orang dan hal-hal baru yang saya temui. Lebih banyak tentang bagaimana orang-orang menjalani hidupnya.  Di kampung ini, menurutku manusia dan alam berjalan bersinergi. Kampung ini berbatasan langsung dengan laut dan jajaran pegunungan, itu berarti cukup. Alam telah mennyediakan, semua yang dibutuhkan.
Selama kurang lebih tiga hari di kampung, saya memanjakan perut dengan segala yang disediakan di hadapan saya. Mulai dari makanan berat sampai yang paling ringan. Program diet, di hari seperti ini tentunya bukanlah prioritas. Tapi, prinsip utamanya,  kurangi nasi perbanyak lauk...(Hahaha). Puncak kesemrawutan makanan ada di hari pertama lebaran, saya menyantap semua, mencoba semua lauk di setiap rumah. Ayam dan daging-dagingan walau sudah biasa, tetap tidak bisa luput dari buasnya nafsu makanku. Apalagi coto buatan Mama Intan. Tapi yang lebih mencuri perhatianku, adalah semua hasil laut yang disediakan. Ikan dan udang. Ikan kebanyakan dibakar dipadu dengan sambal super enak, dan udang ditumis dengan rempah yang melimpah.
Dan sajian itu tidak berhenti di hari lebaran. Bahkan cerita kuliner kami, baru dimulai. Saya hampir tidak pernah berhenti mengunyah. Ada-ada saja yang bisa kami makan. Makanan utama, kue, buah. Saya bahkan harus menahan sakit perut demi jambu dan jeruk yang dipetik langsung dari pohonnya. Di rumah, Fajh dan ibu sudah mengambil alih dapur sejak kali pertama tiba. Saya dan  Ni’mah sesekali membantu tapi lebih banyak mnengamati dan menyicip dalam jumlah yang besar. Hihihi.  Kalau di rumah yang lain, saya lebih banyak diposisikan sebagai tamu. Jadi, jika makanan sudah siap saya tanpa babibu langsung menghamburkan diri. Yang paling kami nikmati, dua hari dua malam terakhir, kami menyantap hasil laut yang dicari sendiri secara alami oleh om-om Maha.    
Adalah Om Haris, sepupu komrad. Tampakannya jauh  lebih tua dibanding umurnya. Badannya tegap serupa atlit, kulitnya eksotis, hitam legam mengkilap saat terpapar cahaya matahari. Rambutnya gondrong dan lebih sering diikat. Menurut komrad, sejak bapaknya meninggal beberapa tahun lalu, Haris mengambil alih perannya. Dia jarang di rumah, sedikit bicara, dan selalu telihat sibuk melakukan sesuatu. Dia melaut, mencari ikan bersama banyak pemuda di sana. Menjadi penting, karena tante tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membeli ikan. Ikan yang dibawa lumayan banyak. Namun, sebanyak apapun hasil melautnya, selalu habis ludes di hadapan kami_ Geng Berani Kenyang. Apalagi dikolaborasi dengan sambal buatan Yanti, adiknya, yang lupa saya tanya resepnya. Ia membawa ikan segar, kepiting dan cumi-cumi. Tidak perlu olahan yang macam-macam. Hasil laut itu, hanya digoreng dan terasa sangat segar.
Ada Om Makbul, sepupu komrad juga. Malam itu saat kami menginap di rumahnya, dia sedang mencari ikan. Dia pulang dengan kecewa, karena “hanya” membawa cumi. Tapi tidak dengan kami, Saya, Ni’mah, Fajh, dan Felix, tiba-tiba tidak lagi mengantuk di ujung malam, demi menyantap cumi-cumi yang beberapa menit sebelumnya masih hidup di lautan sana. Cumi-cuminya besar dan banyak. Dia bercerita sering membawa pulang cumi yang jauh lebih besar dari tangkapannya malam itu. Lidah dan perut kami dipuaskan apalagi bagi Om Felix yang telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Tanah Jawa, dimana ikan dan hasil laut lainnya menjadi makanan langka dan mahal.
Di kampung ini, juga hidup beranak pinak suku Bajo. Suku bajo dikenal sebagai suku yang selalu ada di setiap daerah-daerah kepulauan. Kebanyakan mereka, menjadi nelayan dan pemasok ikan di kampung ini. Dan semuanya masih diproses dengan cara yang alami. Lautan berbelas kasih pada masayarakat dengan hasil lautnya yang melimpah.  Tanah juga sangat makmur, menyuburkan tanaman, buah-buahan yang  menjadi kebutuhan masyarakat di sana. Alam dan manusia berjalan seiring, seimbang dan tidak saling menyingkirkan.
Nah, saya bersyukur bisa melihat sinergitas semesta di kampung ini. Walau saya tahu betul, mesin-mesin pertambangan di balik gunung sana sedang bekerja sejak beberapa tahun lalu. Dia menjadi polemik yang tak memang semestinya, tidak boleh berkesudahan.  Cerita pertambangan di satu sisi adalah cerita tentang kemajuan, tentang harapan hidup orang-orang di perkampungan secara ekonomi yang dianggap tertinggal oleh sedikit orang, seharusnya  tidaklah menjadi  masalah. Namun, di sisi lain, cerita pertambangan adalah kisah tentang digerusnya alam secara paksa oleh mesin-mesin yang hanya bermuara pada pembicaraan untung dan rugi, dan pastinya mereka tidak ingin rugi. Membicarakan tambang adalah berbicara tentang upaya mengeruk alam tanpa sedikitpun kekhawatiran akan masa depan bumi apalagi masa depan generasi yang hidup di sekitarnya. Gerak tambang adalah gerak menguras, yang tidak akan berhenti hingga tanah kita betul-betul habis.
Dan selama liburan di kampung, saya memilih menutup telinga dan menutup mata tentang cerita tambang.  Saya memilih untuk tidak merusak segala cerita yang ingin kutulis di kepala saya tentang kampung ini. Pongkalero, harusnya mengajarkan pada orang-orang yang datang bahwa di sini, tanah , air, udara, dan manusia adalah elemen yang tidak pernah saling merugikan. Alam diperlakukan manusiawi dan manusia menjalani hidup alami. 

Semoga saat datang kelak, semua itu tidak berubah. Semoga.

14 Juli 2106
ibumahasuar

Komentar

Postingan Populer