“dewa penolong”

Mungkin, kita masing-masing punya dewa penolong. Dalam beberapa momen, kita punya seseorang yang selalu berdiri di depan dan menghdang segala masalah, lalu berkata “ tenang, saya ada di sini”. “dewa penolong” biasanya marak saat ospek, atau saat masa pengkaderan. Untuk beberapa orang, selalu ada “dewa penolong” yang akan berkorban untukmu. Untuk yang satu ini, aku tiba-tiba teringat kamus cinta seorang sahabat, Abul A’la Al Maududi, dia lebih mempopulerkan kata “pahlawan bertopeng” ketimbang “dewa penolong” untuk teori pertama mendapatkan cinta. Belakangan, kata “pahlawan bertopeng” memang pas dilafazkan untuk momen-momen seperti di atas. Ah, sudahlah, dalam tulisan ini aku tidak ingin beromantisme tentang masa-masa itu. Yang jelas dewa penolong kami secara massal saat itu adalah “ Muna’, Kasim, Muna’, Kasim. “ hahahahahay…..#
***
Baru saja, aku yang sedang (lagi) bergelut dengan print mengeprint modul, memarahi Aira karena lembaran terakhir modulku harus tercancel karena secara sengaja ia menekan tombol restart. Kemarahanku tiba-tiba meluap, bukan hanya karena itu, sebenarnya dari siang tadi, Aira sudah mengganggu konsentrasiku di meja kerjaku di ruang tamu ini. Setiap kertas yang keluar dari printer, ia tunggui dan ia coba tarik, demi melihat seluruh kertas keluar dengan cepat. Sebelum insiden tadi, ia juga melakukan hal yang sama berkali-kali. Dan aku menegurnya berkali-kali, masih dengan santai karena dua anak ini memang sering mengisi harinya dengan “menyusahkan’ kami yang di rumah.
“Airaaaa….liat itu kerjaan Ibu rusak” kataku dengan keras dan langsung memicu ekspresi “kamaseangnya” dengan bibir dikatup rapat, dan air mata tergenang. Aku terdiam dan mencoba menenangkan amarah. Aku sudah sempat merasa bersalah dan mencoba mengalihkan suasana, tiba-tiba sebuah pukulan kecil mendarat di belakangku.
“kenapa de? maha pukulkan ibu?” begitu maha mengulang-ulang kalimatnya sembari menghadiahiku beberapa pukulan.
“kenapa? Kenapa ibu nangiskan ade?” tanya maha padaku juga dengan sedikit marah.aku yang sedang menyejukkan pikiran, tiba-tiba harusberhadapan dengan dua orang anak sekaligus. Mencoba membela diri dan berusahameyakinkan maha, kalau ade'nya memang pantas diamarahi. Tapi diatidak peduli, tetap memukulku dan menyuruhku menangis
"menangis ibu! menangis! kenapa kasi nangiskan ade?" lalu setelah membuat ade'nya puas mereka meninggalkanku dengan kesal. Uhhh
Adegan seperti ini, bukan sekali dua kali terjadi. maha dalam kondisi apapun, selalu berdiri di depan saat dede Airanya berada dalam masalah. maha selalu menjadi dewa penolong bagi aira, bagaimanapun kondisinya. Bahkan, saat siapapun menghukum Aira karena membuat maha menangis, maha akan langsung menyeka air matanya. Ia akan meredam amarahnya pada Aira lalu mentransfernya untuk orang yang menghukum Aira, bahkan maminya sendiri.
Bukan berarti maha dan aira tidak suka bertikai, hampir setiap hari mereka akan meluncurkan konflik personal. walau lebih sering mengalah, maha tidak jarang membuat Aira menangis. Tapi, dia tidak akan rela saat siapapun membuat Aira memangis, bahkan jika tangisan itu adalah tangisan penyesalan karena telah menyakiti maha. Aneh. Dia merasa berhak membuat aira menangis, tapi orang lain tidak, begitu mungkin. Beberapa kali, aku, mama, bapak bebi, mami, harus menerima hukuman dari maha saat kami memarahai ade’nya. Dia adalah “dewa penolong” aira. Betul-betul dewa penolong, bukan pahlawan bertopeng. Ia melakukannya karena sangat menyayangi dede’nya.
Dua jagoan kecil di rumah ini, memang layaknya saudara kandung. Selain, mereka adalah saudara sesusu, mereka besar dengan ibu, mama, dan mami di sekitarnya. Mereka punya tiga orang sosok perempuan yang mendekapnya dengan sama dan adil sejak lahir. Maha akan kehilangan dunianya saat lama tidak bertemu dede’, begitupun sebaliknya.
Beberapa terakhir, aku dan komrad sering berpikir bagaimana mereka berdua akan tumbuh besar. Tiba-tiba ingat perbincangan kami, bahwa akan datang satu hari dimana tiba-tiba Aira akan berkata begini
“ kakak maha, berhentimi belaka’. Saya sudah besar, saya capek di bela trus sama kakak maha.”
Dan saat hari itu tiba, aku yakin Aira sudah punya “dewa penolong” lainnya yang lebih ia harapkan. Dan maha mungkin akan diam, masuk ke kamarnya dan menyelami lagu-lagu Sarasvati. (kenapa Sarasvati? Coz I’m listening her voice now). Yah, kalian akan tumbuh besar, menjadi dewasa, dan pasti akan punya kehidupan masing-masing. Tapi, ikatan adik-kakak tidak akan terhapus oleh usia. Kalian akan saling memarahi, lalu tertawa bersama.
Dan maha, jika hari itu datang, tulisan ini akan menguatkanmu, nak! Dan kamu telah melakukan hal yang benar, kamu telah ahli melakukannya sejak dulu, jangan khawatir! Tetaplah saling menjaga, tetaplah menjadi dewa penolong untuk dede Aira.

Ibu Nhytha
1 June 2012
#akupunyakerjaan

Komentar

Postingan Populer