Na Willa Mengajakku Menjumpai Masa Kemarin…
Sebagian percaya, menjenguk masa lalu adalah satu upaya
untuk merawat ingatan dan kenangan. Saya mungkin salah satunya. Banyak hal yang
bisa membuat kita beromantisme, barang-barang, setapak jalan ,penjual coto, pete-pete,
daun-daun kering, embun, baju, dan atau hujan. Sejak remaja saya mempercayai
satu hal besar, bahwa tulisan adalah satu-satunya artefak yang saya miliki.
Karena itu, sejak SMP hampir setiap hari saya menulis. Saya kira semua orang di
jaman saya punya buku diary seperti anak-anak SD jaman sekarang yang sudah
punya ponsel. Buku diari mulai saya tinggalkan sejak mengenal computer, tapi
menulis tangan tetap yang juara menurutku. Dan aku menyayangkan, 3 tahun
terakhir ini adalah tahun terburuku dalam memproduksi tulisan. Payah. Aku sangsi akan mengingat masa-masa ini.
Lalu, aku bertemu Na Willa. Seorang gadis kecil berumur 5-6
tahun yang mungkin juga sudah berumur sekarang, mungkin punya anak-anak yang
lucu dan menggemaskan seperti dirinya. Sore kemarin, hatam dia membawaku ke masa
kecil. Gadis kecil dengan banyak pertanyaan di kepalannya. Gadis kecil yang
berani dan suka bernyanyi. Na Willa memperkenalkanku dengan keluarganya,
bercerita tentang Maknya yang tegas dan Paknya
yang selalu bepergian hingga jarang tersorot cerita olehnya. Ia
bercerita dengan begitu detail tentang tas pasar Maknya yang juga dimiliki Makku. Mak nya punya mesin jahit yang juga dimiliki Mak ku, mesin jahit Singer
yang tersohor itu. Lalu, ia mengenalkanku dengan teman-temannya. Mengingatkanku
dengan banyak permainan yang dulu kumaini dengan teman-temanku. Dia membawaku
di mana semua jenis benda dan tumbuhan adalah bahan masakan. Kembang sepatu yang
ditumbuk lalu diperas dan dijadikan minyak, batu bata yang diparut dijadikan
bumbu, boneka yang dipasangi baju. Ia membawaku berlari kencang di masa
kecilku.
Na Willa gadis yang beruntung, sosok Mak nya yang tegas dan
cerdas menurutku sosok Mak yang hamper sempurna. Aku mengingat Mak ku yang juga sering
mencubit bahagian paha atasku jika berbuat kesalahan. Satu dari dua kemampuan
marah Mak ku yang paling besar adalah itu, dalam bahasa Bugis kami
menyebutnya makkapese’ dan yang satu adalah mappacu’
(saat jari-jarimu di bengkokkan
kebelakang hingga hampir patah). Kita yang lahir diawal 80-an, sebagian besar dididik
dengan keras. Mungkin karena akses pengetahuan dan pemahaman akan pendidikan
yang baik , tidak bisa mereka
dapatkan. Dan aku membenarkan pola didik
Mak ku yang sesekali menggunakan hukuman fisik untukku. bukan berarti tepat untuk kedua jagoanku. Hubungan Mak dan anak akan
berubah saat kita paham nanti. Aku sempat membenci Mak ku saat SMP, semua
remaja mungkin pernah membenci orang tuanya.
Na Willa mungkin lebih beruntung, dia mengenal buku dan
music sejak kecil. Na Willa bahkan bisa membaca tanpa sekolah lebih dahulu. Sementara,
pada saat itu seolah dieleu-elukan orang tua sebagai lembaga yang paling
berdedikasi untuk pendidikan seseorang. Tapi tidak bagi Maknya, dia bahkan
menyuruh Na willa berhneti sekolah di hari pertama karena mendapat perlakuan
yang tidak adil oleh teman-teman dan bahkan gurunya. Na Willa gadis kecil yang
berani. Aku takjub, karena untuk mendidik gadis kecil menjadi seberani itu,
pasti membutuhkan jurus jitu. Menjadi hal yang berarti, karena Na Willa adalah
gadis yang punya latar keturunan berbeda, dia keturunan Cina. Tapi itu tidak
menjadi hambatan baginya. Na Willa juga
banyak bercerita tentang lingkungannya dan
tentang kebiasaan mereka bertetangga.
Pertemuanku dengan Na Willa tidaklah seperti biasa, aku
diperkenalkan langsung oleh penciptanya. Dan kerennya lagi, yang menciptakan Na
Willa seorang perempuan bersuara indah yang kerap kali kudengar dendangannya
via media social yang digandrungi berat oleh adik bungsuku. Mba Reda, perempuan
dengan potongan rambut pendek sore itu sedang berbicara dengan komrad, bersama
rekan duetnya mas Ari dan manajernya Felix Das. Aku yang sedang sibuk mengurusi
Suar yang ingin ini itu, tidak sempat menyapa bahkan hanya say hello saat
mereka lewat di depanku. Baru sadar, kalau mereka duo keren Ari Reda yang
selama ini menyanyikan puisi Sapardi Djoko Damono dengan sangat indah. dan saya
tidak sempat foto tentunya.
Mba Reda keesokan harinya menyempatkan menitip buku untuk
KBJ. Bukunya sendiri. Saya tidak bisa membaca judulnya dengan font yang
bersambung. Buku itu mengendap hingga kemarin, karena kesibukan yang lumayan
banyak hingga akhir minggu, baru sempat kubaca dan saya tidak berhenti
tersenyum. Dia berkolaborasi dengan Cecilia Hidayat untuk ilustrasinya yang
lucu dan menggambarkan betapa hidup di masa kemarin itu sangat
menyenangkan. “Na Willa, serial catatan
kemarin”. Begitu judul bukunya. Jadi di buku ini Na Willa lah yang menjadi
tokoh utama. Dia bercerita. Tidak seperti novel, sesuai standardisasi yang banyak orang pahami, tapi cerita yang satu dengan
yang lain sangat terikat. Na Willa menjadi karakter kuat lewatdetil orang-orang di sekitarnya bahkan barang-barang di sampingnya. Yang kurang menurutku adalah ceritanya terlalu sedikit.
Hehehe. Tapi, karena ini serial harusnya
ceritanya akan berlanjut. Aku sungguh penasaran apa yang dihadapi Na
Willa di sekolahnya yang baru.
Mengambil bagian dalam cerita Na Willa tidaklah
sulit, karena dia seperti menceritakan kisah kita sendiri di masa kecil yang
telah lama kita tinggalkan. Lalu dari ceritanya, aku melihat keutuhan ide yang
mugkin harus diliat juga oleh semua ibu. Na Willa dengan segala yang
ia punya menjadi istimewa karena ibunya menggandengnya dengan benar. Dia tumbuh selayaknya anak kecil yang tidak
perlu memakai lipstick untuk terlihat lucu apalagi cantik. Dia tumbuh dengan
pemahaman bahwa ia harus mengatakan dan melakukan yang benar atau berani menanggung resiko atas kesalahannya.
Cerita Na Willa adalah cerita tentang dunia masa kecil, tapi juga adalah masa
depan. Melihat diriku sebagai anak-anak
dan sekaligus saat menjadi ibu. Menjadi ibu adalah menjadi apapun atau menjadi
siapapun yang anak kita butuhkan…
masih Mei 2016
ibumahasuar
Komentar
Posting Komentar