mengingat surat cinta...
Hari ini, hampir dua puluh tahun lalu.
Surat cinta pertama
Aku menghentikan langkah di depan seorang yang begitu
kukenal. Sedikit tersenyum bangga, dengan seragam putih biru yang baru dua
minggu kukenakan. Ia juga tersenyum kecil lalu memperlihatkan tato kecil
ditangannya, yang menghentikan langkahku. Gambar setangkai mawar dengan duri di
sampingnya, dan bertuliskan namaku di bawahnya. NITA. Aku terkejut setengah
mati. Dan buru-buru pergi, dan dia mengikuti dengan langkah yang lebih cepat.
Ia menahanku dan memberiku surat. Bisa kuingat, itu adalah surat cinta pertama
yang kuterima dari seorang lelaki. Sebuah prestasi besar, diumurku yang baru 12
tahun lebih menuju 13. Aku menggapai selembar kertas yang dilipat dengan teknik
yang kukagumi dengan sedikit senyum. Dan berlalu.
“saya tunggu di kantin belakang” katanya mengantar langkahku
terburu-buru.
Kuperlambat langkahku demi melihat kelas masih kacau,
artinya jam pertama belum dimulai. Panggilan teman-teman tidak akuacuhkan dan
aku memastikan tujuanku untuk ke tempat parkir. Kubuka dengan hati-hati, aku
berharap kertasnya lebih baik dari kertas buku biasa. Tapi aku tetap membukanya
“Kamu seperti mawar berduri. Memberiku luka dan bahagia
bersamaan”
Tulisannya besar dengan gambar mawar persis seperti tato yang
ada di tangannya. Sebagai remaja, saya sangat bangga. Seorang lelaki yang
ditakuti banyak teman-temanku, bisa saya
katakan kakak kelas paling ditakuti,
mengumumkan bahwa ia jatuh cinta padaku. Dan terpuruk karena selama ini
saya sama sekali tidak memberi respon akannya. Dia datang padaku pertama kali,
saat SD dan menyatakan betapa dia menyukaiku. Aku ingat saat itu, aku berlari
pulang, menangis dan ketakutan. Dia sudah SMP, kelas dua di sekolah yang sama
denganku. Aku lupa bagaimana ia berhenti menungguiku di depan gerbang atau di
kantin belakang sekolah. Aku betul-betul lupa. Tapi, aku tidak lupa namanya.
Yusuf.
Surat cinta kedua
Kami sudah resmi pacaran saat itu. Dan aku bersembunyi dari
teman-teman sekelasku perihal itu. Bahkan Asma dan Lina sama sekali tidak tahu
pacarku yang satu ini. Dia seorang mahasiswa Akademi keperawatan di Makassar.
Dia pulang berlibur cukup lama saat itu, dan dikenalkan oleh Fira, teman SDku.
Saya langsung menerimanya, saat ia menyatakan cinta. Memiliki pacar mahasiswa
saat saya masih SMP adalah hal yang membanggakan sekaligus memalukan. Bangga
karena disukai mahasiswa, malu karena saya suka laki-laki yang jauh lebih tua.
Namanya Anca.
Surat-surat cinta mulai kembali kuterima. Aku mulai sering
menunggui pak pos yang dating di akhir jam pelajaran setiap Senin dan Jumat.
Dan aku menerima surat hampir dua kali seminggu. Saat itu, banyak dari kami
siswa SMPyang menunggu surat. Fatal jika
tak menunggunya, surat kami bisa dipajang di papan mading sekolah dan bisa
diambil oleh siapa saja. Surat surat Anca adalah surat yang panjang, bercerita
tentang hari-hari kuliahnya. Yang membahagiakan dia sering mengirimiku hadiah.
Nah, entah di surat ke berapa dia mengirimiku kaset Sheila On 7. Itu kali pertama aku berkenalan dengan band
ini. Dan aku langsung jatuh cinta pada mereka.
Aku juga lupa bagaimana aku putus dengannya.
Setelah itu, masa-masa pacaranku adalah masa yang jauh dari
surat menyurat lagi. Era telpon mulai menggeser kertas dan tinta. Artinya tidak
ada yang terlalu special, aku bahkan lupa-lupa ingat siapa nama pacarku
selanjutnya.
Dan….
Aku dan komrad hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama.
Kami senang saling bercerita dan mendengarkan. Dan, jika tidak bisa bertemu
dalam sehari atau kami punya sesuatu yang sulit kami ungkapkan secara langsung,
kami sepakat untuk menulis surat. Sampai kebiasaan itu tidak lagi kami lakukan,
aku ingat ada dua buku yang aku habiskan untuk menulis surat-suratku. Uniknya,
kami akan memilih hari dimana kamimenghabiskan waktu untuk membaca surat
masing-masing. Dan saling menyuruh untuk menceritakan isi suratnya secara
detil.
Komrad khususnya, punya masalah yang cukup serius dengan
mengungkapkan hati. Maka surat adalah jalan satu-satunya saat dia marah akan
sikapku, saat dia mulai cemburu. Begitupun sebaliknya, saya yang saat itu tidak
terlalu paham dengan ritme hubungan kami , lebih nyaman menulis apa yang saya
rasakan lewat surat itu.
Saya ingat pernah membakar surat surat itu entah karena apa.
Lalu komrad memintaku mengumpulkan sisa-sisa kertas yang terbakar. Saya
berinisiatif membawanya ke tukang press dan membungkusnya dengan plastic.
Setahuku, sampai hari ini benda itu masih ada di dompetnya.
Dan kini, kami tidak lagi saling menulis surat. Jika saya
marah (karena komrad sangat jarang marah). Saya akan menuliskannya dan dengan
cepat mengirimkannya via line. Walau saya lebih suka dan lebih lega jika
mengungkapkannya dengan emosional.
Entahlah, pagi hari saat saya terbangun dan mulai menuliskan
cerita ini,adalah pagi dimana saya tiba-tiba
rindu membaca surat cinta yang seseorang kirimkan. Atau menulis perasaan
saya dan mengirimkannya pada seseorang.
Seandainya, hidup tidak perlu secepat sekarang ini.
30 April 2016
ibumahasuar
Komentar
Posting Komentar