Bertemu (Lagi) dengan Makassar
“macassa,”
begitu lidah maha melafalkan dengan tak fasih nama kota dimana sebagian besar
umur kuhabiskan. Makassar. Sejak berusia 12 tahun, saya telah meninggalkan
rumah beserta kasih saying kedua orang tua dan kedua saudariku untuk menuntut
ilmu di kota yang dulu bernama Ujung Pandang ini. Seolah telah menjadi garis
hidup, setelah hari-hari yang begitu pilu karena harus rela menanggalkan semua
keistimewaan sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga, tak pernah lagi
saya begitu lama berada di kota dimana kedua orang tua dan kedua adikku
menetap. Makassar kini seolah menjadi kota dimana memang seharusnya saya
berada. Apalagi setelah kota ini mempertemukanku dengan dengan pendamping hidup
istimewa yang kemudian darinya lahir jagoan kecilku, ku semakin yakin kalau
Makassar memang adalah kota penting bagiku. Tidak hanya sampai disitu, bersama
istri dan beberapa teman, kami punya mimpi besar di kota ini. Kami memulainya
cukup lama sebelum akhirnya beberapa teman memutuskan untuk meninggalkan
Makassar. Bahkan nikmat dan kerennya Jogja, kota sederhana tempat saya
melanjutkan kuliah bersama beberapa teman, tak cukup mampu mengubah rindu dan
cintaku terhadap Makassar.
Makassar
yang bagiku lebih dari hanya sekedar kota yang kini semakin maju menuju tafsir
reduktif atas metropolitanisme, sebaliknya bagi maha jagoan kecilku. “macassa”
baginya hanya dua buah rumah tipe 36 yang saling berdempetan rapat di sebuah
kompleks tak jauh kampus dimana saya dan istri menghabiskan masa studi strata
satu. Kedua rumah itu berturut-turut adalah milik kakak tertua dan bibi
istriku. Tempat kami tinggal saat berada di Makassar sejak beberapa tahun lalu.
Gambaran maha tentang Makassar sebegitu sempit, sejarak rumah hingga pagarnya
dan keluar dari situ menurutnya bukan lagi Makassar. Maka saat maha mengajak
kami liburan ke Makassar, maka yang dia maksud adalah liburan ke dua rumah itu.
Dalam sekejap maha berhasil meluluhlantahkan sekalis mendesakralisasi pandangan
usangku tentang kota ini. Dan akhir-akhir ini, tiba-tiba saya ikut mengamini
pandangan maha tentang Makassar, sejak kota ini sepertinya tak begitu menarik
lagi untuk dihuni. Ia hanya menarik untuk dijadikan tempat tujuan liburan (…)
……………….
Dua
paragraf tulisan diatas ini, adalah hasil iseng-iseng saat berada di toilet
yang kutulis di ponselku kira-kira dua tahun lalu. Seingatku, tulisan ini
kubuat saat saya sedang berlibur ke Bone sekaligus berlibur dari rutinitas
kuliah di Jogja. Tulisan ini sebenarnya serupa keluhan sekaligus curhatanku
terhadap Makassar yang kutemui hari-hari itu. Saat liburan kuliah, saya lebih
memilih berlama-lama di Bone dan tak berniat serupa di Makassar. Bukan hanya
karena keluarga kecilku menetap di Bone sejak saya memutuskan untuk lanjut
kuliah, tapi saat itu saya tiba-tiba kehilangan rasa dengan Makassar bersamaan
dengan hilangnya ruang-ruang harapan yang sejak lama diperjuangkan bersama-sama
teman-teman. Dan bukti nyatanya, tak ada lagi ruang yang begitu nyaman dimana
saya bisa berlama-lama untuk bercerita tentang kisah-kisah masa lalu dan tentu
cita-cita yang selalu tak habis-habis seperti kata Melbi. Belum lagi, proyekan
bersama seorang kawan yang kami mulai saat kami sudah memulai kuliah sepertinya
bakalan bernasib tragis karena berbagai masalah sana sini. Pokoknya, saat itu
Makassar benar-benar tak menarik bagiku.
Tulisan
yang kuberi judul Mahatma, Makassar dan Kesunyian diatas tak pernah berhasil
kuakhiri dan sepertinya memang tak akan pernah kuakhiri. Apalagi sejak begitu
banyak yang berubah paling tidak setengah tahun lebih setelah studi di Jogja kurampungkan.
Maha sudah tumbuh besar, ia kini sudah bisa melafalkan Makassar dengan benar.
Tafsirnya tentang Makassar juga kuyakini sudah lebih luas paling tidak sejak ia
mempunyai rumah hunian baru bersama beragam aktivitas dan teman-teman
(tepatnyaOom-Oom baru) baru di Kedai Buku Jenny. Saya pun kembali merasakan
geliat yang lebih “hidup.” Hampir tiap hari saya bertemu dengan teman-teman
baru yang datang bersama ide-ide cemerlangnya dan mereka pun selalu giat dan
tekun untuk diajak belajar bersama. Dan yang terpenting, mereka benar-benar
serius menjalani masa-masa belajar itu tanpa bermaksud untuk menunjukkan
keseriusan yang “seolah-olah.”
Saya
juga kembali betah berlama-lama bercerita dan berbagi ide untuk segera kami
realisasikan tanpa harus menunggu semuanya telah sempurna. Seorang kawan
menyebut kami seperti cerita Tangkuban Perahu, yang melakukan sesuatu tanpa
berpikir terlalu lama namun bukan berarti tanpa perhitungan. Iya, kami agak
muak dengan anak muda yang terlalu berpanjang lebar memikirkan kemungkinan-kemungkinan
hingga akhirnya semua ide hanya berakhir di tumpukan punting dan abu rokok
diatas asbak. Yah, cita-cita besar itu kembali saya dan teman-teman eja satu
persatu. Yang bisa dilakukan hari ini akan segera kami lakukan. Dan yang harus
dikerjakan bulan depan, selalu berusaha kami siapkan tahapannya dengan baik.
Dan yang penting, kami selalu berusaha tepat waktu dan tak menunda-nunda. Dan
karenanya, saya kembali menemukan cinta dengan kota ini, Makassar.
Akhirnya…
Bone,
12 Agustus 2013
Komentar
Posting Komentar