Castro dan Tembok

Foto koleksi Arianto Raisyal
Subuh tadi, seperti beberapa subuh kemarin, Suar kembali terjaga lebih awal saat kami masih benar-benar masih ingin bermanja-manja dengan bantal dan selimut. Jika ibunya sudah menyerah mengerahkan segala cara untuk membuatnya kembali tertidur, maka berikutnya adalah giliran saya untuk beraksi. Standar saja, dengan kesadaran yang belum sampai 100 persen Suar saya raih, digendong sambil digoyang-goyang serupa ayunan. Jika cara ini tidak mujarab, maka Suar akan saya ajak keluar kamar dan “berkeliling” rumah dengan tetap menggendongnya sambil terus berusaha agar ia segera kembali tertidur. Dan jika cara ini juga tidak mempan, maka ayunan akan segera menjadi tempat “berlabuh” Suar.
Seperti bayi lainnya, meski diayun bukan berarti Suar akan segera beranjak tidur. Saya harus terus mengayunnya apalagi jika matanya sudah terlihat tinggal 20 watt karena jika berhenti maka dengan segera matanya akan kembali terbuka lebar. Nah, saat mengayun Suar saya harus mencari aktivitas lain agar tidak lebih dulu tidur. Seperti subuh tadi, sambil mengayun Suar segera saya raih laptop beserta modem yang masih tercolok yang berada di belakangku. Setelah ON, huruf F kutekan dan muncullah kotak yang tak pernah bosan bertanya tentang apa yang berada dipikiran kita sekarang. Facebook!

Kubuka beberapa notifikasi, salah satunya dari seorang kawan yang kini setauku bermukim di Borneo mengomentari video youtube seorang mahasiswa Sastra Unhas yang sedang membaca puisi Menolak Patuh yang termasyhur karya Wiji Thukul, di sebuah festival yang digelar pada tahun 2011 untuk mendukung perjuangan petani Takalar dan ia lalu menyebut namaku dan nama seorang kawan lama yang kini menjadi staf pengajar di Universitas Mulawarman, kami memanggilnya Castro. Saya lalu teringat masa-masa “bersemangat” itu dan kutuliskan pagi ini sebagai pengantar untuk kadoku yang selalu tertunda buat si kawan lama.

………………………

Saat itu, di medio 2001, saya dan Castro barusan saja selesai mengikuti pendidikan calon anggota sebuah organisasi mahasiswa yang berslogan Bangun Dewan Mahasiswa Rebut Demokrasi Sejati. Sebelum memulai materi yang super padat dan ketat, apalagi saat itu masih rada-rada BT alias bawah tanah, empat mahasiswa yang mengikuti pendidikan itu diberikan nama pendidikan. Nah, nama Castro yang diambil dari nama pejuang revolusioner Kuba lalu disematkan untuk kawanku itu. Saya sendiri tetap dengan panggilan Bob, sama dengan musisi revolusioner dari Jamaika yang legendaris dengan lagu-lagu pembebasannya seperti No Woman No Cry, Redemption Song dan banyak lainnya. Dua teman pendidikan lainnya diberi nama Cory dan Muso. Nama-nama itu menjadi panggilan kami hingga kini, kecuali si Muso yang tetap ingin dipanggil dengan nama aslinya.

Saya dan Castro sudah berteman sejak sama-sama berkuliah di Politeknik Ujung Pandang dan kemudian sama-sama lulus di Unhas pada tahun berikutnya. Setelah pendidikan yang tak terlupakan itu, kami berdua semakin akrab. Hampir semua hal kami lakukan berdua, ibaratnya dimana ada Bobhy disitu juga ada Castro. Setelah jam pertama kuliah selesai misalnya, Castro biasanya sudah berada di Gedung Fisipol untuk kemudian mengajakku ke tempat-tempat diskusi atau sekedar nongkrong di Baruga bersama kawan-kawan lainnya. Karena keakraban itu pula maka kami diberikan kampus yang sama sebagai tempat pengorganisiran, kampus lama kami Politeknik Ujung Pandang. Dan setiap jam 2 siang kami berdua menyusuri jalan dari Baruga menuju Poltek untuk menjalankan misi suci ini.

Untuk menjalankan pengorganisiran, kami tentu harus menambah kualitas individu melalui bacaan dan diskusi. Dan untuk itu kami selalu berupaya untuk saling mendukung dan memberi semangat. Yang paling saya ingat ketika kami saling menyemangati untuk berani berorasi di depan massa. Awalnya, kami berdua selalu tak berani jika diminta berorasi hingga siang itu di halaman Gedung DPR Sulawesi Selatan si Castro memberanikan diri mengambil pengeras suara yang diberikan oleh korlap aksi. Ia tak berorasi tapi membacakan salah satu puisi Wiji Thukul yang begitu terkenal, Bunga dan Tembok. Siang itu, saya tersenyum bangga sekaligus khawatir pada diri sendiri dan bertanya apakah kelak saya juga bisa berdiri di hadapan orang-orang ini dan berteriak se lantang kawanku itu.

Sejak puisi Bunga dan Tembok dibacakan oleh Castro siang itu, hampir di setiap aksi mulai dari aksi rutin kami di Pintu 1 hingga aksi se akbar May Day ia selalu diminta membacakan puisi. Bedanya, sebelum membacakan puisi itu Castro akan mengawalinya dengan orasi yang berapi-api khas Castro. Saat ia sudah pandai berorasi, saya pun sudah memberanikan diri tampil di hadapan massa untuk berorasi mewakili student. Tapi sejujurnya saya lebih senang berada di tengah-tengah massa dan mengagitasi mereka dengan yel-yel dan lagu-lagu aksi yang selalu tak habis-habis. Dan saya benar-benar bahagia melakukan itu.

…………………………..

Sebelum siang di depan DPR yang membanggakan itu, kami memang bertekad untuk memberanikan diri belajar dengan cara berorasi. Menurut kawan-kawan saat itu, berorasi itu tak mudah karena sebelum memulainya kamu harus banyak membaca, minimal membaca pernyataan sikap aksi. Dan kami memutuskan kalaupun kami belum bisa berorasi maka kami akan membacakan puisi Wiji Thukul. Karena itu, hampir tak ada aksi yang kami ikuti dan tidak membawa buku puisi Aku Ingin Jadi Peluru nya Wiji Thukul. Dan siang itu si Castro ternyata punya nyali yang lebih besar dari saya dan sekali lagi karenanya saya ikut berbangga. Selain senang ketika mendengar Castro berpuisi, saya juga senang ketika tema pendidikan saya yang lain, si Muso, ketika membawakan puisi Sajak Suara nya Wiji Thukul. Hahahaha…..terakhir kudengar kawan ini sudah menjadi guru di Bumi Sawerigading.



Oh iya, karena seringnya Castro membawakan puisi Bunga dan Tembok, maka puisi itu sering kami ganti judulnya menjadi Castro dan Tembok.



Karena dimana pun tirani harus tumbang



Bobhy

Bone, 14 Agustus 2013

Komentar

  1. saya kenal castro saat dia sering datang ke baruga, dan sempat menjadi "pembicaraan hangat" saat sering kali tabarruk (tradisi mengharap berkah dgn mencium kaki/tangan/benda). minatnya dgn gerakan prodemokrasi serta kemampuan agitasi propagandanya membuat dia direkomendasi ke pendidikan parade, tdk melalui pendidikan sektor student. dan hasilnya, dia menjadi agitator ulung........
    salam pak dosen...

    BalasHapus
  2. Ben aka Taslim : wkwkwkwk.....dan dirimu salah satu yang pernah saya cium dan berharap berkah. Bobby : trims bob, romantisme memang menjadi penting ketika menemukan tempatnya. Dan catatan pendekmu di atas, setidaknya membuat diriku tertawa sendiri seperti orang setengah waras.

    BalasHapus
  3. Terselip juga namaku...trims bibo, salam hangat untuk semua :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer