NO RULE…NO ONE GET HURT


Aku terburu-buru. Guyuran air di WC kosanku yang sempit, terdengar sampai di tetangga sebelah. Beberapa timba cukup dan aku dikejar waktu. Jarum mulai meninggalkan angka 6, dan jika semuanya kacau, aku tidak akan sampai di sekolah pukul 7.
7 teng.
Aku berlari meniggalkan becak yang mengantarku, setelah kusodorkan uang 3 ribu rupiah. Mobil-mobil keren milik muridku satu persatu singgah dan kembali melaju setelah meninggalkan anaknya di sini. Kulirik jam di ruang depan sekolah, aku tersenyum. Aku tidak terlambat hari ini. tapi, tiba-tiba senyumku tidak lagi bisa kubentuk. Sakit kepala yang sejak bangun tadi tidak terlalu kuhiraukan, tiba-tiba saja menuntut perhatian lebih. karena terlalu fokus pada ketakutanku terlambat, aku tidak sadar rasa sakit mulai ditransfer ke perutku, dan seluruh badanku. Tapi, perutku seolah mengamuk, dan aku hanya bisa tunduk pasrah mendudukkan diriku di tangga. Aku meringis saat beberapa murid memberi salam dan menyalami tanganku.
Bel berbunyi, murid heboh. Bukan karena mereka berdesakan masuk kelas, tapi ada pemandangan menarik jika jam 7 sudah datang. Mereka yang disuruh pulang, menjadi tontonan baru sekaligus cerita yang tak habis untuk mereka sepanjang hari hingga sore nanti. Beberapa yang disuruh pulang dan itu umumnya laki-laki, di kelas besar, tersenyum melambaikan tangan, seolah artis ibu kota yang akan meninggalkan penggemarnya di balik pagar sekolah. Yang perempuan, hanya bisa meringis, tidak bisa menunjukkan kesedihan atau kegembiraan yang sedang ia rasakan.
Tapi, pagi ini….untuk ke tiga kalinya.
“Wahyu…Wahyu… terlambat lagi….” Teriak beberapa anak Usman Bin Affan. Aku mengarahkan kepalaku ke pintu utama gedung 1, melihat Wahyu baru turun dari motor bapaknya yang sudah butut. Sebuah pemandangan kontras, saat motor butut itu bersanding dengan mobil-mobil mewah milik temannya yang lain. Bapaknya, melajukan motor dengan kencang, aku yakin dia sudah tahu Wahyu terlambat, tapi suara motornya yang khas, dan asap dari knalpot seolah berteriak tidak peduli dengan aturan itu. Apalagi mengingat, kalau anaknya telah tiga kali dipulangkan oleh aturan 7 teng ini.
Wahyu membuka pagar sekolah,
“ih…terlambat maki’ nak” kata P Beni, petugas sekolah. Wahyu urung memberhentikan langkahnya. Pak Beni ia acuhkan. Ia mengetuk pintu sekolah. Kami saling memandang, aku, Bu Ami, dan Bu Awa. Tanpa dikomando Bu Ami menjemput Wahyu yang sudah berada di depan pintu yang tertutup.
“Wahyu, kamu harus pulang nak! Sudah jam 7 lewat 14 menit khan?” kata Bu Ami padanya. Ia menunduk, enggan melihat jam. Ia bahkan kelihatan ingin melangkahkan kakinya menuju kelasnya di lantai 3. Bu Ami menahanya, memegang bahunya. Ia menolak. Ingin melangkah, Bu Ami menahan lagi. Dan Wahyu menangis……tanpa suara. Air matanya tumpah tanpa suara. Aku yang mencoba berkompromi dengan rasa sakit di badanku, tiba-tiba berdiri. Kuraih tangan Wahyu yang seperti kukatakan tadi, jadi tontonan baru bagi temannya,
“ Kenapa menangis wahyu?” tanyaku pelan di depan wajahnya yang tertunduk. Ia masih menunduk.
“ Kamu tidak mau pulang?” tanyaku lagi. Dan ia menjawabnya dengan anggukan, sembari tangannya yang kecil menyeka air mata yang tak berhenti mengalir.
“ Kenapa? Semua kakak-kakak dan teman-temannmu yang datang terlambat, sudah pulang. “ kataku padanya entah untuk apa. Sambil sesenggukan ia berkata pelan dan kecil. Aku tak mampu mendengarnya, kudekatkan telingaku di bibirnya yang bergetar-getar.
“ mau…ka’bela…jar Math..” katanya terbata-bata, dengan tangis. Aku terdiam, menghela nafas, aku masih duduk jongkok di depan wajahnya yang dibasahi air mata. Tanpa berfikir panjang, aku raih tangannya, aku membingbingnya menuju perpustakaan. Air matanya masih tumpah, sesekali ia terisak. Kubiarkan ia duduk di perpustakaan.
“ lho…kenapa dia tidak pulang? Ih…Bu Nita curang…ai…” aku mendengar dengungan pertanyaan, keluhan, dan protes, menyerangku saat aku bersikeras melakukan metode penyelamatan pada Wahyu. Bu Erlin yang telah duduk tertib di mejanya, menatapku dengan heran sedikit marah mungkin kerena tidak kuindahkan aturan yang baru berumur sebulan tapi telah menjadi mesin pembunuh mimpi yang ganas. Kubiarkan Wahyu meresapi tangisnya di tengah pertanyaan teman-temannya yang masih mendengung.
Lalu aku berlari menju kamar mandi. Tubuhku bergetar menahan kebencianku terhadap diri sendiri. Semua komponen dalam tubuhku menolakku hari ini. ada golak tidak setuju yang begitu besar dalam tubuhku dan bermuara menjadi air mata.
Terbayang di kepalaku,s eorang anak, bertubuh kurus, dengan rambut keriwil-keriwil, tegesa-gesa bangun dari tidurnya. Ia lari menuju kamar mandi, dan membasahi badan sekenanya saja. Ia mengambil baju yang sudah disetrika ibunya dan berteriak
“Bu sepatu…kaos kaki, terlambatma” sambil melihat jam yang tidak berhenti berdetak. I berpacu dengan waktu hingga tidak mau lagi sarapan.
“Pa, cepatmi, terlambatka!” katanya pada Bapaknya yang baru saja memanaskan motor bututnya. Kaki anak itu tidak berhenti bergerak, melawan keresahannya menunggu bapaknya yang mendorong motor terlalu lama dari biasanya. Ia naik ke motor dan berteriak salam pada ibunya, yang masih heran melihat meja makan yang tidak dikunjungi anaknya.
Kulitnya yang agak hitam tertempa sinar matahari yang mulai naik, ia menoleh sana-sini menngintip tiap rumah dan ruko yang dilewatinya, mencari sebuah jam untuk dilihatnya. Dengan semangat, ia turun dari motor, tidak mendengar apapun  di samping kanan kirinya, karena hari ini ada pelajaran math, kesukaannya. Ia tidak boleh terlambat. Tapi……
Ya…, bayangan Wahyu dengan seribu satu semangatnya yang kudapat saat ia melangkahkan kakiya di sekolah memenuhi kepalaku. Aku mencuci muka, kuharap aku bisa meredakan panas dari dalam tubuhku.
“ Lalu apa yang bisa kamu lakukan? Kamu telah membunuh semangat anak itu, semangat yang ia kumpulkan sejak bangun tadi. Inikah yang kamu maksud, untuk menjadi guru?” kataku pada diri sendiri.
Aku meninggalkan kamar mandi dan bersiap memulai kelasku. Kutengok Wahyu di perpustakaan, mulai membasuh air matanya dengan baju seragamnya. Aku merasakan banyak mata yang menatapku meminta jawaban.
“ Dia ingin belajar matematika. Sederhana, aku tidak ingin menjadi bagian dari sesuatu atau seseorang yang mematikan semangat belajarnya pagi ini. Dia hanya anak kecil, yang belum tahu apa itu disiplin. Dia hanya ingin belajar. “ kataku pada beberapa teman-teman guru atas tindakan penyelamatanku terhadap Wahyu hari ini.
Untuk kesekian kali, aku berjalan dengan tidak peduli dengan tatapan sinis banyak mata yang memandangiku. Betul. Aku bangga dengan pilihanku memporak-porandakan kekakuan mereka memandang aturan-aturan yang mereka sepakati. Aku tidak peduli
“Jika kamu bukan bagian dari solusi, maka kamu adalah bagian dari masalah.” Kataku dalam hati. Dan kali ini, aku lelah menjadi masalah untuk anak-anak imut ini. Aku tidak ingin lagi berdamai dengan rasa benci yang kerap kali menggangguku saat aku pulang ke rumah. Rasa benci karena mengalah berkali-kali pada semua kesepakatan yang menurutku sangat tidak bijak.
Kenapa harus ada aturan, bukankah jika tidak ada, tidak akan ada yang terluka seperti hari ini? Dan kulanjutkan langkahku, menuju kelas lima, sementara Wahyu sedang mengutak angka di buku Mathnya, menunggu jam memutar waktu hingga pukul empat. Aku ingin pulang, dan mandi…..

Mei 2007
#selamat belajar Wahyu

Komentar

Postingan Populer