Masa Depan Perdamaian di Aceh*

Pendahuluan
Pada tanggal 15 Agustus 2005, pihak pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara resmi menandatangani MoU Helsinki di Finlandia. Nota kesepahaman yang ditandatangani oleh kedua pihak yang telah terlibat dalam konflik dan kekerasan selama puluhan tahun ini, tentu menjadi babakan baru dalam proses perdamaian di bumi Serambi Mekkah ini. Setelah upaya perdamaian yang kemudian mengalami jalan buntu karena tidak menemukan kesepahaman antara pihak yang berkonflik. Dalam catatan Tim Koalisi Pengungkap Kebenaran Aceh (2007) misalnya, sebelum terlaksananya MoU Helsinki terdapat paling tidak dua kali upaya untuk mewujudkan perdamaian atau paling tidak mengurangi eskalasi kekerasan yakni Joint Understanding (JU) pada tahun 1999 dan Cessation of Hostilities (CoHa) pada tahun 2003 yang tidak terlaksana secara maksimal sehingga konflik serta kekerasan tetap berlangsung.

Penandatanganan dan pelaksanaan rangkaian kesepakatan Helsinki tentu patut diapresiasi karena relatif berhasil mengakhiri kekerasan yang sudah terjadi selama puluhan tahun dan telah mengorbankan nyawa manusia serta kerugian-kerugian non fisik material lainnya dalam jumlah yang tentunya tidak sedikit dan bahkan tidak terhitung. Dari hasil liris Kontras (2006), ditemukan fakta bahwa kekerasan berlangsung pada masa Pra Daerah Operasi Militer/DOM (1976-1989), saat berjalannya DOM (1989-1998), pasca DOM (1998-2000). Pada masa-masa “kelabu” tersebut, Amnesty Internasional seperti yang dikutp dalam laporan Kontras mencatat berbagai tindakan kekerasan yang terjadi khususnya terhadap perempuan. Diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh Tentara Indonesia pada masa Pra DOM seperti: melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah, penduduk, melakukan penyiksaan terhadap penduduk, melakukan penangkapan terhadap para istri dan anak-anak anggota GAM, dan melakukan penyanderaan terhadap mereka dan ada diantara yang ditangkap tersebut kemudian diperkosa, melakukan pembunuhan diluar proses hukum terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka.
Selain itu, MoU Helsinki juga telah memperlihatkan beberapa kemajuan yang sangat penting tidak hanya dalam mewujudkan perdamaian di Aceh dalam kerangka negative peace, namun juga dalam kerangka yang lebih spesifik, semisal konstruksi kultur demokrasi politik lokal yang lebih baik paling tidak secara prosedural. Ini bisa terlihat dengan hadirnya partai lokal yang kemudian secara legal diberi kesempatan untuk berkontestasi dalam panggung politik lokal. Capaian-capaian sementara ini paling tidak telah bisa dilihat sebagai upaya untuk meletakkan pondasi dasar demi terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di masa yang akan datang. Dan untuk sampai ke sana tentu memerlukan waktu yang tidak sebentar mengingat berbagai persoalan yang masih dan sedang melingkupinya yang tentu membutuhkan analisa yang lebih komprehensif untuk memetakannya dan pada akhirnya menemukan strategi kom[prehensif pula yang bisa diaplikasikan pada kerangka yang lebih luas. Tujuannya tentu untuk mengembangkan perdamaian dalam kerangka yang lebih positif (positive peace) yang kiranya akan memproteksi munculnya bibit-bibit konflik baru yang sifatnya masih latent.
Dan tulisan ini dalam konteks yang lebih sederhana akan berusaha untuk memproyeksi masa depan proses perdamaian di Aceh. Untuk itu, maka perlu untuk kembali melakukan napak tilas singkat dan mengulas berbagai hal-hal dasar yang melingkupi konflik Aceh hingga hal-hal yang berhubungan dengan berbagai solusi dan intervensi yang dilakukan oleh para pihak dalam upaya menyelesaikan persoalan konflik di Aceh. Hal ini salah satunya berangkat dari pahaman bahwa konflik selalu bersifat dinamis. Sehingga eksplorasi mengenai akar konflik bisa jadi merupakan hal yang masih perlu dilakukan dengan mempertimbangkan dinamisasinya sehingga pada gilirannya bisa kembali dijadikan rujukan atau referensi dalam strategi intervensi konflik dalam berbagai bentuknya. Apalagi jika kita amati bersama bahwa masih banyak kelompok yang menganggap bahwa strategi penanganan pascakonflik khususnya dalam kerangka MoU Helsinki masih berjalan lamban sementara tantangan lainnya terus berkembang.

Deskripsi dan Konteks Konflik Aceh
        Konflik Aceh adalah rentangan sejarah yang teramat panjang. Dan untuk menjelaskan dan menempatkan konteks konflik Aceh pada tempatnya, maka diperlukan eksplorasi mengenai babakan-babakan penting berisi kejadian maupun insiden yang kemudian mempengaruhi dinamisasi yang melingkupi konflik di Aceh. Dengan mengetahui konteks historis ini, maka peluang untuk mengetahui bagaimana suatu masyarakat, dalam konteks disini adalah masyarakat Aceh, merespon konflik yang terjadi akan relatif terbuka lebar. Dan selanjutnya, paparan konteks historis sebuah konflik tidak hanya akan membawa kita ke penjelasan tentang efek dari konflik tersebut, namun juga bisa menjadi rujukan untuk strategi manajemen atau resolusi konflik (Ho-Won, 2008, hal. 38).
        Sejarah Aceh, termasuk konflik di dalamnya, terdiri dari beberapa fase penting. Di tiap fasenya kita akan disuguhkan potongan-potongan peristiwa yang sedikit banyak mempengaruhi konteks konflik di Aceh. Priyambudi (2001) misalnya, membagi fase-fase tersebut sejak masa Pra Kemerdekaan dan Revolusi Kemerdekaan hingga masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Termasuk di dalamnya sejarah terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian menjadi aktor penting dalam konflik Aceh.
Sejak zaman pra kemerdekaan, sejarah Aceh berisi rentang panjang perlawanan terhadap kekuasaan kolonial baik Belanda maupun Jepang di kemudian hari. Pada tahun 1873, Belanda menginvasi Aceh yang kemudian menandai dimulainya Perang Aceh (Acehnese War) hingga tahun 1903. Perang Aceh merupakan perang terlama di wilayah Sumatera dan memakan banyak korban baik di pihak Aceh maupun Belanda. Perang ini juga sangat member andil terhadap munculnya dua kelas penting dan berpengaruh dalam struktur kepemimpinan di Aceh, bangsawan traditional (uleebalang) dan pimpinan agama (ulama). Kelompok tradisional bangsawan kemudian menjadi faksi yang mendukung negara-negara kolonial (Belanda dan Jepang) sedangkan kelompok ulama menjadi barisan yang melawan kolonisasi dan berjuang mewujudkan kemerdekaan.
Friksi antara uleebalang dan ulama telah berlangsung sejak masa Perang Aceh hingga masa kolonisasi. Akar permasalahannya terletak pada perebutan kuasa atas tanah serta otoritas peradilan dan administratif. Dan dalam perjalanannya, kelompok agamawan kemudian menjadi kekuatan yang dominan di Aceh. Ricklefs (dikutip oleh Priyambudi, 2001) menulis bahwa hal ini sekaligus menciptakan struktur sosial baru di Aceh yang berbasis pada parsatuan Islam (unity of Islam) dibawah kepemimpinan para ulama.
Selanjutnya, Priyambudi (2001) menjelaskan bahwa konteks historisitas perjuangan masyarakat Aceh kemudian memunculkan anggapan di antara masyarakat Aceh bahwa status mereka berbeda dengan daerah atau provinsi lain di Indonesia. Secara historis, H M Nur El Ibrahimy (dikutip oleh Priyambudi, 2001), mengulas bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan ini. Pertama, Aceh cenderung lebih lama bertahan melakukan perlawanan terhadap kolonisasi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Dan walaupun akhirnya mesti takluk namun tidak begitu lama merasakan penjajahan. Kedua, Revolusi Desember 1945 – Maret 1946 kemudian mengubah secara permanen struktur sosial masyarakat Aceh. Saat para pemimpin nasional masih berdebat mengenai apakah Indonesia harus menjadi Negara Islam atau tidak, masyarakat Aceh justru telah terkonsolidasi dalam kerangka persatuan Islam. Ketiga, selama masa revolusi kemerdekaan, Belanda justru membiarkan Aceh berdiri sendiri. Sehingga Aceh menganggap bahwa status mereka adalah merdeka, status yang sama ketika masa pra kolonial. Namun pada tahun 1947, Soekarno membujuk Aceh untuk bergabung dengan Republik Indonesia dengan janji bahwa Aceh akan mendapatkan otonomi khusus dan diperbolehkan menerapkan syariat Islam. Keempat, berdasarkan janji-janji tersebut, Aceh lalu memberikan kontribusi finansial kepada Republik Indonesia yang baru berbenah. Aceh membantu pembelian pesawat terbang pertama Indonesia, mendanai pembangunan kantor perwakilan diplomatik di Singapura, India dan PBB, dan dengan bermurah hati berkontribusi terhadap kas pemerintah Indonesia yang saat itu sedang mengalami kebangkrutan.
        Bibit konflik antara Aceh dengan Jakarta yang merupkan simbolisasi Indonesia mulai terlihat saat pemerintahan Soekarno justru mengintegrasikan Aceh ke wilayah Sumatera Utara. Hal ini oleh para pemimpin Aceh dianggap menyalahi kesepakatan sebelumnya mengenai otonomi khusus dan penerapan syariat Islam. Pada tahun 1953, Teungku M Daud Beureu’eh, melancarkan pemberontakan terhadap Jakarta dan memproklamirkan Aceh sebagai Negara Islam. Gerakan ini merupakan bagian dari gerakan Darul Islam pimpinan S. M. Kartosoewirjo.   Meski kemudian pemerintah Indonesia mengirim pasukan untuk penumpas para pemberontak, namun konflik berdarah ini terus berlanjut hingga tahun 1957. Konflik ini kemudian berakhir saat Soekarno menjadikan status Aceh sebagai provinsi sendiri terpisah dari Sumatera Utara. Dan dua tahun kemudian Aceh juga mendapatkan status “Daerah Istimewa” dan kembali dijanjikan akan memperoleh otonomi di bidang keagamaan, hukum adat dan pendidikan (K. E. Schulze, 2003).
        Berkuasanya rezim Orde Baru ternyata bukan menjadi “kabar baik” bagi hubungan Aceh dan Indonesia. Di bawah pemerintahan Soeharto, Aceh hanya digunakan sebagai alat untuk menumpuk pemasukan bagi pemerintah pusat di Jakarta. Setiap tahunnya, Aceh berkontribusi sekitar 2-3 milyar dolar per tahun bagi pendapatan nasional sejak ditemukannya sumber minyak dan gas alam cair di wilayah Lhokseumawe and Lhoksukon. Dan ironisnya, Aceh justru hanya mendapatkan 82 juta dolar setiap tahun dari pemerintah pusat untuk membiayai aktivitas pembangunan. Dan kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa perusahaan-perusahaan minyak dan gas (baik milik pemerintah maupun pihak asing) sangat sedikit membuka akses pekerjaan terhadap masyarakat lokal Aceh.  
        Untuk memperkuat kontrol atas Aceh, maka pemerintah pusat kembali “mengungkit” friksi lama antara kelompok bangsawan tradisional dan kelompok agamawan. Namun kali ini dibingkai dalam kontestasi politik. Kelompok bangsawan tradisional mendukung partai penguasa (rulling party) Golongan Karya, sementara kelompok agamawan mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berbasis Islam.
Sejak 1971 hingga 1982, PPP selalu menjadi partai pemenang pemilu di Aceh. Namun pada tahun 1980, Golkar beralih menjadi partai pemenang di Aceh. Masa ini juga menjadi babak baru beralihnya kepemimpinan moral maupun struktural di Aceh dari kelompok ulama ke kelompok yang non Aceh dan mengabdi pada kepentingan pusat. Kemunduran ini dianggap sebagai kekalahan kelompok Islam yang sejak zaman penjajahan Belanda tak pernah terkalahkan.
         Lemahnya “kepemimpinan moral” dan industrialisasi yang berkembang begitu pesat kemudian dianggap sebagai biang keladi atas dekadensi moral yang menjangkiti generasi muda Aceh. Hal ini terlihat dengan muncul dan berkembangnya lokasi-lokasi pelacuran gelap, diskotik, dan pub yang bertebaran dari Aceh Timur, Utara hingga ke Banda Aceh. Dan bagi masyarakat Aceh, kondisi ini tentu tidak lagi sejalan dengan syariat Islam yang telah begitu lama diyakini dan dijadikan sebagai rujukan kehidupan sehari-hari.
         Kombinasi eksploitasi ekonomi, tergerusnya kempemimpinan moral para ulama dan degradasi moral yang hampir parah kemudian seolah menjadi “tunas baru” kebencian terhadap Jakarta. Dan tepatnya pada tanggal 4 Desember 1976, gerakan Anti Jakarta dideklarasikan oleh kelompok yang kemudian menamakan dirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau ASNLF (Acheh Sumatra National Liberation Front). Dan masyarakat Aceh lebih sering menyebut gerakan ini dengan nama Atjeh Meurdehka (Kontras, 2006). Tujuan gerakan ini adalah untuk memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk Negara Aceh merdeka (K. E. Schulze, 2003).
        Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lalu menjadi musuh nomor satu pemerintah Indonesia dan segera melabeli gerakan tersebut dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Dan setelah itu, bertahun-tahun konflik bersenjata antara pihak Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka kemudian menjadi pemandangan lazim yang memilukan. Rentetan kekerasan terjadi dengan bermacam-macam dalih yang ironisnya justru paling banyak mengorbankan masyarakat sipil yang seringkali tidak begitu mengetahui “atas nama” apa konflik ini berlangsung. Korban juga tentu datang dari pihak TNI dan GAM yang sama-sama menganngkat senjata untuk sesuatu yang mereka anggap sebagai “hak”.[1]

Identifikasi Aktor
        Untuk mengidentifikasi dan menganalisa peran aktor dalam sebuah konflik, maka pemetaannya bisa dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada individu atau kelompok yang member pengaruh terhadap dinamika konflik baik yang mungkin dilakukan dengan berbagai macam metode (Ho-Won, 2008). Term “aktor” juga bisa dilekatkan ke siapapun yang terlibat atau terkena imbas akibat sebuah konflik (FEWER/CIDA, 2003).
        Dan setiap aktor dapat dibedakan menurut tujuan (goals) dan kepentingan (interest), posisi, kapasitas yang dimiliki tiap aktor  untuk mengetahui kepentingan masing-,masing dan hubungan antar aktor (FEWER/CIDA, 2003). Setiap aktor juga memiliki kapasitas yang berbeda untuk mencapai tujuan yang dianggap paling krusial, nmengartikulasi isu, dan mengeksprasikan kepantingan yang berasal dari nilai dan kebutuhan yang berbeda-beda (Ho-Won, 2008). Sejalan dengan pandangan ini, identifikasi aktor-aktor dalam konflik Aceh mesti pula dibarengi dengan analisa berdasarkan sikap, posisi dan kepentingan masing-masing aktor. Analisa mengenai ketiga aspek ini akan sangat berkorelasi tentunya dengan analisa terhadap upaya untuk mengintervensi konflik yang dimaksud.
        Identifikasi terhadap aktor-aktor dalam konflik Aceh dalam tulisan ini akan lebih berfokus kepada kelompok atau institusi yang terlibat dalam kekerasan bersenjata hingga proses intervensi konflik. Diantaranya, pihak Gerakan Aceh Merdeka, pemerintah Indonesia, pihak ketiga (khususnya kelompok atau institusi yang terlibat dalam proses intervensi konflik) serta tentunya rakyat Aceh.
        Klasifikasi ini tentu akan bermasalah mengingat dinamika konflik Aceh yang begitu lama dengan berbagai latarbelakang kepentingan berbagai pihak di dalamnya, yang tentunya membutuhkan pendekatan yang lebih holistik untuk mengidentifikasinya. Namun identifikasi ini akan lebih memfokuskan diri pada masa-masa intervensi konflik hingga ditandatanganinya MoU Helsinki.

a.   Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Untuk mengetahui bagaimana sikap, posisi maupun kepentingan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam konteks konflik di Aceh, maka menarik untuk mencermati beberapa fase perjuangan GAM. K. E. Schulze (2003) mengurai empat fase perjuangan Gerakan Aceh Merdeka untuk mewujudkan kemerdekaan Aceh. Fase pertama (1976-1982), masa dimana di Tiro masih berada di Aceh memimpin aktivitas kelompok politik dan militer. Masa ini oleh di Tiro dianggap sebagai masa edukasi perjuangan dan tujuan utamanya adalah untuk membangkitkan kesadaran nasional masyarakat. Fase kedua (1982-1988), dimana pada masa ini di Tiro dan pemimpin GAM lainnya telah mengasingkan diri ke Swedia setelah dipukul mundur oleh pasukan TNI. Di tempat pengasingan para pemimpin GAM mulai mencari dukungan politik dan militer dari pihak eksternal. Di masa inilah GAM misalnya mendapatkan bantuan pelatihan militer oleh Libya dan juga mendirikan kantor-kantor GAM di Malaysia, Singapura, Australia, Amerika Serikat dan Eropa. Fase ketiga, (1988-1998), adalah masa dimana GAM kembali melakukan konsolidasi, reorganisasi dan pelatihan untuk para milisi. Hal ini dilakukan setelah mendapatkan pelatihan militer dari Libya dan mendapat sokongan dana dari warga Aceh perantauan. Fase keempat, (pasca 1998), di masa ini GAM mulai menjalankan strategi dialog dalam perjuangan kemerdekaannya. Namun diakibatkan proses dialog yang tidak berjalan baik dan penumpasan terhadap gerilyawan yang masih terus dilakukan oleh pihak Indonesia dalam hal ini TNI, maka kondisi tersebut ikut mempengaruhi posisi GAM dalam dua hal: Pertama, semakin menguatkan posisi GAM bahwa “merdeka” adalah solusi yang harus terus diperjuangkan. Tidak di meja negosiasi tapi di medan pertempuran. Kedua, meski dipukul mundur namun GAM tidak akan pernah menyerah. Posisi ini oleh GAM terus dikuatkan dengan reproduksi narasi historis bahwa sejak dulu Aceh tidak pernah menyerah kalah baik terhadap Belanda, Jepang atau kekuatan kolonial Jawa di Jakarta.
Mengamati konteks konflik dan fase perjuangan GAM ini, kemudian saya melihat bahwa sejak awal GAM sudah menyatakan sikapnya untuk mengangkat senjata untuk memperjuangkan posisinya garis perjuangannya yaitu merdeka dari Indonesia. Sedangkan untuk mengetahui kepentingannya, maka menarik untuk menyimak sepenggal kata yang pernah diucapkan oleh Hasan Tiro dalam bukunya Price of Freedom bahwa tujuan perjuangan GAM adalah “to free my people from foreign domination, from the yoke of Javanese colonialism (dikutip oleh Schulze, 2003).” Dari sini terlihat jelas bahwa kepentingan GAM adalah terbebas dari belenggu dominasi kolonialisme Jawa yang menurut Tiro termasuk di dalamnya adalah dominasi kepentingan modal internasional yang ingin menguasai sumber daya alam di Aceh.
Namun demikian, saya melihat bahwa sikap maupun posisi GAM ini tidak selamanya statis. Begitu banyak faktor-faktor lain yang sangat mungkin akhirnya mengubah sikap, posisi bahkan kepentingan kelompok ini. Soal friksi internal misalnya yang juga digambarkan oleh Schulze (2003) sebagai persoalan yang sejak masa-masa awal perjuangan GAM telah menjadi masalah krusial secara internal apalagi dengan strategi perjuangan luar negeri yang dijalankan oleh elit-elit GAM tentunya dalam kondisi tertentu dapat menjadi masalah bagi stabilitas organisasi secara internal.

b.   Pemerintah Indonesia
Aspinall (2005) menganggap bahwa pemerintah Indonesia bukanlah aktor tunggal dalam konteks konflik Aceh. Namun di dalamnya terdapat pembagian antara elemen sipil dan militer, di tingkat atau lini yang berbeda dan antara pihak eksekutif dan legislatif. Menurut Edward, hal ini dilakukan oleh Indonesia sebagai bentuk komitmen untuk mempertegas posisinya terhadap keberlanjutan integritas territorial. Pembagian tersebut kemudian bisa diturunkan dalam tiga struktur yakni pemerintah pusat (central government), TNI (military), dan pemerintah lokal (local authorithy).
Dari penjelasan yang diberikan oleh Aspinall (2005), dapat dengan jelas kita amati bahwa elemen-elemen di atas kecuali pemerintah lokal dalam batasan lain[2], sejak awal tetap pada posisi yang jelas bahwa opsi merdeka yang diperjuangkan oleh GAM yang mengatasnamakan rakyat Aceh sama sekali tidak bisa ditolerir. Dan kepentingan pun jelas bahwa semua upaya yang dilakukan sejak zaman Soekarno dengan “otonomi khusus” hingga MoU Helsinki adalah bagian dari komitmen untuk tetap mempertahankan setiap jengkal wilayah Republik Indonesia. Termasuk sumber daya yang begitu melimpah yang dimiliki oleh Aceh.
Yang membedakan kemudian adalah bentuk penyikapan atas konflik di Aceh pada tiap masanya yg relatif berbeda. Setelah kejatuhan Soeharto, khususnya sejak zaman Habibie (1998-99) dan Abdurrahman Wahid (2000-2001), bahwa model “security approach” dalam penanganan konflik Aceh yang diberlakukan sebelumnya terbukti gagal. Sehingga pada masa kedua presiden tersebut mulai memberikan statement “permohonan maaf” atas rentetan pelanggaran HAM masa lalu, penarikan unit-unit militer dari Aceh, menginisiasi negosiasi perdamaian, dan kembali menginisiasi perumusan undang-undang otonomi khusus (Aspinall, 2005).
Begitu pula di pihak militer ynag pada masa Soeharto merasa sebagai elemen yang paling bertanggungjawab terhadap keutuhan wilayah republik Indonesia dan kemudian membenarkan kekerasan dan pelanggaran HAM dimana-mana, selanjutnya mulai menerima dan mengakui supremasi sipil.

c.    Masyarakat Sipil (Civil Society)
Organisasi masyarakat sipil (CSO) terbagi dalam dua kategori besar yakni pertama, organisasi berspektrum Islam. Organisasi modern Islam seperti Muhammadiyah, atau organisasi Islam tradisional seperti dayah (pesantren) menjalankan fungsi-fungsi sosial keagamaan. Selanjutnya, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif mengusung isu-isu community development, perempuan, hak azasi manusia dan isu-isu terkait (Edward, 2005).
Pada masa konflik, organisasi-organisasi ini juga tidak jarang mendapatkan represifitas dari militer karena sering dikaitkan dengan GAM atau karena aktivitas kampanye terhadap isu-isu yang sensitive khususnya menegenai Hak Azasi Manusia. Menurut saya, organisasi-organisasi ini secara umum tidak berafiliasi terhadap kelompok mana pun namun melihat persoalan konflik ini secara lebih struktural sehingga isu-isu yang diusung pun merupakan bagian yang sering terlupakan khususnya oleh kedua belah pihak yang bertikai.

d.   Masyarakat lokal
Masyarakat lokal khususnya yang berada di area pedesaan menjadi kelompok yang paling banyak menjadi korban konflik bersenjata antara GAM dan TNI. Penculikan dan pembunuhan tidak hanya dilakukan oleh pihak TNI yang menjalankan metode brutal dengan dalih untuk memisahkan masyarakat dengan simpatisan GAM, namun perlakuan buruk juga dilakukan oleh pihak GAM terhadap masyarakat lokal (Kontras, 2006).
Dengan demikian dapat dibahasakan bahwa masyarakat lokal praktis masyarakat lokal Aceh tidak memiliki kepentingan yang signifikan dalam kerangka konflik yang terjadi. Meski kemudian pihak GAM menjadikan isu-isu normatif yang seharusnya membuat masyarakat lokal yang memang secara ekonomi politik begitu terdiskriminasi berpihak kepada mereka. Hal ini disebabkan karena korban yang terus bertambah baik secara fisik maupun psikologis.

Dinamika Konflik
        Sebuah konflik tentu tidak bisa disimpulkan telah berakhir meski “kata damai” telah disepakati karena sifat konflik yang dinamis. Dinamika konflik dapat dianalisa dan bahkan diprediksi kemungkinan eskalasinya dengan mengetahui penyebab konflik. Penyebab konflik dapat dikategorikan dalam 3 hal yaitu :
1.    Latent (structural/underlying) causes, yaitu faktor-faktor esensial yang inheren dalam kebijakan, struktur dan struktur sosial masyarakat yang sangat mungkin menciptakan pra kondisi bagi konflik dan kekerasan.
2.   Proximate causes, yaitu faktor-faktor yang dapat mengubah iklim yang kondusif menjadi konflik sarat kekerasan atau menjadi lebih eskalatif. Kadang merupakan gejala yang nampak dari persoalan yang lebih mendalam.
3.   Trigger (accelerator), yaitu sebuah tindakan, kejadian atau antisipasi yang dapat mengakibatkan atau bahkan mempercepat terjadinya konflik dan kekerasan (FEWER/CIDA, 2003; Michael, dikutip oleh Aleksius dalam Hermawan, 2004, hal. 90-91).

Dibawah ini akan di tampilkan tabel yang memaparkan latent causes disertai proximate causes serta accelerator yang mempengaruhi dinamika konflik di Aceh. Diantaranya :

No.
Latent Causes
Proximate Causes
Accelarator
1.






2





3.


















4.




5.





6.
Diskriminasi Identitas




  
      Dekadensi 
      Moral

               

                  
     Ketidakadilan
     terhadap akses
     sumber daya
     alam















Diskriminasi kemanusiaan



Degradasi Tata Kelola Pemerintahan



Kemiskinan struktural
Kebijakan politik yang tak sensitif dan tidak transparan


Rekayasa Sosial yang tidak sensitif dengan isu moralitas.

Pengelolaan sumber daya alam yang tersentralisir dan tak berpihak.













Pelanggaran HAM



Praktek menyimpang dari pemerintah lokal.

Format dan praktek kebijakan ekonomi politik yang timpang
Lahirnya regulasi penyatuan Aceh ke Sumatera Utara.
Tidak jelasnya aturan mengenai penerapan otonomi khusus dan syariat Islam.
Munculnya praktek pelacuran, perjudian di beberapa wilayah yang didominasi penduduk pendatang (Kontras, 2006).
Penguasaan kontrol dan manajemen ladang gas alam Arun  dan beberapa lading minyak dan gas lainnya oleh pihak pusat dalam hal ini Jakarta dan MNC asing (Aspinall, 2005)
Aceh hanya mendapatkan 82 juta dolar per tahun padahal menyetor ke pusat 2-3 milyar per tahun (Priyambudi, 2001).
Rendahnya akses lapangan kerja di perusahaan minyak dan gas untuk masyarakat Aceh
Pembunuhan,penculikan, pemerkosaan terhadap masyarakat lokal baik oleh TNI maupun GAM (Kontras, 2006)
Survey Bank Indonesia (2001) dimana Aceh sebagai provinsi terkotup (Edward, 2005).
Kasus korupsi Abdulleh Puteh (Aspinall, 2005).
54% rakyat Aceh berada di bawah garis kemiskinan (Aspinall, 2005)


Apa yang dipaparkan di atas, adalah beberapa hal yang mempengaruhi dinamika konflik di Aceh hingga kini. Sekali lagi, menyadari sifat konflik yang begitu dinamis, sehingga sebab-sebab di atas tentu sangat mungkin bertransformasi. Proximate causes di suatu tahapan tertentu bisa saja misalnya menjadi latent causes dan seterusnya.

Solusi dan Intervensi
        Prinsip-prinsip penanganan konflik di Aceh sekilas telah diberikan gambaran pada pembahasan mengenai sikap, posisi dan kepentingan para aktor dalam konflik di Aceh. Prinsip penanganan konflik pada masa Soeharto lebih menitikberatkan pada metode yang represif ketimbang mendahulukan metode dialog atau negosiasi. Hal ini dapat kita lihat melalui beberapa operasi yang dilakukan di Aceh pada masa Orde Baru, seperti Daerah Operasi Militer (1989-1998).
        Selanjutnya, model penanganan yang mengacu pada prinsip-prinsip yang lebih moderat mulai dilakukan pada masa Gus Dur. Political will untuk memulai dialog antara kedua pihak yang bertikai mulai diperlihatkan pada masa pemerintahan Gus Dur. Ini dimulai dengan dengan kesepakatan untuk menerapkan Joint Understanding on Humanitarian Pause For Aceh (Jeda Kemanusiaan) antara Pemerintah RI dan GAM, yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 dan berlaku pada 2 Juni 2000 (Kontras, 2006). Namun kesepakatan ini tidak berjalan efektif karena kedua belah pihak tetap melakukan aktivitas yang kemudian dapat menyulut konflik berikutnya.
        Upaya berikutnya dilakukan antara pihak Indonesia dan GAM pada tanggal 9 Desember 2002, dengan menandatangani Perjanjian Perhentian Permusuhan, Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), di Jenewa Swiss. Perjanjian ini menerapkan prinsip yang lebih maju dibandingkan yang sebelumnya karena partisipasi masyarakat sipil diakomodir dalam butir-butir perjanjian ini. Ini terlihat misalnya dengan terbentuknya Acehnesse Civil Society Task Force (ACSTF) yang merupakan sebuah organisasi yang diprakarsai oleh beberapa aktifis/tokoh masyarakat Aceh di Washington pada pertemuan persaudaran rakyat Aceh telah melahirkan semangat kebersamaan dari kelompok - kelompok sipil di Aceh dalam memperjuangkan penyelesaian masalah Aceh secara damai dan demokratis (Kontras, 2006).       
        Kemajuan perjanjian ini memang terlihat dengan menurunnya eskalasi kekerasan dimana-mana. Namun bukan berarti kekerasan tersebut hilang sama sekali. Karena operasi militer tetap dilakukan walaupun dengan penggunaan sebutan jenis operasi yang lebih lunak (euphemism) dan bahkan Presiden Megawati menetapkan keadaan bahaya dengan status Darurat Militer di Provinsi Aceh mulai tanggal 19 Mei 2003 untuk periode waktu enam bulan dan Darurat Sipil terhitung sejak 19 Mei 2004, yang kemudian kembali meningkatkan eskalasi konflik dan kekerasan (Kontras, 2006).
        Tsunami Aceh, Desember 2004 kemudian begitu mempengaruhi proses penanganan konflik. Kerangka resolusi konflik yang ditawarkan Galtung (dikutip oleh Aleksius, 2007) berupa tahapan proses peacemaking, peacekeeping hingga peacebuilding dapat berjalan dan terus dievaluasi perkembangannya.
        Aleksius (2007) kemudian menjelaskan ketiga proses tersebut. Proses peacemaking di Aceh dapat dengan mudah terlasana karena kondisi mutually hurting stalemate setelah Tsunami Aceh, maka pihak Indonesia dan GAM berkomitmen menghentikan kekerasan (ceasefire) dan kembali memulai proses negosiasi. Diawali dengan kontak dan proses yang informal, proses peacemaking antara Indonesia dan GAM yang dimediasi CMI dari Finlandia kemudian membuahkan Memorandum of Undertanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Keberhasilan ini tidak lepas dari upaya Presiden Finlandia, Marrti Ahtisaari yang terus mendorong proses negosiasi hingga berjalan lancer setelah sebelumnya berkali-kali terjadi deadlock. Butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam MoU Helsinki secara tersurat mengamanahkan beberapa aspek yang mesti dilakukan oleh para pihak dalam kerangka proses peacebuilding yang kiranya dapat menterjemahkan posisi negative peace menjadi positif peace hingga terwujud perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di Aceh. Proses pecebuilding tentunya melibatkan banyak pihak apalagi kondisi pasca tsunami juga membutuhkan perbaikan dimana-mana. Diantara beberapa elemn yang terlibat misalnya, Aceh Monitoring Mission (AMM) yang didalamnya terdiri atas banyak elemen termasuk ASEAN. Juga Negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa yang juga ikut membantu recovery Aceh sebagai bagian dari tahap awal proses peacebuilding yang tentu membutuhkan waktu yang panjang untuk menjalankannya.

Menimbang “Human Peace” di Aceh

        Menyoal proses peacebuilding di Aceh tentunya membutuhkan pendekatan dan perspektif yang lebih komprehensif mengingat berbagai persoalan yang melingkupinya. Pendekatan yang dimaksud ini tentu saja diharapkan tidak hanya mampu membahas dan mengamati persoalan-persoalan yang ada di permukaan namun kemudian alpa terhadap rantai panjang masalah yang sebenarnya justru begitu prinsipil. Kesejahteraan ekonomi, jaminan kesehatan, jaminan kemerdekaan politik, adalah sekelumit dari persoalan-persoalan tersebut.
        Selain itu, pendekatan ini juga tentu diharapkan mampu membuka peluang partisipasi bagi semua pihak untuk terlibat dalam proses peacebuilding. Sehingga elitism dan sektarianisme proses yang hanya melibatkan segelintir elit dan tebukti telah gagal di masa lalu tidak akan terulang lagi.
        Salah satu pendekatan yang mungkin bisa didiskusikan dan dielaborasi lebih jauh adalah usulan Saiful Haq (2007) mengenai konsep “human peace”. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari konsep human security. Karena berbagai pertimbangan politik domestik, Saiful kemudian tidak memilih menggunakan istilah “security”.
        Saiful melanjutkan bahwa kompleksitas proses demokratisasi dan pembangunan yang menjadi semangat proses peacebuilding di Aceh paling tidak harus dijawab dengan menjalankan dua hal. Pertama, setiap upaya yang dilakukan dalam kerangka transisi menuju demokratisasi dan pembangunan yang berkeadilan harus mengarusutamakan pemenuhan human peace yakni kesejahteraan ekonomi, ketahanan pangan, jaminan kesehatan, kelestarian lingkungan, kedaulatan individu, keamanan komunitas, politik demokratis dan sebagainya. Kedua, upaya penegakan keamanan harus menegaskan persoalan demiliterisasi, sebagai mandat perjanjian Helsinki.
        Terkait dengan upaya pemenuhan human peace di Aceh, Saiful memaparkan beberapa agenda yang sangat mungkin dilakukan, antara lain:
  1. Pemantauan gerakan masyarakat sipil terhadap beberapa agenda reintegrasi
  2. Adanya mekanisme yang tetap dan menjamin keadilan semua pihak dalam penyelesaian perselisihan di Aceh
  3. Suksesnya Pilkada di Aceh dapat menjadi jembatan proses demokratisasi.
  4. Perlu segera diwujudkan proses Pengadilan HAM masa lalu serta upaya rekonsiliasi bagi korban pelanggaran HAM.
  5. Reformasi Birokrasi yang harus dilakukan oleh pemerintah lokal yang terpilih.
  6. Solusi pertumbuhan ekonomi hendaknya tidak dijawab dengan eksploitasi sumber daya alam dan dan investasi padat modal.
  7. Pemerintah Aceh harus betul-betul memperhatikan agenda penyusunan APBD yang di banyak daerah begitu bermasalah.
  8. Penguatan masyarakat sipil melalui pendekatan struktural dan sosiokultural
  9. Mendorong institusi pendidikan tinggi di Aceh untuk menjadi inisiator solusi masa depan Aceh.
Konsep yang ditawarkan oleh Syaiful Haq dan beberapa agenda praktis yang bisa dijalankan oleh berbagai pihak tentu patut untuk dijadikan rujukan diskusi untuk menentukan strategi pembangunan Aceh kedepan. Konsep dan turunannya tersebut di atas tentu bukan hal final mengingat dinamika masyarakat yang juga terus berkembang.
Dan bagi saya, yang juga penting untuk diperhatikan bahwa konsepsi human peace juga harus menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi dan agenda serta platform pembangunan secara nasional. Hal ini tentu beralasan apalagi mengingat struktur politik pemerintahan di Negara ini yang masih begitu memegang sistem patronase. Meskipun konsepsi mengenai otonomi daerah berusaha untuk menjawab persoalan tersebut namun sejauh ini belum berjalan optimal.
Selain itu, dengan menyertakan konsepsi human peace dalam strategi pembangunan nasional juga akan menjadi semacam bentuk strategi preventive diplomacy bagi kemungkinan terjadinya konflik terbuka yang kapan saja bisa muncul dengan berbagai macam trigger atau accelerator.

Penutup
                    Pertanyaan tentang masa depan Aceh tentu tidak bisa hanya diarahkan ke kelompok atau institusi tertentu saja atau untuk rakyat Aceh saja. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan untuk kita semua. Mengapa demikian? Karena pertanyaan mengenai masa depan Aceh adalah pertanyaan yang sama untuk kita yang juga sedang “menanam” bibit-bibit konflik dimana-mana. Bahkan di lingkungan paling terdekat dari kita, atau akibat penerimaan kita terhadap begitu banyak bentuk penyimpangan yang mengatasnamakan institusi yang bernama Negara.
                    Elaborasi singkat mengenai konflik Aceh beserta dinamikanya diatas, merupakan upaya sederhana untuk menjawab pertanyaan tentang masa depan Aceh dan kita semua. Jawaban yang tidak hanya kita siapakan untuk lima atau sepuluh tahun kedepan tapi untuk rentang waktu tumbuhnya generasi baru dari pelosok Sabang hingga Merauke yang masih begitu sangat lama. Jawaban yang akan dijadikan sebagai penanda zaman dan sekaligus sebagai peringatan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Sekian dan Terima Kasih.


Daftar Pustaka

Aspinall, Edward. 2005. “Aceh/Indonesia Conflict Analysis and Options for Systemic Conflict Transformation”. Beghof Foundation for Peace Support. Diakses melalui http://www.berghof-peacesupport.org/publications/SCT_Aceh_Conflict_Analysis_and_Systemic_CT.pdf

FEWER & CIDA. 2003. Conflict Analysis (Bahan Kuliah)

Jeong, Ho-Won. 2008. Understanding Conflict and Conflict Analysis, SAGE Publications Ltd., London

Kontras, Aceh: Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta, 2006

Sulistiyanto, Priyambudi. “Whither Aceh?”. Third World Quarterly, Vol 22, No 3, pp 437–452, 2001. Diakses melalui http://ezproxy.ugm.ac.id:2078/pdf25_26/pdf/2001/TWQ/01Jun01/5393323.pdf?T=P&P=AN&K=5393323&S=R&D=s8h&EbscoContent=dGJyMMTo50Sep644yOvsOLCmr0meprFSr6i4TLOWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGqt1Czr65LuePfgeyx44Dt6fIA. Diakses tanggal 9 Juni 2011

Schulze, Kirsten E. 2003. “The Struggle for an Independent Aceh: The Ideology, Capacity, and Strategy of GAM”. Studies in Conflict & Terrorism, 26:241–271, 2003. Diakses melalui http://ezproxy.ugm.ac.id:2078/pdf13_15/pdf/2003/CNF/01Jul03/10314326.pdf?T=P&P=AN&K=10314326&S=R&D=s8h&EbscoContent=dGJyMMTo50Sep644yOvsOLCmr0meprFSr6y4S7KWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGqt1Czr65LuePfgeyx44Dt6fIA. Diakses tanggal 9 Juni 2011

Tim Koalisi Pengungkap Kebenaran (KPK) Aceh, Tawaran Model Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM di Aceh, Banda Aceh-Jakarta, 2007

Hermawan, Yulius P (Ed). 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional Aktor Isu dan Metodologi

Haq, Syaiful. 2007. Paradigma Baru Pembangunan Aceh. http://indoprogress.com/2007/05/14/paradigma-baru-pembangunan-aceh/. Diakses tanggal 10 Juni 2011


      

[1] Sesuai laporan Kontras dalam Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu (2006), yang memaparkan mengenai kekerasan yang terjadi selama konflik di Aceh sejak masa Pra Daerah Operasi Militer (1976-1989) hingga masa Darurat Sipil (2004-2005).
[2] Menurut Edward (2005), pada kurun waktu (1999-2001), institusi pemerintah lokal terbukti lumpuh, dan begitu banyak politisi lokal yang berusaha untuk membangun kontak dengan GAM.

Komentar

Postingan Populer