..Dilarang Membaca Koran Selain pada Jam Istirahat...



Setahuku, guru adalah cerminan pengetahuan untuk murid-muridnya. Zamanku kecil dulu, guru adalah orang yang tahu segalanya, orang yang tidak pernah salah. Di tangannya ada titah sekaligus restu untuk menjadi manusia. Dalam kata-katanya ada doa yang mustajab. Dalam keadaan tertentu, banyak yang lebih menghormati gurunya dari pada orang tuanya.
Tapi, tidak di zaman ini. saat televisi telah menelan mentah-mentah kebebasan persnya dan menyuguhkan realita zaman tidak terkecuali pada anak-anak. Tidak juga setelah merk-merk handphone, dan alat elektronik lainnya bersilweran dengan mudah dengan harga terjagkau hingga mudah dipegang oleh anak-anak. Tidak juga, saat infomasi, peristiwa lalu lalang dalam dunia maya dan bebas di akses oleh anak-anak kita.
Ya, saat ini guru seolah berpacu pengetahuan dengan muridnya. Apalagi di seklah ini, yang nota bene hampir semua anak-anaknya melek tekhnolgi bahkan dari mereka kelas satu SD. Anak-anak kelas tiga SD di sekolah ini, yang mereka gantung di leher bukan lagi tali botol minuman, tapi flash disk. Canggih betul kehidupan hari ini.
Untuk itu, kami para guru selalu dicanangkan untuk membaca koran. Setiap hari ada dua koran lokal yang mejeng di depan perpustakaan. Apa yang menarik dari koran? Sehingga hampir semua guru berebut mau membacanya. Koran lokal, lagi. Jawabannya LOWONGAN KERJA. Saban hari, rubric inilah yang paling ditunggu-tunggu hampir semua guru di sekolah ini. Jika kuingat detailnya, rutinitas membaca Koran berjamaan di perpustakaan, di waktu-waktu tertentu, sesaat setelah tiba di sekolah, saat jam belum menunjukkan waktu 07.15, atau pada saat pergantian jam belajar, dan lebih banyak pada jam-jam kosong. Satu atau dua guru, lagi secara berjamaah akan mengintip iklan lowongan kerja. Satu lagi yang membuktikan, sekolah ini memang sudah kehilangan feelnya sebagai tempat yang nyaman bagi pekerjanya.
Terkecuali untuk Pak Parman, dan dua orang lelaki baik-baik di sekolah ini, Pak Risno dan Pak Alan. Hampir semua tenaga pengajar, sedang mencari pekerjaan baru. Tujuannya satu, keluar dari sekolah ini dengan aman. Artinya, hampir dari kami semua ingin pergi dari sekolah ini, mencari tempat yang lebih baik, tapi tentunya bukan kembali pada status pengangguran.
Setiap pagi, hampir setiap pagi koran ini selalu jadi rebutan. Dan pagi ini.
“Eh, Nit. Ada laowongan.” Teriak Kiki padaku dengan suara yang lumayan keras. Aku yang baru datang, dengan kondisi masih ngantuk tidak sempat berlari, dan ternyata Bu Ami sudah ada di belakangku dengan langka seribu mendahuluiku mengambil koran.
“ Mana…? Mana…? “Bu Ami masih geregetan mencari. Aku masih mengantuk saat itu, tapi pasti tidak sedang  bermimpi. Mataku menangkap Pak Arafah sedang berdiri dan melihat Kiki dan Bu Ami sedang melototi lowongan kerja di koran. Aku menghentikan langkah. Pak Arafah, menatapku seolah minta jawaban. Dan dua orang di sana yang sedang berada dalam kondisi alfa sama sekali tidak mendengar P ak Afarah sedang berdiri dan memburu nafas di dekat mereka.
“ Bu Erlin, jadwal kemarin mana? Tanya Pak Arafah sekaligus mematungkan mereka berdua. Suara P Arafah saat itu, seperti kutukan ampuh ibunda Malin Kundang yang membuat Kiki dan Bu Ami membatu. Pak Arafah berjalan melewati mereka, seolah-olah acuh, seolah ia tidak sedang melihat kalau pekerjanya sedang mencak-mencak sibuk mencari kerjaan lain. Ia seolah tidak mendengar kalau dua orang tadi, sedang meributkan selembar kertas yag mereka anggap bisa membuat hidup mereka lebih baik dari yang mereka dapat di sekolah ini.
Aku tidak bisa menahan tawa. Kulangkahkan kakiku dengan bersemangat dan kantukku tiba-tiba melayang sesaat setelah mataku melihat P Arafah tadi, dengan mimik muka yang lucu.
“ Astaga, kenapa tidak bilag Pak Arafah ada di belakang” keluh mereka berdua. Aku tertawa. Tepatnya makkala’. Tapi, lihatlah! Inilah yang membuatku selalu heran. Aku atau pun guru-guru lainnya. Beberapa menit lalu, kulihat semangat mereka berdua berkejaran mencari koran, demi sebuah lowongan kerja yang terpampang di sana, dan sedetik tadi, mereka baru saja mengungkapkan ketakutannya meninggalkan tempat ini. Inilah realitanya, bahwa hampir semua orang mencoba berdamai dengan segenap rasa tidak suka, rasa tidak nyaman, rasa tidak adil, karena ketakutan akan hidup tanpa pekerjaan,karena ketakutan akan momok bahwa mendapatkan kerja yang layak itu sulit, ketakutan tidak akan ada lagi uang yang masuk di rekening kita dan bisa kita habiskan semaunya.
Aku berjalan mencoba memompa semangatku menju ruang kelas. Kucoba untuk tidak memakai jam, dan tidak ingin melirik jam di belakangku. Kubiarkan waktu berjalans secara alamiah karena aku mulai lelah terus terpaut dengannya, menunggunya hingga aku bisa bernafas lega. Bel berbunyi, tanda pelajaranku berakhir. Aku berjalan puas, bukan hanya karena siswaku menulis dengan semangat hari ini, tapi karena aku bisa mengatasi rasa gundahku dan menjalani hari dengan bebas.
Tapi, belum sempat rasa itu mendiam lama di ragaku. Aku tertegun, ketika kakiku melangkah masuk di perpustakaan. Sebuah kertas karton putih, melekat di dinding perpustakaan yang berhadapan dengan pintu. Kulihat semua menatapku, menunggu reaksiku. Aku tertawa, tertawa sambil menahan suaraku, hingga tawaku tertahan di perut. Kali ini betul-betul lucu, lebih lucu dari ekspresi Pak Arafah pagi tadi, lebih lucu dari mimik dua orang yang ketangkap basah tadi pagi. Ditulis dengan huruf capital, menggunakan spidol warna hitam pekat. berbunyi
“DILARANG MEMBACA KORAN SELAIN PADA JAM ISTIRAHAT”.
Hari ini  Sang Maha menyodorkan lawakan yang begitu lucu. Aku masih tertawa, menyambungkan semua hal tadi. Ngantukku, semangat KiKi dan Bu Ami, tatapan P Arafah, suaranya, langkahnya, patung  Bu Kiki dan Bu Ami, koran, rasa legaku, dan terakhir pengumuman ini. Aku tidak berhenti tertawa, memikirkan semua itu.
Tapi, jauh di dalam tawaku, aku sadar…ada peluru yang sedang meluncur entah menuju siapa. Peluru ketidaksenangan akan semua yang terjadi di sini. Yang entah kapan menemukan targetnya, atau menemukan waktu luncurnya.  
“ Hmmmm, selamat tinggal newspaper, see you in rest time.”

Mei 2007
#membaca…dilarang!

Komentar

Postingan Populer