Paket Perdana Ramadhan Mahatma...


Sejak dini, kami_aku dan komrad_ berusaha untuk tidak semena-mena terhadap yang kami putuskan untuk maha. Kami membuka ruang negosiasi untuknya. Dan hal ini tidaklah mudah..pasalnya, tidak semua yang dia inginkan, bisa kami mengerti dengan bahasanya, tidak semua juga yang dia inginkan adalah menjauhkannya dari bahaya. Tapi, kami selalu dan selalu mengajaknya berbicara layaknya orang dewasa, memberitahunya akan konsekuensi. Misalnya, saat ia tetap memilih untuk berdiri di atas sandaran kursi, ia sudah tahu bahwa ia bisa saj jatuh dan akan terasa sakit pastinya. Begitupun dengan aktivitas yang kami lakukan, jalan-jalan, membaca, bermain basket, bermain bola, olahraga, semua itu atas keinginannya.
Di usianya yang sudah mampu membahsaka inginnya, prosses itu lebih mudah.  Jadi, setiap ingin melakukan sesuatu, aku senang mendiskusikannya lebih dahulu. Dan akhinya, ia jadi tidak terbiasa dengan hal-hal yang dadakan. Misalnya, jika bapak bebinya datang, ia memang harus diberitahu bahwa bapaknya akan pergi lagi...jauh hari sebelumnya. Dan itu membuatnya siap.
Nah, seperti itupun. Seminggu sebelum Ramadhan,maha telah kuperkenalkan tentang bulan ini.  Aku bercerita tentang banyaknya hal yang bisa kami lakukan bersama, utamanya tarawih. Pikirku, usianya yang sudah melewati dua Ramadhan ini, dia sudah bisa kuajak shalat bersama di mesjid. Aku juga bercerita kalau Ramadhan, mama (neneknya) libur, sekolah libur, ibunya juga libur, terus akan berjumpa neneknya di Kendari. Semua itu membuatnya begitu menantikan Ramadhan. Apalagi, penantiannya berjalan beriring dengan gempuran iklan-iklan tivi menyambut Ramadhan kerap kali didengarnya.
“ibu...manami Ramadhan..” tanyanya pagi itu, seingatku sehari sebelum kami bangun sahur.
“Besok sudah Ramadhan...maha mau tarawih khan?”tanyaku. Ia mengangguk gembira seolah ia punya cara sendiri untuk menyambut bulan suci ini. Dan malam 1 Ramadhan pun tiba. Sejak sore, aku pastikan ia siap bertarawih ria. Kuberitahu bahwa di sana akan ada banyak orang. Dia kalau bisa tidak menangis saat orang-orang mencubit pipinya. Karena, pengalamanku  maha selalu tidak suka dan betul-betul terganggu, saat kehadirannya dijemput dengan cubitan yang melayang di pipinya, atau ciuman atau berbagai bentuk kebahagiaan orang saat melihat wajahnya yang lucu. Ia belum legowo menerima semua itu. tapi, ia mantap berkata
“iya bu. mamma tidak mau angis...mamma mau taaweh..d mesjid to? Sama ibu to? Sama mama to? Sama papa ci to? “ tanyanya memburuku. Aku mengangguk. Setelah magrib, kupastikan kembali bahwa maha tidak akan membuat kericuhan di mesjid. Rasanya tidak enak kalau mengganggu kekhusyukan orang-orang di mesjid. Tapi, maha tetap mantap. Ia membuka baju dan celananya sendiri, dan meminta baju yang lebih bagus. Kupilihkan baju koko putih, celana biru gelap dan topi. Ia memakainya dengan semangat sambil berteriak
“taawe..taawe..ama ibu...sama mama..sama papa” katanya berulang-ulang. Saat ibu berangkat duluan, ia marah berpikir rencana tarawehnya gagal. Ya..kami memang berangkat setelah shalat Isya, dan hanya tarawih saja di mesjid. Jika harus berangkat dari Isya, saya takut maha akan kelelahan. Setelah ku dengar ceramah sebelum tarwih dimulai, aku sudah bersiap. Maha sudah berulang-ulang memanggilku karena ia sudah terlalu lama menunggu. Ia mengajak puang udi, puang ikmal, om2nya yang baru datang dari Makassar untuk ikut bersamanya.
“ayomi..taaweh...puang immal..” katanya. Semangatnya tidak padam, saat dua omnya menolak karena lelah, ia hanya meminta diantar karena tidak mau jalan kaki.
Sesampai di mesjid. Langkah yang tadinya bersemangat, tiba-tiba ciut pelan.
“kenapa? Maha takut?” tanyaku. Kuajak ia pulang, tapi ia menggeleng. Ia kembali melangkahkan kakiknya, di mesjid Babul Ikhlas, milik Brimob. Aku mencari mama yang duduk di deretan ke dua. Seperti janjiku, maha akan duduk diantara aku dan mama.
“iyya bu...kanna nda mau di ganggu “ katanya setuju. Menurutnya, tidak akan ada yang mengganggunya jika kami mengapitnya. Duduk 5 menit, ceramah usai. Tibalah shalat tarawih. Kuingatkan jika ia tidak bisa ikut shalat, dia bisa duduk saja di sampingku. Dan 1 rakaat tarawih berlalu, ia mengikuti setiap gerak kami yang dipimpin imam mesjid. Ia berteriak amin...sesaat setelah shaf laki-laki meneriakkannya. Ia ruku’ , sujud, takbir seperti kita melakukannya. Setiap setelah salam, ia akan melihatku seolah menanti aku memuji prilakunya. Dan, setiap selesai salam, kudaratkan hadiah ciuman di pipinya sebagai tanda betapa bangganya aku melihatnya begitu “teratur.”
Setelah delapan rakaat usai, ia juga ikut menengadahkan tangannya. Kami berbondong pulang dengan jamaah yang juga tidak memilih shalat hingga 20 rakaat. Dan ia berhenti di depan sebuah celengan kaca yang di dalamnya berisi uang.
“bu...uang mamma simpan juga” katanya. Dengan bangga ia memasukkan uang 2 ribuan yang ia kantong sendiri dari rumah tadi. Lagi, ia berbalik dan tersenyum padaku. Kami menunggu desak-desakan orang di pintu mesjid berkurang. Kami pulang bertiga dengan mama, sembari ia bercerita.
“ibu..tadi ada bapa polici shalat juga” katanya
“ibu..mamma mo lagi taaweh besok na!” pintanya padaku. Aku mengangguk setuju, pulang dengan rasa bahagia yang dikumpulkan anakku sejak sore tadi. Sesampai di rumah, dia bercerita pada dede aira, maminya, puang iikmal dan puang udinya.
“ibu..mamma suka Amadhan...” katanya.
Aku tertawa mendengar pengakuannya. Yah...inilah paket perdana ramadhan ala maha. Yang ia sambut dengan bahagia seperti banyak ummat menyambutnya.
Dan, ada 2 kesimpulan malam ini. Pertama, aku berhasil memperkenalkan Ramadhan pada maha. Kedua, tarawih ku malam ini betul-betul tidak khusyuk karena sibuk memperhatikan tingkah anakku.
Marhaban ya ramadhan....semoga ini adalah awal yang indah untukmu, nak!

_Ibu Mahatma_
Agustus 2011

Komentar

Postingan Populer