Malam Minggu Tak Biasa di Festival Societeit de Harmonie


Sejak Kedai Buku Jenny mulai berjalan normal kira-kira dua tahun lalu, lapakan buku di berbagai event menjadi salah satu aktivitas yang kami geluti. Saat ajakan untuk lapakan datang, maka ia akan serupa kabar baik bagi kami semua. Semua ajakan lapak kami perlakukan sama serupa band yang memperlakukan panggung secara sama. Tak ada panggung yang lebih “besar” ketimbang yang lainnya, begitupun bagi kami tak ada lapak yang lebih istimewa dibanding yang lainnya. Dan yang paling membahagiakan dariajakan untuk lapakan adalah karena ia adalah panggilan untukliburan bagi kami sekeluarga dan teman-teman yang sering di KBJ. Makanya jangan heran kalau anda mendapati lapakan KBJ akan ditongkrongi oleh beberapa dari kami meski event nya tak terlalu besar.

Banyak sudah tempat yang pernah kami datangi dan menjajakan lapakan kami disana. Mulai dari acara di kampus hingga gelaran musik di hutan. Dan salah satu tempat lapakan favorit kami adalah gedung kesenian Societeit de Harmonie yang terletak tak jauh dari Benteng Rotterdam. Alasannya sederhana, karena setiap ajakan lapakan ke tempat itu berarti disana sedang ada pertunjukan, baik teater, pameran maupun musik atau gabungan kesemuanya.

Beberapa hari lalu kami mengajukan diri untuk bisa lapakan  di acara Festival Societeit de Harmonie yang digelar Gedung Kesenian, sepertinya serupa acara syukuran atas renovasi gedung kesenian yang sudah hampir rampung. Melalui Kak Shinta dari Kala Teater,kami dihubungkan dengan pihak panitia dan kami dibolehkan untuk menggelar lapak di event yang akan digelar selama seminggu itu. Selain diajak, kami juga memang sangat sering mengajukan diri untuk lapakan di suatu event apalagi jika event tersebut kami anggap menarik.

Seperti biasanya KBJ akan tutup jika ada lapakan karena semua kekuatan yang kami punya akan dikerahkan ke tempat lapak. Tujuannya yah untuk berlibur. Hahaha… begitu pula semalam saat kami menggelar lapakan di pembukaan Festival Societeit de Harmonie. Saya komplit mengikutkan ibunya maha dan dua jagoan kecil kami ditambah tiga orang personil Next Delay. Kali ini Om Sawing tak ikut serta karena ia harus membantu kakaknya yang lagi pindahan rumah.

Tak terlalu lama akhirnya kami sampai ke gedung kesenian. Selain karena kemampuan nyetir Om Riri yang tak usah diragukan lagi, kami memang sengaja memilih jalur tol menuju venue agar tak bertemu macet khas malam minggu di sekitaran Tello. Kami agak bergegas karena takut melewatkan penampilan Melismatis dengan tajuk Semesta Ensembel yang jadi penampilan utama di malam pembukaan festival semalam. Dari kabar-kabar yang kami terima sebelumnya, Melismatis akan membawakan semua nomor yang akan jadi materi album baru mereka yang rencananya akan dirilis dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Meski akhirnya kami tak telat, bahkan pembukaan acara belum dimulai saat kami tiba, tapi aksi bergegas kami ini menelan korban. Maha merasa kalau kita sedang menuju Bone melewati camba dan ia merasa mual dan kemudian muntah setelah sebelumnya ia meminta kantong plasti untuk dijadikan wadah muntah.


Pembukaan festival semalam cukup komplit karena ada suguhan tari yang menampilkan beberapa perempuan yang dibaluti kain putih dan dengan dupa ditangannya. Setelah tampil di halaman Societeitde Harmonie tempat pembukaan festival, para penari bersama dupanya lalu mengitari semua sudut ruangan di bagian dalam yang berisi puluhan foto karya fotografer-fotografer Performa –sebuah komunitas fotografer di Makassar- dan seni instalasi karya Ishakim. Yang menarik di karya instalasi yang berbentuk kubus yang terbuat dari kawat ini, Ishakim juga menggelar teatrikal bersama anaknya. Si bapak beraksi di dalam kubus dan si anak yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar menitari kubus dan merapal dialognya di depan tirai yang ada di depan kubus. Ah keren. Jadi terinspirasi menggelar teater sederhana bersama Ibunya maha dan si maha yang selalu malu-malu. Nantilah suatu waktu.



Acara pembukaan belum lagi selesai tapi saya dibantu maha segera memasukkan lapakan ke kardus dan segera ke ruang teater yang akhirnya bisa dipakai lagi. Dari dalam ruang itu sudah terdengar tabuhan drum bersama keriuhannya, Melismatis sudah mulai beraksi di panggung yang dulu sering anak-anak HI Unhas pergunakan untuk pementasan Golden Moment. Setelah membayar tiket masuk sebesar dua puluh ribu rupiah, kami segera masuk dan menemui ruang tetaer yang sudah lumayan berubah. Tak ada lagi kursi seperti dulu. Semua penonton duduk melantai yang membuat tempat khusus penonton menjadi lebih luas dan menampung lebih banyak penonton tentunya. Kami menempati tempat duduk bagian belakang bersama teman-teman lain karena dibagian depan sudah terisi.

Hingga nomor terakhir yang berjudul Semesta, saya tak tahu benar berapa lagu yang dibawakan Melismatis. Semalam band andalan saya ini benar-benar tampil “gila.” Saya tak terlalu mengerti soal teknik dan pernik-pernik lainnya, tapi saya merasa kalau melismatis benar-benar bertransformasi dalam banyak hal untuk album kedepan. Banyak warna-warna baru yang dimasukkan dalam karya-karya baru band ini. Yang paling terlihat tentu dengan munculnya Adam sebagai additional yang memainkan beberapa alat musik tradisional dan memunculkan efek etnik yang luar biasa. Menurut saya, Melismatis juga semakin maju mengelaborasi gagasan yang termuat dalam lirik-liriknya. Meski saya hanya menangkap beberapa tapi bahan-bahan itu sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk menagih agar album mereka segera dirilis dan segera bisa anda dapatkan di KBJ…hahahaha…


Oh iya, semalam itu selain menggembirakan juga melelahkan karena harus menemani Suar yang sangat eksploratif dan tak mau diam.



Liburan kami semalam berakhir di “naskuncot” alias Nasi Kuning Coto andalan kami di Hamsi. Mmh…benar-benar malam minggu yang tak biasa.

14 September 2014
Bapakmahasuar

Komentar

Postingan Populer