Cerita di Hari Kamis
Saat di Jogja dulu, saya punya
kertas catatan yang saya tempelkan di tembok disamping kursi mengetik saya. Catatan
itu selain berisi daftar tugas kuliah yang harus segera saya selesaikan beserta
beberapa slogan pendek untuk menyemangati diri agar cepat memberekan kuliah dan
segera pulang kampong, catatan itu juga berisi clue peristiwa atau tema tertentu yang harus saya tulis untuk blog
keluarga. Setiap selesai menuliskan cerita dari satu clue tertentu maka akan saya beri tanda centang dan sesaat setelah
centang terberi maka saya akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Bahagia karena
saya barusan saja menuliskan keabadian….hahaaha….
Catatan ini juga penting bagi
saya karena tak semua peristiwa bisa segera saya tuliskan ulang dan kemudian nangkring di blog. Dan tentu saya sangat
tak bisa mengandalkan ingatan yang selalu tak bisa diandalkan ini. Buktinya
beberapa waktu terakhir ini saya mengalami atau bertemu dengan beberapa clue menarik untuk dituliskan namun kemudian
mereka semua hanya jadi potongan-potongan klip yang berseliweran didepan mata
saat saya mengendarai motor dan akhirnya hilang. Dan semuanya tak tertuliskan. Betapa
sedihnya saya karena membiarkan semua keabadian itu pupus sirna dan hilang.
Pagi ini setelah membaca
sebuah tulisan di blog seseorang yang ikut menjadi saksi hidup pertunjukan
FSTVLST di ThursdayNoice Vol. 5 yang digelar di Ecobar Kemang, Jakarta dua malam
lalu, saya lalu teringat pagi-pagi yang indah di Jogja sesaat setelah
mengabadikan tulisan tentang pengalaman mendatangi gigs malam sebelumnya. Aduh
pagi seperti ini selalu sangat membahagiakan dan jadi energi positif. Dan pagi
ini saya coba membangkitkan energy positif ini dengan menceritakan pengalaman
saya dua hari yang lalu. Semoga saja energy positif ini bisa ngefek untuk
kerjaan yang sedang numpuk. Seperti biasa semua ini tentang
kebahagiaan-kebahagiaan yang sederhana yang berseliweran manis dihadapanku.
Sepertinya ini agak panjang
tapi mari kita mulai…
Rabu pagi lalu, saat saya
hendak menuju kampus, tiba-tiba ada panggilan masuk di ponsel Ibunya maha. Di
layar ponsel tertera nama Rio, sahabat kami berdua yang belakangan ini begitu
sibuk berkeliling Indonesia Timur. Saya mengangkatnya dan singkat cerita ia
menawari saya kerjaan. Jadi Rio punya teman dari Jakarta yang sedang
memverifikasi pelaksanaan program bantuan pemerintah. Tugasnya sederhana. Saya
diminta memverifikasi apa masyarakat yang menerima bantuan pemerintah melalui
berbagai program seperti BLT masih memegang sebuah kartu yang berwarna kuning yang
diberi nama Kartu Perlindungan Sosial. Seperti biasa saya tak mungkin menolak
apalagi ada iming-iming rupiah disana…hehehe.
Saya hanya diwajibkan
memverifikasi sepuluh pemegang kartu kuning. Dan setiap kelurahan hanya boleh
memverifikasi sepuluh pemegang kartu. Jadi kira-kira saya harus memverifikasi
pemegang kartu di tiga kelurahan yang berbeda. Di hari rabu saya berhasil
mengumpulkan data tentang pemegang kartu sepuluh keluarga di teritori Kelurahan
Tamalanrea Indah. Dan survey saya lanjutkan di hari berikutnya. Dan dimulailah
rentetan cerita-cerita seru di hari kamis.
Hari kamis kemarin saya punya
agenda yang cukup padat. Untuk semester ini saya mengajar dua mata kuliah di
hari ini. Jam delapan pagi dan jam setengah empat sore. Dan disela-sela jam itu
lah saya bisa melanjutkan survey. Saya masih butuh data dari lima belas kepala
keluarga pemegang kartu.
Pagi-pagi saya sudah berangkat
menuju kampus setelah mengantarkan maha ke sekolahnya. Keringat membasuhi tubuh
saat sampai di kampus karena barusan saja bertemu kemacetan rutin yang maha epic
setiap pagi di bilangan adipura. Setelah durasi kuliah dua jam terpenuhi, saya
segera balik ke ruamh mengambil kuesioner dan berangkat menuju tempat survey.
Kali ini saya memilih wilayah Kelurahan Tamalanrea Jaya. Kelurahan ini meliputi
area perumahan dosen Unhas dan sekitarnya. Saya tak mesti repot memilih
keluarga pemegang kartu karena saya sudah dibekali puluhan nama untuk tiap
kelurahan. Untuk Kelurahan Tamalanrea Jaya ini, saya memilih area survey di
sekitaran Perintis Kemerdekaan VI karena disitu terdapat sembilan kepala
keluarga pemegang kartu kuning. Artinya saya hanya fokus di satu tempat saja
untuk kelurahan ini.
Satu jam sebelum azan zuhur saya
sudah berada di bilangan Perintis Kemerdekaan 6. Setelah bertanya sana sini
dengan menunjukkan daftar nama keluarga yang tertera di daftar pemegang kartu
kuning akhirnya saya bertemu juga dengan lokasi survey saya. Semua kepala
keluarga yang tertera di daftar yang saya pegang tinggal tak jauh antara yang
satu dengan lainnya. Saya masuk dari lorong 1 PK VI. Lorong ber pavin block itu
hanya cukup untuk satu motor saja. Sejak masih berada di bibir lorong, saya
sudah merasakan kemiskinan khas urban. Dan saya sudah bersiap untuk banyak
kejutan di lorong yang agak sepertinya agak panjang kedalam.
Saya akhirnya berhasil bertemu
dengan keluarga pertama yang akan saya survey setelah bertanya pada dua orang
perempuan muda yang sedang merapikan barang-barang hasil memulung. Salah satu
diantara dua perempuan itu lah yang mengatar saya hingga ke depan pintu rumah
yang akan pertama saya survey. Mendapatkan perlakuan ramah sejak awal lalu
membuatku menghilangkan pikiran macam-macam tentang daerah lumpen itu.
Di rumah kedua yang saya
survey saya bertemu cerita lain. Beberapa ibu-ibu sedang asyik bercerita
dibawah rumah panggung yang tak terlalu tinggi dan sangat sederhana. Oh iya, ke
rumah ini saya masih diantar perempuan muda yang sepertinya pemulung tadi. Saya
menyebut beberapa nama dan salah satunya ternyata adalah kepala keluarga
pemilik rumah panggung itu dan salah satu dari ibu yang sedang asik bercerita
adalah istri dari pemilik rumah. Saya lalu mulai bertanya apa si ibu masih
punya kartu kuning sambil menunjukkan gambar kartu yang saya maksud. Si ibu
hanya tersenyum dan berujar kalau ia tak dapat melihat. Dan si nenek yang
berada di depan saya lalu mengulangi kalau si ibu tak dapat melihat. Dan si
nenek ini pula dibantu beberapa ibu yang menjelaskan perihal kartu yang saya
maksud dan si ibu lalu meminta anaknya memanggil sang suami yang katanya
memegang kartu itu.
Di keluarga ini saya baru
ingat kalau tempat survey saya ini adalah area beberapa keluarga penderita
kusta. Salah satu ibu pemegang kartu yang tiba-tiba datang menghampiri saya
dengan suara agak keras menanyakan apa namanya tertera di daftar saya
sepertinya adalah salah satu dari beberapa penderita kusta yang menghuni area
tersebut. Sayang namanya tak ada di daftar saya meski saya sudah berkali-kali
menyebut ulang nama-nama yang tertera. Bersama beberapa ibu lainnya, si ibu
yang terlihat memakai kaki palsu itu terlihat agak kecewa meski saya
berkali-kali menjelaskan kalau survey ini hanya mengambil sampel di beberapa
kelurahan untuk memastikan para penerima bantuan masih memegang kartu kuning yang
diberikan ke setiap penerima bantuan sosial. Mayoritas dari mereka mengira
kalau namanya tak tertera berarti tak akan menerima bantuan berikutnya. Meski
data sudah saya dapatkan tapi saya tak segera beranjak sampai saya berhasil
membuat para ibu itu mengerti maksud survey saya.
Setelah selesai menjelaskan, saya
kemudian menanyakan domisili salah satu nama yang tertera paling atas di daftar
saya untuk area PK 6. Salah satu ibu lalu menunjuk pohon mangga yang agak
tinggi yang terlihat dari rumah tempat ibu-ibu itu berkumpul. Saya lalu menuju
kesana. Rumah itu berada diujung kelokan terakhir lorong itu. Sebelum sampai ke
rumah yang saya tuju, untuk kembali memastikan saya kembali bertanya ke
beberapa bapak yang sedang duduk asik dibawah rumah panggung sederhana yang
berhadapan langsung dengan beberapa kuburan yang sangat tak terurus serta kumuh
dan ditemani arak lokal. Karena sampai titik ini saya terus mendapatkan
perlakuan ramah di lorong itu, sama sekali tak ada rasa takut untuk hanya
sekedar bertanya. Si bapak yang matanya merah yang saya tanyai lalu menunjuk
rumah pemilik kartu yang saya tanyakan.
Rumah si bapak yang
ditunjukkan oleh bapak bermata merah itu terletak di ujung lorong buntu. Di depan
rumah terdapat pohon mangga yang sangat tinggi dan mungkin tak lagi berbuah. Dibawah
pohon itu terdapat gardu kecil. Saya mendekat dan meyakinkan diri kalau
semuanya akan baik-baik saja meski di kepala berseliweran pikiran macam-macam. Masalahnya
kalau terjadi apa-apa saya sepertinya tak bisa lari kemana-mana.
Di gardu yang saya maksud tadi
terdapat dua laki-laki berperawakan besar dan salah satu dari keduanya tak
mengenakan baju untuk menutupi tubuhnya yang beberapa bagiannya dipenuhi tattoo.
Saya melewati si bapak yang sedang memandikan ayamnya dan mendekati si lelaki
bertatto dan menanyakan apa benar bapak yang saya cari benar tinggal disitu. Si
bapak yang sedang memandikan ayam yang mendengar pertanyaan saya lalu menjawab
kalau ia lah pemilik nama yang saya sebut. Ia lalu bertanya maksud kedatangan
saya dengan dialek khas Makassar kental.
Si bapak yang memandikan ayam
dan lelaki bertatto ternyata bersaudara dan kedua-duanya tertera di daftar nama
pemegang kartu. Si lelaki bertatto segera mengambil kartu kuning nya ketika
saya meminta ia untuk menunjukkannya. Kartu yang sudah patah terbelah dua itu
sudah hampir ia buang kata si lelaki bertatto itu. Sementara si bapak yang
memandikan ayam yang ternyata adalah saudara si tattoo tak mampu menunjukkan
kartunya sampai saya beranjak dari tempat itu. Katanya kartunya dipegang si
istri yang saat itu sedang keluar. Setelah data mereka berdua sudah saya
verifikasi saya lalu beranjak setelah sempat memperhatikan beberapa laki-laki
di depan rumah yang sedang mengelilingi sebuah kain yang bebentuk kotak dengan
tinggi kira-kira 40 cm dan didalamnya dua ayam jago sedang mempertaruhkan
nasibnya….hahahaha….
Hingga azan zuhur berlalu
beberapa saat, akhirnya saya berhasil menyelesaikan survey di area itu komplit
dengan segala keramahan yang saya temui. Keramahan yang tanpa basa-basi seperti
yang banyak ditunjukkan di ruang yang justru mentereng di kota ini. Semua
kepala keluarga pemegang kartu dapat saya temukan kecuali satu keluarga yang
ternyata sudah pindah. Saya lalu keluar dari lorong setelah berterima kasih
pada dua perempuan muda di depan lorong tadi karena telah membuat semua ini
menjadi lebih mudah sejak awal.
Keluar dari lorong itu saya merasa
seperti barusan keluar dari ruang dan dimensi waktu yang lain. Ruang dan
dimensi yang membuat saya menambah daftar bukti tentang ketimpangan yang nyata.
Ruang yang membuat saya kembali meragukan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang
sering kita bangga-banggakan itu. Ah sayang saya tak mengabadikan satupun gambar
pengalaman keren di lorong itu.
Saya segera berlalu dan
ditelinga saya terngiang bait indah menohok ini…..bring down the government,
they don’t speak for us…..
To be continued….
27 September 2014
RIP Indonesian Democracy :(
27 September 2014
RIP Indonesian Democracy :(
Komentar
Posting Komentar