Maha Belajar
Tentang
pencapaian maha secara akademik, bisa dibilang saya sangat santai
menghadapinya. Namun tidak hingga awal
tahun ketiganya, aku lumayan memporsir maha untuk tahu banyak hal. Mengenal
huruf, mengenal angka, membaca, bahkan kulakukan dengan banyak metode. Mulai dari
bermain sampai metode klasik yang kadang buat saya naik pitam. Menurutku,
tahun-tahun itu adalah kekhilafan luar biasa bahkan fatal untuk perkembangan
anakku. Bisa-bisanya aku lupa akan satu celah yang paling penting dalam perkembangan
anak, bahwa apapun yang mereka serap, tidak boleh ada paksaan di dalamnya. Dan
parahnya, aku mengatur jadwal maha dengan ketat.
Untunglah, kekhilafan
itu cepat-cepat kusadari. Aku tidak lagi memaksakannya belajar apalagi secara
langsung menghadapi buku. Satu-satunya saat ia bercengkrama dengan kertas dan pensil
adalah saat ia melejitkan imajinasinya dalam gambar-gambar. Tidak lagi ada
waktu-waktu yang berat untuk mempelajari huruf dan math. Apalagi maha memang
sangat minim minat untuk mengetahuinya. Tapi betul saja, seiring perkembangannya
hingga hari ini maha sudah bisa menulis, bisa mengeja, bisa menjumlah dan
mengurang bilangan sederhana. Maha sependalamanku akannya, lebih cenderung
dengan aktivitas menggambar, bernyanyi, menari, dan bercerita. Nah, aktivitas
ini sering kujadikan sebagai media untuknya belajar.
Tapi selalu
adalah pengecualian untuk beberapa hal. Dulu, saat berjanji pada maha bahwa ibu
tidak akan lagi memaksa maha untuk belajar, Maha harus belajar mengaji. Dan ia sepakat.
Jadwal mengaji
tidak kutetapkan. Kapanpun maha siap, mengaji dilakukan. Kami memakai metode
iqra’ yang menurutku cukup mudah. Dan betul saja, maha melahap iqra 1 dan 2 hampir
tanpa ada masalah. Namun, tetap saja saya masih sering saja jengkel saat maha
ogah-ogahan. Maha mengalami masalah yang
cukup berat dengan cara memanjangkan bacaan dan memendekkannya. Nah, masalah
itu berlarut hingga kini. Dan saya belum menemukan metode tepat untuk itu. Namun,
ada satu hal yang pasti, maha akan lancar proses mengajinya jika ia dalam
kondisi mood yang baik, dalam keadaan gembira dan melakukannya atas ingin
sendiri. Akan berbalik cerita, jika aku yang menagih komitmen dan
konsistensinya. Ia akan menyampaikan penolakannya dengan bersikap ogah-ogahan,
muka BT, pura-pura lupa huruf, sampai menangis. Namun, untuk mengaji, sudah kukatakan
padanya “perjalanan kita akan berdarah-darah nak, tapi tidak akan berhenti
sampai kau khatam” kataku tegas.
Beberapa malam
lalu, kutagih janjinya untuk mengaji malam sebelum tidur karena dia sangat ingin
menghabiskan tontonannya. Demi tidak menjalani “drama” malam itu, saya setuju
saja. Tapi mungkin karena sudah mengantuk, ia mulai menunjukkan rasa tidak
nyamannya. Aku yang juga dalam kondisi cape’ dan mengantuk mulai menunjukkan
reaksi berlebihan. Suaraku mulai meninggi dan akan diikuti reaksi perlawanannya.
Dan “drama” akhirnya dimulai berakhir dalam waktu yang sebenarnya tidak pernah
terlalu lama. 10-15 menit.
Maha bukan
tipe anak yang mudah mencairkan kemarahannya. Kadang amarahnya tersimpan lama
apalagi jika ia merasa tidak mendapatkan perhatian.
“saya marah
sama ibu” katanya saat kuajak bicara dan menyuruhnya tidur. Aku diam dan
memilih untuk tidak memperpanjang masalah.
“ibu tidak
cinta sama saya” lanjutnya
“siapa bilang?”
tanyaku datar
“karena ibu
marah-marah waktu saya mengaji”
“itu karena
maha tidak mengaji dengan benar” kataku mulai tersinggung
“ibu tidak
dengar kah Tulus bilang apa? Bilang “kau tak pernah marah jika ku salah”. Berarti
ibu tidak cinta, karena ibu marah” katanya serius
Aku tertawa
kecil sambil mengiangkan lagu tulus
dengan tajuk “jangan cintai aku apa adanya”. Yah..dalam lagu itu Tulus berkisah
tentang hubungannya dengan kekasihnya yang datar-datar saja,
“kau trima
semua kurangku, kau tak pernah marah bila ku salah, kau selalu memuji apapun
hasil tanganku yang tidak jarang payah..jangan cintai aku apa adanya..jangan…………”
“maha tidak
dengar lagunya secara keseluruhan, itu lagu diakhirnya, Tulus bilang “jangan”. Bukan
cinta namanya nak..kalo salah terus dibiarkan. Begitu” kataku tersenyum-senyum
padanya yang masih manyun. Ia kelihatan berpikir keras
“Ah tidak
percaya sama penjelasannya ibu, nanti saya mau tanya bapak bebi” katanya dengan
mimik yang mulai mereda dari marah. Namun, kutahu ia sedang berpikir mencerna
lagu Tulus. Maha memang sudah akrab dengan semua tembang dalam album kedua
Tulus yang kami putar hampir setiap hari di rumah. Tapi tidak sampai berpikir
kalau ia bisa menerjemahnya dengan cepat walau masih dengan interpretasi yang
terbata-bata.
Malam itu, aku
senang. Bukan hanya karena maha kuajarkan untuk setia pada komitmen belajar
mengaji kami, tapi aku lebih senang karena ia belajar banyak hal dari apa yang
kami lakukan setiap harinya. Dan saya percaya setiap anak melakukan itu setiap
waktu, mereka belajar. so…jangan terlalu kawatir.
10 September 2014
Ibu MahaSuar
Komentar
Posting Komentar