Fami Mengajakmu Bertamasya

Menjadi bagian dari karya ben atau musisi yang karya-karyanya kita sukai tentu sangat berarti. Karena alasan itulah mengapa saya mengajukan diri ketika beberapa bulan lalu mas Taufiq Rahman dari Elevation Records bertanya soal siapa yang kira-kira bisa menulis liner notes untuk album International Bitter Day nya Fami Redwan. Saya belum pernah sekalipun menulis liner notes atau yang serupa tapi saat saya berpikir ini kesempatan untuk menjadi bagian dari karya pentolan The Hotdogs. Maka jadilah liner notes untuk rilisan versi CD The International Bitter Day ini.
.....
Beberapa tahun silam, tak begitu lama setelah Sang Despotik turun tahta, seorang kawan memperkenalkan saya dengan satu lagu yang hingga kini hanya kuhafal lirik bagian reff nya saja, itupun hanya sepenggal. Sepenggal lirik yang memang tak semasyhur agitasi “Hanya Ada Satu Kata, Lawan!” milik Wiji Thukul tapi begitu melekat di kepala saya hingga sekarang, “Angkat Kaki Dari Rumah, Kini Saatnya Pergi,” begitu bunyi penggalan lirik di lagu yang berjudul Angkat Kaki itu. Penggalan lirik ini dengan telanjang menyuarakan kerisauan, amarah sekaligus sikap kritis terhadap segala bentuk kemapanan. Lagu ini merupakan salah satu diantara beberapa karya masterpiece band Punk “tua” Makassar, The Hotdogs.

Menyebut The Hotdogs tentu tak mungkin jika tak menyebut sang vokalis, Fami Redwan. Bersama The Hotdogs, Fami berhasil meramu kemarahan serta keresahan khas anak muda karena berbagai problematika harian lalu menuturkannya dengan pilihan diksi yang terbaik dan semuanya mewujud dalam berbagai karya terbaik mereka. Dalam berbagai karyanya, bersama The Hotdogs, Fami seringkali juga menawarkan jalan keluar berupa “serangan langsung dan telak” terhadap setiap sumber masalah. Dalam salah satu karyanya,  Fami berteriak lantang kepada siapa saja agak tak mudah percaya dengan siapa pun, sekali lagi siapapun. “Berhentilah kau berdoa, yang kau harapkan telah lama mati”, begitu Fami berteriak marah karena begitu banyak orang yang kita percaya, termasuk sahabat terdekat, dengan mudah berubah menjadi “sampah” dan tak bisa lagi dipercaya hanya karena pragmatisme. Singkatnya, Fami bersama The Hotdogs adalah amunisi dengan daya ledak tinggi.

Lama berselang setelah pertama kali saya menikmati ajakan-ajakan subversif Fami bersama The Hotdogs, beberapa bulan lalu saya kembali bertemu dengan Fami di sebuah gig sederhana di Makassar. Tak ada peluh dan kepulan asap yang memenuhi venue, tak terlihat anak muda paruh baya yang berebutan berusaha keras mengambil alih posisi vokalis, tak ada moshing dan yang paling menarik perhatian saya karena disana tak ada The Hotdogs. Fami tampil dibantu oleh seorang kawannya menampilkan beberapa karya musik bergenre dub yang didominasi oleh bebunyian remix instrumental.
Mendengar sepintas karya Fami dalam “mainan” barunya ini, termasuk karya-karya dalam album yang yang sedang di tangan anda sekarang, seolah kita kehilangan Fami yang “revolusioner.” Betapa tidak, dalam karya-karya anyar nya ini, Fami tak lagi dengan lugas berujar lantang tentang apa saja yang membuat kita resah dan marah. Fami justru seolah “bermain aman” dengan mengajak siapa pun untuk pergi ke tempat anatah berantah untuk menghindari kegetiran hidup meski taburan spekta ada dimana-mana.  Sederhananya, tak ada lagi Fami yang marah dan siap dengan picu ledak di tangan.

Tapi tunggu dulu, mari memperhatikan dengan seksama setiap inci dari gagasan yang ditawarkan dalam keseluruhan karyanya. Jangan terlalu gegabah memberi tafsir apapun sebelum kalian menyimak hingga not akhir benar-benar berakhir. Bagi saya, karya Fami kali ini justru sedang mengajak kita “berkaca” dan bertanya kepada diri kita sendiri bahwa benarkah semua selebrasi super megah yang dipenuhi taburan angka-angka selalu membuat kita tersenyum dan berbahagia karenanya. Mengapa sesekali tak memilih untuk menepi dan menemui warna lain dan kemudian menyiapkan selebrasi sederhana atas jabat erat tanpa basa-basi, atas peluk cium tanpa asa demi kasta. Dan akhirnya, kita dengan berani menunjukkan model pilihan hidup ditengah kegetiran dan kepahitan hidup.

Ah, ribet. Sederhananya, saya tiba-tiba teringat salah satu judul puisi Wiji Thukul “Sajak Ini Mengajakmu Tamasya.” Yah, Fami kali ini ingin mengajak kita bertamasya dan rehat sejenak untuk kemudian bersiap menyalakan sumbu-sumbu itu. Maka, nikmatilah!

Komentar

Postingan Populer