surat untuk Chavez
Surat berikut saya buat sekitar akhir tahun 2006, heran biasanya
setiap tulisan kububuhkan jelas tanggal, bulan dan tahun pembuatannya.
Betul, ini adalah surat yang ingin kukirimkan pada Chavez, seseorang
yang sangat menginspirasiku dan menjadi akrab denganku sejak tahun 2005.
Surat ini, kubuat sebelum ke Jakarta yang saat itu akan melakukan
penelitianku tentangnya di Kedutaan Besar Venezuela di Jakarta. Aku
tidak main-main, surat ini betul-betul kutulis agar dia membacanya.
Bersama dengan berkas-berkas penelitian, aku membawa surat ini ke
kantor Kedutaan Venezuela, setelah melalui lalu lintas yang cukup gila
di kota besar itu, menunggu sekitar 20 menit, dan sesi wawancara singkat
dengan staf kantor tersebut, beruntunglah Duta Besar Venezuela dan
seorang wanita cantik berambut panjang ikal, yang merupakan
translatornya menemuiku. Aku bercerita dengan bangga tentang usahaku
untuk menulis tentang Chavez dan Revolusi Bolivariannya, tidak kusangka
ia begitu antusias mendengarku dan menjawab semua pertanyaanku tentang
Venezuela, tentang capaian-capaian Revolusi mereka dan tentang Chavez.
Ia bahkan begitu gembira, karena saya mengabarkan tentang mereka dalam
skripsi. Ia memberiku banyak buku tentang Hugo Chavez, tentang
Venezuela, bahkan ia memberiku kitab konstitusi mereka “Constitucion de
la Republica Bolivariana de Venezuela, yang sayangnya belum diterbitkan
dalam Bahasa Inggris.
“Buku ini adalah buku pegangan setiap rakyat Venezuela, mereka
memegangnya setiap hari dan mempelajarinya,” katanya. Saya percaya,
karena sejak memutuskan mengangkat Revolusi Bolivarian Chavez untuk
tugas akhir saya, ini adalah hal pertama yang saya kagumi. Setiap orang
diberi pendidikan dan pemahaman tentang konstitusi. Setelah berbicara
panjang lebar dan memuasakan hausku tentang Venezuela, aku berniat
memberikan surat ini pada Tuan Ambassador tersebut. Tapi tiba-tiba, “Can you help me to translate your thesis to English and send it for me. I will give it to Chavez,” katanya.
Saya mengangguk pasti dan mengurungkan niatku untuk memberinya surat
itu. Aku langsung berpikir akan menyertakannya bersama dengan skripsiku
nanti. Tapi, entah apa setelah skrispsiku kelar, aku mulai bekerja,
berkeluarga dan sekarang punya anak dan menjadi ibu rumah tangga,
skripsi itu tidak pernah sempat kutranslate, kukirimkan, atau kuberikan
pada Chavez untuk dibaca. Begitupun surat ini. Aku bahkan lupa, pernah
menulis surat untuk Chavez, jika suamiku tidak mengingatkanku sesaat
sebelum ia ke kampus siang tadi. Bukan berarti, aku tidak bertanggung
jawab atas apa yang telah kutulis, aku mengikuti Chavez dan Venezuela
kemanapun mereka bergerak. Walau tidak setiap hari, aku tahu aku telah
menulis tentang Chavez dengan benar. Aku tidak peduli saat orang berkata
bahwa Venezuela adalah korban chauvinisme Chavez, dia serupa Castro
yang lahir sebagai diktator baru di Amerika Latin sana. Tidak, aku
selalu percaya pada semua kebijakannya.
Dan dua hari yang lalu, pagi seperti biasa suamiku membuka dunia
lewat jemarinya, mendapati berita duka “Comrade Chavez meninggal”.
Kupanjatkan doa sejenak dan bersama suamiku membaca beberapa ulasan
tentang kematiannya di usia yang terbilang muda. 58 tahun. Dunia
kehilangan satu sosok pejuang kebebasan. Tapi, menurutku, ia telah
menyelesaikan pekerjaannya. Ia pergi dengan menyisakan dan melahirkan
dirinya kembali, dalam berbagai bentuk yang berbeda tapi tetap sama
mengatasnamakan diri mereka “perlawanan” bukan hanya di Venezuela, tapi
di seluruh penjuru dunia, mereka berteriak “I am Chavez”.
Berikut suratku untuk Commandante Hugo Chavez Friaz:
Buat Companero Chavez…
Viva la revolucion…..
Sebelumnya, ijinkan aku mengucapkan selamat atas kemenangan anda
untuk lagi memimpin Venezuela bersama rakyat memerangi imprealisme
Amerika. Kemenangan yang bukan hanya milikmu, tapi juga kemenangan
Venezuela dan kemenangan seluruh rakyat dunia yang telah kenyang dengan
penderitaan.
Companero,
Ijinkan aku memperkenalkan diri. Nama saya HARNITA RAHMAN. Saya
seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar, salah satu
universitas ternama di Indonesia. Aku mengenalmu kira-kira sekitar
beberapa tahun yang lalu. Saat aku dan beberapa kawan-kawan yang sering
ku ajak berdiskusi sepakat mengadakan Festival Anti Globalisasi. Sebuah
bentuk perlawanan terhadap mainstream ekonomi global hari ini, yang
sangat akrab di telinga kita, sebagai sesuatu yang memang harus terjadi,
globalisasi.
Sebenarnya, aku telah membaca tentang anda. Kertertarikanku pada gaya
kepimimpinan anda semakin besar saat kulihat anda di salah satu film
documenter yang menceritakan tentang proses kudeta yang dibawahi oleh
Pedro Carmona yang disinyalir adalah kaki tangan Amerika. Film
documenter yang membuka mata kita betapa besarnya hegemoni media dalam
pembentukan opini msyarakt internasional terhadap ide-ide yang dianggap
menentang Amerika. “Revolution Will Not Be Televised”.
Bulu kudukku merinding saat rakyat anda turun ke jalan dan mengepung
istana Negara dan menuntut agar presidennya dikembalikan. Aku tak henti
berdecak kagum saat kulihat betapa kerennya rakyat anda yang bisa
berkata “ini masalah konstitusi”. Tiba-tiba aku melihat proses yang
begitu panjang untuk sampai pada titik itu. Aku ingin menangis karena
tak kutemukan itu di sini. Di tanah yang melahirkanku, Indonesia.
Companero,
Aku yakin anda sudah mendengar bagaimana Indonesia sekarang. Kami
tidak berjalan dan mengambil langkah berrbeda seperti yang kau lakukan.
Pemimpin kami tak mungkin berteriak “ganyang Amerika” karena ia memilih
tunduk dan patuh pada neoliberalisme. Aku tak usah mengumumkan bagaimana
tingginya angka korupsi, angka pengangguran, angka kemiskinan,
anak-anak terlantar, gelandangan, dan semuanya yang seharusnya diurusi
oleh Negara. Padahal kami tak kurang orang-orang pintar. Tapi jujur,
pemerintah kami tak pernah berani untuk berkata “TIDAK”.
Reformasi yang dipilih tahun 1998 yang lalu dan menggulingkan
kediktatoran Suharto ternyata bukan kata yang tepat untuk Indonesia.
Heran, kenapa mahasiswa, intelektual, kaum muda dan rakyat saat itu
memilih kata reformasi bukan revolusi. Yang terjadi akhirnya, tatanan
lama tetap dipercaya untuk membangun Indonesia baru. Dan kami, terjatuh
lagi dan lagi di lubang yang sama. Walau lubang itu sedikit dipercantik.
Sebagian kami menjadi manusia ahistoris, amnesia terhadap perjuangan
Sukarno, Tan Malaka, Hatta, pahlawan Indonesia yang berani menentukan
dan mendefinisikan Indonesia tanpa tangan-tangan Amerika.
Dan sekarang, apa yang terjadi? Di pasaran, produk-produk Amerika,
Cina, Jepang, Eropa bertebaran di mana-mana. Dengan dalih persaingan
mereka secara terang-terangan menyingkirkan pengusaha-pengusaha lokal.
Hampir setip hari berita penggusuran terlihat dan terdengar di
mana-mana. Angka kemiskinan semakin tinggi. Biaya hidup semakin mahal,
pemotongan subsidi untuk hal-hal yang vital dilakukan dengan alasan
mengurangi belanja Negara untuk pembayaran utang. Pedagang kaki lima
disingkirkan dengan alasan keindahan dan ketertiban, lalu mereka
dibiarkan hidup tunggang langgang tanpa rumah. Pusat-pusat perbelanjaan
menjamur di mana-mana. Semua harus dibeli, bahkan bermimpi menjadi
sulit.
Companero,
Bertandanglah sesekali ke Indonesia. Ajak presiden kami berfikir.
Presiden yang merelakan mengeluarkan anggaran Negara sebesar 6 milyar
untuk kedatangan seorang BUSH, Presiden yang membiarkan masalah demi
masalah menumpuk dan merugikan kami rakyatnya yang notabene masih banyak
yang miskin. Ajak ia berdiskusi, berikan ia pemahaman tentang bagaimana
pemimpin itu. Sampai hari ini ia tidak memimpin kami, ia hanya
bertindak seperti seorang manajer dalam usaha dagang yang berpikir
untung dan rugi. Beritahu ia apa itu Negara, tekankan padanya bahwa
negara punya fungsi perlindungan. Bukan melindungi modal tapi melindungi
rakyatnya. Ceritakan padanya tentang rakyatmu.
Tuan Chavez,
Aku yakin kamu sepakat, jika kukatakan bahwa pendidikan adalah yang
terpenting untuk membangun perubahan. Dan kenapa kami, rakyat Indonesia,
masih tetap dalam kebingungan? karena hari ini pendidikanpun sudah
termiliki oleh borjuasi. Semakin hari, biaya pendidikan semakin mahal.
Universitas-universitas negeri sebentar lagi akan dikomersialkan dengan
alasan penambahan mutu pendidikan. Sudah tak terhitung berapa anak yang
memilih putus sekolah karena biaya sekolah yang amat tinggi, bahkan
beberapa dari mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena tak
mampu bayar sekolah. Tidakkah itu lucu, companero?
Era reformasi yang katanya meniupkan angin kebebasan, malah menambah
represitas terhadap dunia pendidikan. Kampus-kampus digiring untuk tidak
melakukan aktivitas-aktivitas yang dianggap mengganggu stabilitas
kampus. Misalnya diskusi. Mahasiswa digiring untuk memikirkan bagaimana
cepat menyelesaikan kuliah dan bekerja, dapat uang lalu hidup tenang dan
nyaman. Mahasiswa tidak dibiarkan untuk mengajukan protes karena akan
diancam dengan skors atau Drop Out. Hasilnya?
Anda tahu, Tuan Chavez?
Ini membuatku malu….
Mahasiswa-mahasiswa lebih memilih untuk memikirkan pakaian apa yang
harus ia pakai besok dari pada memikirkan bagaimana mengatasi
kemiskinan. Mahasiswa-mahasiswa memilih menghabiskan waktunya di
pusat-pusat perbelanjaan dari pada duduk dan berdiskusi tentang masalah
bangsa kami.
Mereka telah berhasil, mereka berhasil meracuni kami. Karena media
yang kami harap bisa membangun opini untuk selanjutnya menggerakkan
massa rakyat, hari ini pun telah mengalihkan dirinya untuk mengabdi pada
kepentingan modal. Ia pun merasuki pikiran adik-adik kecil kami untuk
berpikir kerdil dan seragam.
Tuan presiden
Akhirnya, aku memilih untuk mengutarakan ini pada anda. Kuharap anda
berkenan membacanya di waktu-waktu senggang anda. Ini menyakitkan karena
generasi kami banyak yang tidak percaya, bahwa dunia yang lain itu
mungkin kita bangun. Dan yang bisa kulakukan sampai hari ini adalah
membuktikan kalau ada dunia yang lain yang lebih manusiawi. Kuputuskan
untuk menulismu dalam tugas akhirku di universitas. Menceritakan pada
banyak orang tentang kebijakan-kebijakan dalam Revolusi Bolivarianmu.
Aku tahu, ini adalah perlawanan yang paling minimal yang mampu
kulakukan.
Companero, terima kasih telah ada. Telah melahirkan rakyat
Venezuela yang kelak bisa kuceritakan pada anak-anakku. Terima kasih
karena telah menginspirasiku banyak hal. Terima kasih karena dalam
setiap pembicaraanku kepemimpinanmu membuatku lantang dengan bangga
menyatakan bahwa ini betul-betul terjadi. Bukan mimpi….
Terakhir…, aku sangat ingin menjumpaimu. Menjabat erat tanganmu dan berkata
“YA BASTA…”
…………
RIP Chavez!
Yo Soy Chavez, Tu Eres Chavez, Todos Somos Chavez (Saya Chavez, Anda Chavez, Kami Semua Chavez)
ibunita
Komentar
Posting Komentar