laki-laki & perempuan #mahamelihat

Pagi tadi, setelah menenggak habis susunya, maha yang baterainya mulai terisi, tersenyum-senyum sembari melihatku membersihkan rumah. Kenapa? Tanyaku demi melihat ekspresi mukanya yang lucu seolah menertawai kecengengannya subuh tadi. Kuhentikan pekerjaanku dan mulai menghujaninya dengan ciuman.
“katanya kemarin maha lihat tante Wana merokok?”  tanyaku padanya setelah kudengar cerita ini dari bapaknya. Kemarin, seperti banyak hari-hari  yang kami lalui KBJ di sesaki orang. Kami kedatangan tamu dari benua lain si Keith, bule dari Amerika yang juga salah satu penggagas FNB, gerakan anti kekerasan yang percaya bahwa perang, kemiskinan dan kesengsaraan bisa diatasi dengan penyediaan pangan yang sehat dan gratis untuk semua kalangan. Maha menyebutnya Opa Santa, badan dan jenggotnya yang mirip penunggang rusa dari Kutub Utara itu, membuat maha senang melihatnya. Dan ia juga tidak keberatan disebut Santa oleh maha. Kedatangannya ditemani beberapa orang kawan dari komunitas FNB Makassar, salah satunya tante Wana ini, yang sejak pagi sibuk menemani maha memainkan peran-peran superheronya.
Kutanya seperti itu, maha membenarkan. “iya” katanya.
“terus maha tanya tante Wana, “kenapa perempuan merokok?” katanya dengan semangat. Aku tersenyum dan bertanya lagi
“terus tante Wana bilang apa?” tanyaku
“tente wana bilang, dia bukan perempuan tapi laki-laki.” Persis seperti yang diceritakan bapaknya padaku. Maha menampakkan wajah bingung.
“tapi, tante wana perempuan to ibu? Karena tante bukan om?” tanyanya padaku. Aku menjawab iya.  Tante wana perempuan. Seolah sibuk menyambungkan kebingungannya. Aku mencoba menjelaskan padanya
“maha.. merokok itu pilihannya orang, mau laki-laki atau perempuan, semua orang bisa merokok, tergantung dia mau atau tidak.”
“jadi perempuan bisa merokok ibu?” tanyanya cepat. Aku mengangguk pasti.
“jadi ibu bisa merokok?” tanyanya lagi.
“bisa..tapi ibu tidak mau.”
“kenapa?”
“karena rokok tidak bagus untuk ibu.” Kataku. Entah paham atau tidak, dia mengangguk. Kami lalu bernyanyi sebuah lagu milik Coboy Junior yang kebetulan ia tidak begitu hapal liriknya.
“ah ibu,,itu lagu laki-laki. Ibu nyanyikan lagu perempuan saja.” Katanya. Aku tertawa. Kembali ke soal pertama. Aku melanjutkan percakapan yang sering kuulangi pasal laki-laki dan perempuan pada maha.
“ kenapakah kalau ibu menyanyi lagu laki-laki? Tidak apa-apa nak. Bukan tentang laki-laki atau perempuan ini maha, tapi bisa ataau tidak maaha melakukannya. Kalau laki-laki bisa main sepak bola, permpuan juga bisa, kalau laki-laki bisa main basket, perempuan juga bisa, kalau laki-laki bisa memanjat, perempuan juga bisa. Kalau laki-laki menyanyi, perempuan juga bisa. Lagunya tergantung  yang diinginkaan nak.” Kataku panjang. Ia tersenyum. Mungkin menyadari bahwa percakapaan seperti ini memang sering kami ulangi.
Pasal laki-laki dan perempuan ini, memang sering maha permasalahkan sejak kecil. Tepatnya sejak ia sering diberitahu “maha kan laki-laki, jangan kaya’ perempuan. Jangan cengeng, jangan suka nangis, masa’ suka warna pink, maha kan laki-laki.” Maha sering mendengar kalimat-kalimat itu sejak ia sudah mampu bicara dari orang-orang sekitarnya. Aku sering menegur jika kalimat-kalimat seperti itu massif diperdengarkan untuknya. Menurutku itu tidak bagus. Sebagai laki-laki, maha seolah dituntut untuk menjadi lebih superior dbanding perempuan, tidak boleh nangis, tidak boleh cengeng. Nah...hal itu kemudia serta merta akan membangun opininya bahwa semua hal-hal tersebut hanya dimiliki oleh seorang perempuan. Tidakkah itu lucu? Jadinya bahkan anak sekecil maha merasa tidak nyaman jika dibanding-bandingkan dengan perempuan. Dia tidak mau adiknya perempuan, karena menurutnya perempuan tidak bisa diajak main bola, atau main robot-robot bersamanya. Maha kadang protes kalau ade’ Aira punya peran sebagai superhero, menurutnya superhero itu hanya laki-laki. Sebenarnya lucu, jika melihat ekspresi maha saat mengungkapkan yang ia pikirkan tentang  hal ini. Tapi, itu tidak boleh dibiarkan, makanya aku dan komrad selalu berusaha untuk mengingatkannya saat ia mulai berulah perkara laki-laki dan perempuan.
Sejak awal, aku selalu mengingatkan pada orang-orang di sekitar maha untuk tidak menyinggung perkara bisa atau tidak bisa, itu berhubungan dengan dia laki-laki atau perempuan. Perkara mau atau tidak mau itu berhubungan dengan dia laki-laki atau perempuan. Toh..pilihan-pilihan tersebut berdasarkan dengan mampu atau tidaknya dia, bisa atau tidaknya dia. Walau terus berada di samping maha, toh wacana-wacana yang secara jelas mendikotomikan peran laki-laki dan perempuan ini, masih sering maha dengar. Bagaimana tidak? Kita hidup di lingkungan yang melihat layak atau tidaknya sesuatu  ditentukan dari salah satunya faktor gender. Nah...maha..! saya kira jelas bukan? Bagi ibu, maha bisa melakukan apa saja yang maha inginkan yang penting maha bertanggung jawab atas semua pilihan yang maha buat. Ok honey!
#menunggunanang

2 Maret 2013
ibunhytha

Komentar

Postingan Populer