Buat Companero Chavez…


Viva la revolution…..

Sebelumnya, ijinkan aku mengucapkan selamat atas kemenangan anda untuk lagi memimpin Venezuela bersama rakyat memerangi imprealisme Amerika. Kemenangan yang bukan hanya milikmu, tapi juga kemenangan Venezuela dan kemenangan seluruh rakyat dunia yang telah kenyang dengan penderitaan.
Companero….,
Ijinkan aku memperkenalkan diri. Nama saya HARNITA RAHMAN. Saya seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar, salah satu universitas ternama di Indonesia. Aku mengenalmu kira-kira sekitar beberapa tahun yang lalu. Saat aku dan beberapa kawan-kawan yang sering ku ajak berdiskusi sepakat mengadakan Festival Anti Globalisasi. Sebuah bentuk perlawanan terhadap mainstream ekonomi global hari ini, yang sangat akrab di telinga kita, sebagai sesuatu yang memang harus terjadi, globalisasi.
Sebenarnya, aku telah membaca tentang anda. Kertertarikanku pada gaya kepimimpinan anda semakin besar saat kulihat anda di salah satu film documenter yang menceritakan tentang proses kudeta yang dibawahi oleh Pedro Carmona yang disinyalir adalah kaki tangan Amerika. Film documenter yang membuka mata kita betapa besarnya hegemoni media dalam pembentukan opini msyarakt internasional terhadap ide-ide yang dianggap menentang Amerika. “Revolution Will Not Be Televised”. Bulu kuduku merinding saat rakyat anda turun ke jalan dan mengepung istana Negara dan menuntut agar presidennya dikembalikan. Aku tak henti berdecak kagum saat kulihat betapa kerennya rakyat anda yang bisa berkata “ini masalah konstitusi”. Tiba-tiba aku melihat proses yang begitu panjang untuk sampai pada titik itu. Aku ingin menangis karena tak kutemukan itu di sini. Di tanah yang melahirkanku,. Indonesia.
Companero…,
Aku yakin anda sudah mendengar bagaimana Indonesia sekarang. Kami tidak berjalan dan mengambil langkah berrbeda seperti yang kau lakukan. Pemimpin kami tak mungkin berteriak “ganyang Amerika” karena ia memilih tunduk dan patuh pada neoliberalisme. Aku tak usah mengumumkan bagaimana tingginya angka korupsi, angka pengangguran, angka kemiskinan, anak-anak terlantar, gelandangan, dan semuanya yang seharusnya diurusi oleh Negara. Padahal kami tak kurang orang-orang pintar. Tapi jujur, pemerintah kami tak pernah berani untuk berkata “TIDAK”.
Reformasi yang dipilih tahun 1998 yang lalu dan menggulingkan kediktatoran Suharto ternyata bukan kata yang tepat untuk Indonesia. Heran.., kenapa mahasiswa, intelektual, kaum muda dan rakyat saat itu memilih kata reformasi bukan revolusi. Yang terjadi akhirnya, tatanan lama tetap dipercaya untuk membangun Indonesia baru. Dan kami… terjatuh lagi dan lagi di lubang yang sama. Walau lubang itu sedikit dipercantik.
Sebagian kami menjadi manusia ahistoris, amnesia terhadap perjuangan Sukarno, Tan Malaka, Hatta, pahlawan Indonesia yang berani menentukan dan mendefinisakn Indonesia tanpa tangan-tangan Amerika.
Dan sekarang, apa yang terjadi?? Di pasaran, produk-produk Amerika, Cina, Jepang, Eropa bertebaran di mana-mana. Dengan dalih persaingan mereka secara terang-terangan menyingkirkan pengusaha-pengusaha local. Hampir setip hari berita penggusuran terlihat dan terdengar di mana-mana. Angka kemiskinan semakin tinggi. Biaya hidup semakin mahal, pemotongan subsidi untuk hal-hal yang vital dilakukan dengan alasan mengurangi belanja Negara untuk pembayaran utang. Pedagang kaki lima disingkirkan dengan alasan keindahan dan ketertiban, lalu mereka dibiarkan hidup tunggang langgang tanpa rumah. Pusat-pusat perbelanjaan menjamur di mana-mana. Semua harus dibeli, bahkan bermimpi menjadi sulit.
Companero….,
Bertandanglah sesekali ke Indonesia. Ajak presiden kami berfikir. Presiden yang merelakan mengeluarkan anggaran Negara sebesar 6 milyar untuk kedatangan seorang BUSH, Presiden yang membiarkan masalah demi masalah menumpuk dan merugikan kami rakyatnya yang nota bene semuanya miskin. Ajak ia berdiskusi, berikan ia pemahaman tentang bagaimana pemimpin itu. Sampai hari ini ia tidak memimpin kami, ia hanya bertindak seperti seorang manajer dalam usaha dagang yang berpikir untung dan rugi. Beritahu ia apa itu Negara, tekankan padanya bahwa negara punya fungsi perlidungan. Bukan melindungi modal tapi melindungi rakyatnya. Ceritakan padanya tentang rakyatmu.
Tuan Chavez…,
Aku yakin kamu sepakat.., jika kukatakan bahwa pendidikan adalah yang terpenting untuk membangun perubahan. Dan kenapa kami, rakyat Indonesia, masih tetap dalam kebingungan? karena hari ini pendidikanpun sudah termiliki oleh borjuasi. Semakin hari, biaya pendidikan semakin mahal. Universitas-universitas negeri sebentar lagi akan dikomersialkan dengan alasan penambahan mutu pendidikan. Sudah tak terhiting berapa anak yang memilih putus sekolah karena biaya sekolah yang amat tinggi, bahkan beberapa dari mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena tak mampu bayar sekolah. Tidakkah itu lucu, companero???
Era reformasi yang katanya meniupkan angin kebebasan, malah menambah represitas terhadap dunia pendidikan. Kampus-kampus digiring untuk tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang dianggap mengganggu stabilitas kampus. Misalnya diskusi. Mahasiswa digiring untuk memikirkan bagaimana cepat menyelesaikan kuliah dan bekerja, dapat uang lalu hidup tenang dan nyaman. Mahasiswa tidak dibiarkan untuk mengajukan protes karena akan diancam dengan skors atau Drop Out. Hasilnya??
Anda tahu, Tuan Chavez??
Ini membuatku malu….
Mahasiswa-mahasiswa lebih memilih  untuk memikirkan pakaian apa yang harus ia pakai besok dari pada memikirkan bagaimana mengatasi kemiskinan. Mahasiswa-mahasiswa memilih menghabiskan waktunya di pusat-pusat perbelanjaan dari pada duduk dan berdiskusi tentang masalah bangsa kami.
Mereka telah berhasil…, mereka berhasil meracuni kami. Karena media yang kami harap bisa membangun opini untuk selanjutnya menggerakkan massa rakyat, hari ini pun telah mengalihkan dirinya untuk mengabdi pada kepentingan modal. Ia pun merasuki pikiran adik-adik kecil kami untuk berpikir kerdil dan seragam.
Tuan presiden….
Akhirnya, aku meilih untuk mengutarakn ini pada anda. Kuharap anda berkenan membacnya di waktu-waktu senggang anda. Ini menyakitkan karena generasi kami banyak yang tidak percaya, bahwa dunia yang lain itu mungkin kita bangun.  Dan yang bisa kulakukan sampai hari ini adalah membuktikan kalau ada dunia yang lain yang lebih manusiawi. Kuputuskan untuk menulismu dalam tugas akhirku di universitas. Menceritakan pada banyak orang tentang kebijakan-kebijakan dalam Revolusi Bolivarianmu. Aku tahu, ini adalah perlawanan yang paling minimal yang mampu kulakukan.
Companero…., terima kasih telah ada. Telah melahirkan rakyat Venezuela yang kelak bisa kuceritakan pada anak-anakku. Terima kasih karena telah menginspirasiku banyak hal. Terima kasih karena dalam setiap pembicaraanku kepemimpinanmu membuatku lantang dengan bangga menyatakan bahwa ini betul-betul terjadi. Bukan mimpi….
Terakhir…, aku sangat ingin menjumpaimu. Menjabat erat tanganmu dan berkata
“YA BASTA…"

...ibu maha...

Komentar

Postingan Populer