bapak....


Bapak…….
Setiap kalian pasti punya bapak. Dan, aku ingin menceritakan bagaimana sosok orang yang kupanggil “bapak”.

Aku mengenalnya dan masih teringat jelas, bapak adalah sosok pekerja paling keras dari semua orang yang kukenal. Entah sejak kapan, aku tidak ingat lagi, yang jelas aku sudah tahu bahwa bapak adalah seorang supir. Saat masih kecil, aku mengingat betapa bangganya aku dengan pekerjaan bapak, karena ia punya mobil dan berhak membawanya ke mana saja ia mau. Dan saat pulang, ia punya uang banyak. Tapi, kebanggaan itu lama-lama terkikis oleh waktu terlebih saat aku mulai beranjak remaja. Memasuki usia SMP, aku malu mengakui kalau bapakku seorang supir.  Usia dimana aku sudah paham benar bagaimana seorang supir itu. Apalagi jika mendengar pekerjaan temanku yang kedengarannya lebih bergengsi. Kontraktor, pegawai, guru, polisi, pengusaha. Dan,. selanjutnya, untuk memperkenalkan profesi bapakkau saat ditanya aku lebih memilih kata “ wirsawsta”
Saat SMU, pandangan hidupku yang awalnya buram, mulai jelas. Aku mulai berjalan di jalan  yang kupilih dan kemudian menemukan diriku. Aku bangga dengan hidupku. Aku bangga jika bapakku seorang supir, lalu kusingkirkan kata “wiraswasta” dan mengumandangkan pada seluruh temanku bahwa bapakku adalah seorang supir. Dan, aku merasa betapa memalukannya diriku karena pernah merasa malu mengakui bahwa aku adalah anak seorang supir.
Aku tidak pernah bisa mengingat masa kecil yang kulaui bersama bapak. Yang paling kuingat jelas adalah ia kerap kali membawakan kami mainan, makanan, dan segala sesuatu yang menyenangkan hidup kami secara materi.  Yang kuingat jelas, bapak disela-sela waktu istirahatnya di rumah, sering mencari kutuku, menyisir rambutku karena tidak ingin ada kutu di kepalaku. Aku juga ingat, ia masih sering menggendonghku masuk ke kamar saat aku terlelap di depan tivi. Sejak kami kecil, ia sudah jarang di ruamah. Ia pulang hanya seminggu dalam sebulan. Saat itu, ia masih menjadi supir bus Kendari- Makassar. Dalam segi ekonomi, di lingkunga tempatku tinggal, kami bisa dibilang mapan. Bahkan aku masih ingat. Kami satu-satunya rumah yang punya VCD pertama saat itu. Dan hampir semua peralatan elektronik canggih lainnya. Kami adalah keluarga pertama yang memilikinya.Selain karena bapak, memang kukenal lebih modern dari pada ibu, itu juga salah satu caranya menyenangkan kami.
Dari segi penampilan, bapak adalah laki-laki parlente yang bisa melihat fashion. Ia sangat stylish apalagi jika dibandingkan supir pada jamannya. Bapak akan marah besar, jika tahu kalau baju-bajunya yang dipersiapkan ibu ternyata belum tersentuh setrika. Bahkan pakaian dalam pun harus seperti itu. Bapak, adalah sosok yang kami tunggu tiap dua hari setelah ia menyeberangi kapal dari Kendari. Ia kadang datang di subuh hari saat kami masih tidur, atau kadang di pagi hari, saat kami bersiap ke sekolah. Ia tidak lama, biasanya ia hanya singgah paling lama 2 jam. Dan saat itulah kami melewati waktu dengannya. Mendengar suaranya yang selalu tajam dan menusuk saat bicara dan tentunya untuk mengambil uang saku. Seingatku 20 ribu,. Dan itu adalah nilai yang besar saat itu. Kami menunggunya hanya untuk menyampaikan draft keinganan kami. Atau untuk mengeluh karena ibu trelalu pelit mengeluarkan uang.
Bapak, mungkin seperti bapak lainnya. Ia sangat perhatian dengan caranya sendiri. Dibalik sikapnya yang kelihatan tidak peduli, ia selalu menomor satukan kepentingan kami, anak-anaknya. Bapak akan marah besar pada ibu jika ia tahu ibu tidak membawa kami ke dokter saat sakit. Apalagi jika telah lewat dua hari. Ia akan lebih marah lagi, jika ia tahu ibu membawa kami ke Puskesamas.  Jika berobat ke dokter bapak tidak suka menggunakan fasilitas ASKES yang kami miliki karena ibu seorang PNS. Ia lebih suka mengeluarkan uang lebih banyak dari pada ia dibuat menunggu dan mengurusi tetek bengek administrasi yang biasanya menjadikan kita bola pimpong seenaknya. Intinya, jika masalah satu-satunya adalah uang, maka ia telah memecahkannya. Satu sudut pandang yang berbeda dengan kebanyakan ibu-ibu termasuk ibuku yang akan selalu berpikir lebih hemat dan cermat menggunakan uangnya.
Begitulah bapak memaknai cintanya kepada kami. Lewat kerja keras dan buliran keringatnya. Aku bahkan tidak tahu sekeras apa ia bekerja, sampai aku SMU. Saat itu, penghasilan bapak yang dulunya terbilang banyak mulai menipis. Kondisi mobilnya yang mulai sering rusak dan setelah alternative bertransporatasi mulai beragam dan lumayan murah, penghasilan bapak mulai berkurang. Semakin lama, tubuh bapak mulai lapuk termakan kerja. Penyakit mulai berdatangan satu persatu. Mulai dari polip yang membuatnya flu berat terus menerus, pola makan yang tidak teratur membuatnya maag, darah tinggi, asam urat. Dan segala jenis penyakit berkumpul pada dirinya yang mulai berusia. Tapi, ia tetap bekerja. Sebelum kelima naaknya sarjana, ia tidak akan berhenti bekerja. Begitu ikraranya pada ibu.
Saat kelas 3 SMU, jalur kendari-makassar, bapak hentikan. Ia mencari alternative pekerjaan lain yang menurutnya lebih ringan. Bapak menjadi supir truk pengangkut kayu. Bukannya lebih ringan pekerjaan bapak malah semakin berat. Bapak memutusan berhenti setelah hamper satu tahun. Ia melanjutkan pekerjaannya sebagai supir Makassar –Bone. Dan tepat saat aku kuliah. Di satu sisi ini mempermudah transportasiku juga. Tapi di sisi lain, aku mulai tahu bagaimana bapak bekerja. Saat itu, bapak sudah mulai tua. Bahkan tidak jarang, bapak terantuk-antuk di jalan, tidak jarang pula, suar-suara sumbang kudengar, menyepelekannya, memarahainya, menyindirnya. Tapi ia tetap tidak peduli. Saat, aku anak ketiganya sudah sarjana. Dan dua kakakku telah mapan secara kasat mata,  dengan banyak pertimbangan kami anak-anaknya melarang bapak bekerja lagi. Cukup sudah. Di usianya yang ke 55 tahun, kami mempensiunkan bapak tanpa persetujuannya. Kami merumahkannya. Ia tetap menggeleng-geleng, dan berkeras untuk bekerja. Tapi, kami juga berkeras dan menutup peluangnya untuk bekerja.
Menurut kami, cukup sudah. Bapak telah menghabiskan hidupnya untuk keluarganya. Meyekolahkan kelima anaknya, menaikkan ibu haji, dan mencukupkan kami keluarganya. Dn…dari sinilah segala masalah dimulai.
Melihat bapak tanpa pekrjaan adalah sesuatu yang membuat kami lega. Pada dasarnya, bapak tidak lagi repot melawan sakitnya untuk bekerja. Ia hanya perlu menikmati hidupnya bersama cucu dan hari tuanya. Tapi, ternyata tidak. Betul, penyakit bapak mulai berkurang, ia jarang lagi terdengar batuk yang panjang, tekanan darah, sam urat, kolesterolnya, semua normal. Tenyata hidupnya tanpa pekerjaan membuat bapak kehilangan arah. Bapak berubah sangat drastic. Secara emosi, bapak lebih gampang marah dari sebelumnya. Walau sebelumnya, ia memang terkenal pemarah. Tapi kali ini porsentasenya meningkat, ia lebih temperamental. Jika melakukan sesuatu, ia ingin melakukannya dengan cepat dan sempurna, jika tidak ia akan marah.  Jika harinya mulai membosankan, ia akan mengerjakan banyak hal yang biasanya tidak akan selesai dengan baik. Ia tidak menemukan dirinya lagi. Ia lebih banyak melamun dan menghabiskan waktunya untuk berselih paham dengan ibu. Untuk hal-hal yang tidak penting. Itu membuat ibu jengkel. Awalnya, sebelum tinggal bersama, aku lebih sering menyalahkan ibu dan menuntutnya untuk lebih sabar. Tapi, sekarang saat aku yang menghadapinya. Aku tidak bisa lebih sabar lagi. Bapak bukan lagi sossok yang cool yang tidak peduli dengan urusan orang lain, ia menjadi orang yang banyak bicara walau bukan pada tempatnya. Semua yang dibicarakan selalu ingin dicampurinya. ia sangat reaktif tapi tidak pernah solutif dalam suatu masalah, ia biasanya menambah masalah menjadi runyam dan membingungankan. Parahnya, bapak tidak mau menerima nasehat terlebih dari ibu. Ia merasa ia baik-baik saja. Ia menuntut banyak hal pada ibu yang seharian extra full menjaga maha dan aira. Cucu yang tidak pernah bisa dekat dengan bapak lebih dari 15 menit. Bapak yang tidak pernah mengurus anak-anaknya, sangat kewalahan saat diminta bantuan untuk menjaga cucunya. Pola asuhnya sangat otoroiter. Jadi dua anak kecil itu tidak bisa berlama-lama dekat dengannya.
Kami, sering menawarkan bapak alternative pekerjaan yang bisa mengisis waktunya. Berkebuhn, beternak ayam, atau apa saja. Tapi, ia selalu saja berkelit. Di kepalanya, ia hanya bisa bekerja sebagai supir. Pekerjaan lain tidak akan mampu ia kerjakan. Ia tidak pernah punya niatan untuk membuka dirinya, mengenal dunia yang baru. Maka tiap hari, ia isi hanya dengan menonton dan lebih banyak tertidur. Ibu biasanya memberinya pilihan lain, untuk mengisi harinya dengan ibadah, membaca, atau mengaji. Tapi, bapak juga enggan melakukannya. Bahkan, jika bosan mendengar nasehat ibu, dia kan bilang kalau shalat itu sudah cukup.
Secara social, bapak memang bukan oran yang pandai bergaul. Di lingkungan dekat rumah, ia dikenal sebagai sosok yang kurang bicara, pendiam. Sangat berbeda dengan yang kami lihat. Ia juga sangat sensitive sekarang ini. Dan, kami di rumah sering kewalahan mengatasinya.
Aku lupa bagaimana aku mengenal Bapak. Bukan, bukan aku tidak lagi bangga padanya. Aku hanya menganggap, kami semua bersalah menampatkannya pada posisi seperti sekarang.  Aku merasa kehilangan bapakku yang dulu. Yang suaranya selalu kurindukan untuk kudengar mengingat betapa jarangnya ia berbicara. Aku merindukan bapakku yang dulu, yang sengaja kubuat marah hanya karena ia begitu sibuk bekerja. Aku merindukannya.
Dan, di pihak lain. Kutundukkan kepalaku kepada ibu yang selalu setia mendampinginya dalam senang maupun duka, yang tidak lagi membatasi kesabarannya menghadapi bapak, yang tak juga habis air matanya mendoakan agar bapak bisa menjadi lebih baik, yang menganggap semua ini adalah ujian untuknya, agar ia menjadi lebih baik.
I love you all….
18 Febrauri 2011
Beberapa hari setelah bapak marah besar padaku, menganggapku tak mau lagi mendengarnya…”
…ibu maha…

Komentar

  1. bapak tetaplah bapak. jika waktu dan usia telah mengambil sebagian dari dirinya, tetaplah mencintainya seperti saat bapak masih bisa menghabiskan separuh harinya di jalan, atau seperti saat ia menggendong kita ke tempat tidur, karena terlelap di depan TV.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer