Masa Kecil, Om Jalaluddin dan Obituari

Sore itu saya sedang berlatih pramuka saat seorang santri yang berseragam pramuka dan hari itu bertugas menjadi piket datang menghampiri saya. Ia memberi kabar bahwa sore itu saya mendapat kunjungan. "Ada tamu mu," ucap si piket lalu berlalu pergi. Saat itu, seingatku saya masih duduk di kelas 1 tsanawiyah dan kunjungan sore itu kalau tak salah adalah kunjungan pertama sejak almarhum bapak mengantar saya masuk pondok pesantren. Betapa bahagianya saya sore itu meski langit begitu pekat pertanda hujan akan segera tiba.

Saya yang sedang bersiap berlari menuju ruang tamu dan menemui kebahagiaan karena akhirnya mendapat kunjungan harus agak terhenti karena dari kejauhan saya melihat sosok yang saya kenal dan hendak mendekati lapangan basket tempat kami berlatih pramuka. Ia nampak mencari-cari. Saya langsung menghampirinya dan menyalaminya lalu kami berdua menuju ruang tamu bertemu ibu dan bapak yang sudah menunggu. Ini adalah kali pertama ibu dan bapak datang menjenguk saya di pesantren. Dan sosok yang menemani ibu dan bapak adalah Om Jalaluddin.

Pertama kali bertemu Om Jalaluddin pada tahun 1993, saat almarhum bapak pertama kali mengantar saya ke Makassar untuk mondok di pesantren yang berada di bilangan Tamalanrea yang berjarak 10 kilometer dari Lapangan Karebosi, titik nol Makassar. Satelah tiba di Terminal Panaikang, tempat pemberhentian terakhir bus dari Kendari, kami berdua langsung menuju sebuah toko permata yang berada di Jalan Nusantara Makassar. Toko permata ini bernama sama dengan pemiliknya, Zakaria. 

Saat bapak merantau ke Makassar, ia dan beberapa perantau dari Pongkalaero yang kemudian bersekolah di Makassar bekerja di toko permata Zakaria yang terletak tak cukup jauh dari Pelabuhan Soekarno Hatta. Dan Om Jalaluddin serta beberapa keluarga lain seperti tiga bersaudara Naim, Munif, dan Halil adalah generasi yang entah keberapa yang menghuni lantai dua Toko Permata Zakaria yang saat pertama kali sata datangi sepertinya sudah melewati masa kejayaannya meski masih beroperasi. 

Diantara mereka, seingatku Om Jalaluddin lah yang paling sibuk mengurusi saya ditengah aktivitasnya sebagai mahasiswa di IAIN Alauddin Makassar. Tak mungkin saya lupa jika ia lah yang menemani bapak mempersiapkan semua keperluan saya sebelum masuk pesantren. Dan ada satu peristiwa yang saya kenang hingga sekarang saat saya, bapak dan Om Jalaluddin ke pasar sentral membeli segala keperluan di pondok.

Saat itu bapak hendak membeli tas jinjing untuk ia pakai ke kantor. Om Jalaluddin lalu mengantar bapak ke penjual tas yang berjejer di bagian depan pasar sentral. Tiba di salah satu lapak penjual tas, Om Jalaluddin lalu mempersilahkan bapak memilih tas jinjing yang disukai. Tas jinjing akhirnya terbeli dan kami balik ke toko permata. Tapi cerita belum selesai, Setiba di Jalan Nusantara, Om Jalaluddin dapat "ceramah" dari bapak. Jadi bapak punya prinsip jika ia mempercayai orang maka yang dipecaya mesti memegang kepercayaan itu sepenuhnya hingga semua urusan selesai. Jadi bapak maunya saat Om Jalaluddin dipercaya untuk mengantar bapak ke penjual tas, maka bapak juga percaya bahwa Om Jalaluddin akan memilihkan yang terbaik dan bapak tinggal membayar.

Sejak pertama kali bertemu, Om Jalaluddin selalu menunjukkan keramahannya, sikap perhatian dan tak pernah marah. Termasuk saat menerima "ceramah" dari bapak sepulang membeli tas hari itu. Dan selanjutnya setelah bapak balik ke Kendari, adalah rentetan saya yang saat itu masih benar-benar belia dan Om Jalaluddin yang berubah menjadi orang tua saya di Makassar.

Diantara sedikit keluarga di Makassar, ia lah satu-satunya yang paling sering menjenguk saya di pondok. Menjemput saya sebulan sekali saat masa libur tiba dan mengantar saya menikmati Makassar untuk sesaat. Tidak hanya itu, ia juga memperhatikan hal-hal kecil seperti perlengkapan mandi dan sikat gigi sebelum balik kembali ke pondok setelah libur kamis dan jum'at. Dan yang paling penting dari semua itu adalah ketulusan dan keseriusannya dalam memperhatikan saya. Tak pernah ada kesan terpaksa apalagi marah ketika saya merepotkannya. Saya ingat betul gestur dan senyum tipisnya saat ia datang menjenguk saya di pondok. Ia jadi serupa oase bagi saya saat rindu rumah membuncah. Dan itu akan terus saya kenang.

Bulan lalu, dari grup keluarga Pongkalaero, saya mendapat kabar jika beliau sedang sakit dan ia memilih kembali ke kampung untuk pengobatan. Agar lebih jelas saya menghubungi ibu di Kendari dan beliau membenarkan jika Om Jalaluddin sedang berjuang untuk sembuh dari penyakit yang ia derita beberapa waktu terakhir. Tak lama setelah itu, ada kabar jika beliau mulai membaik dan kabar itu sangat melegakan. 

Kemarin siang saat ibu menelpon untuk berbicara dengan ketiga cucunya di Makassar, ia sempat bercerita jika kondisi Om Jalaluddin kembali memburuk, namun kami berdua berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun semalam, saat sedang memperhatikan whatsapp saya memperhatikan sekilas ucapan Innalillahi Wainnailaihi Rajiun muncul dari grup keluarga Pongkalaero. Perasaan saya langsung tak enak dan wajah Om Jalaluddin langsung muncul penuh di hadapan saya ketika ucapan selamat jalan itu ditujukan untuk beliau yang menhembuskan nafas terakhir sekitar pukul 9 malam di kampung halaman tercinta dan berada begitu dekat dengan orang-orang terkasih.

Selamat Jalan Om Jalaluddin. Kebaikanmu Abadi.

Zulkhair Burhan

Makassar, 20 Agustus 2020

Komentar

Postingan Populer