Perempuan VIP


https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images

Setelah Sky Castle, di tahun lalu, VIP adalah salah satu drama Korea yang menurutku penting untuk ditonton. Dan seperti biasa saya dengan tingkat kesabaran yang cukup tinggi, mesti menunggu hingga drama ini selesai tayang. 

Bagaimana tidak, hampir setiap selesai menontonnya, Ana bisa dipastikan memaksa saya untuk  menonton juga, ditambah dengan visualisasi detail cerita yang kadang membuat saya sungguh ingin menghentikan ocehannya. Bukan hanya itu, timeline medsos saya lumayan ramai dengan reaksi orang yang menonton drama ini. 

Setelah memastikan drama ini selesai di penghujung tahun, saya tidak menunggu lama. Rasa penasaran saya tidak begitu saja hilang, padahal saya sudah mendengar potongan-potongan kisahnya yang tidak henti dicerocoskan Ana sepanjang waktu lengkap dengan luapan emosinya. Menurut saya setiap drama Korea selalu punya sudut cerita yang beragam yang bisa saja ditemukan setiap orang dengan cara yang tidak sama.

Dengan persiapan emosional, saya mulai menonton drama ini. Saya menyiapakan diri karena highlite ceritanya tentang perselingkuhan, yang biasanya membuat kita para perempuan menjadi kompetitor dengan perempuan lainnya hingga melupakan peran laki-laki dalam hubungan tersebut. 

Cerita perselingkuhan adalah cerita biasa menurut saya tapi tentunya bukan hal sepele. Dalam hubungan, saya meyakini bahwa kejujuran adalah salah satu pondasi utama yang jika telah retak maka lambat laun bangunan yang ditopangnya akan hancur. 

Entah dimulai oleh si laki-laki atau perempuan, serapih apapun itu akan ketahuan dan akan menyakitkan. Tapi, cerita drama ini tidak perlu saya sorot dari sudut pandang tersebut. Kekesalan saya pada Park Soeng Jun dan On Yu Ri  hampir sama besarnya dengan para netijen yang menikmati drama ini. 

Saya ingin bercerita bagaimana film ini menampilkan sosok perempuan hebat dengan perannya masing-masing. Kenapa hal tersebut menjadi penting? Iya, karena saya melihat kita cukup mudah memberi label pada perempuan atas pilihan yang mereka ambil, bahkan pada perempuan yang tidak kita kenal. 

Kesuksesan Film Kim Ji Yong, Born 1982, telah menegaskan bahwa Korea adalah salah satu negara dimana pemerataan hak terhadap perempuan masih terus diupayakan. Bukan hanya dalam kasus domestifikasi perempuan, namun pun dalam dunia kerja, dalam keterwakilan politik, dan dalam penerimaan upah. 

Perempuan seperti di banyak negara berkembang lainnya, menjadi warga kelas dua yang ditakdirkan menjadi korban langsung atas kesemrawutan sosial. 

VIP menurut saya melampaui kisah ketegaran Na Jong Soen menghadapi perselingkuhan suaminya, drama ini dalam pendangan saya  berkisah tentang perempuan-perempuan pekerja yang mencoba untuk meraih apa yang seharusnya ia miliki seperti pekerja laki-laki lainnya di dunia kerja.

Ada beberapa case yang dikemas menarik mewakili banyak wanita, dalam drama ini. Lee Hyun Ah, dia memperlihatkan bagaimana perempuan kelas atas dari gaya hidupnya. Dia pintar, professional, terdidik, dan glamour. Sejak awal dia memperlihatkan arogansinya dalam pekerjaan pun dalam menentukan hubungannya dengan laki-laki. Skandal pelecehan seksual di tempat kerjanya karena promosi jabatan yang ia inginkan akhirnya ia buka demi menyelamatkan posisi temannya yang juga mengalami hal yang sama. 

Menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja bukanlah hal mudah, asumsi yang akan dibesar-besarkan adalah "ia terlalu ambisius, gaya hidupnya memang bebas, pakaiannya membuatnya pantas menerima perlakuan seperti itu", dan segala macam serangan yang biasanya hanya menyorot pada korban saja. 

Sejak awal Hyun Ah memperlihatkan otoritas penuh atas tubuh, pilihan dan hidupnya. 

Perempuan kedua adalah Song Mi Na, seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak dan suami yang juga bekerja. Ia cerdas, pekerja keras, yang memimpikan karir cemerlang dan sayangnya selalu saja terhalang karena pembagian kerja di rumah yang menunjuknya sebagai tokoh utama yang paling bertanggung jawab atas rumah dan anak-anaknya. 

Ia memutuskan meninggalkan dua balitanya bersama suaminya. Keputusan ini bisa jadi akan dinilai sebagai keputusan egois, tidak bertanggung jawab atau apapun itu. Tapi Mi Na membulatkan keyakinan bahwa rumah tangga, keluarga, harus menjadi tanggung jawab suami dan istri. Tanpa Mi Na di rumah, suaminya akan belajar  bagaimana mengatur waktu menjadi bapak pekerja dan bapak rumah tangga. Walau dengan drama yang panjang, metode yang dijalankan Mi Na terbukti berhasil. 

Ada potongan percakapan keren saat suami Mi Na memohon agar Mi Na tidak perlu pergi dari rumah.

"Saya selama ini telah membantumu mengerjakan pekerjaan rumah tangga" kata suaminya dengan yakin
"Membantu, kenapa harus membantu? Mereka anakmu juga, Ini keluargamu juga". Kata Mi Na dengan tegas.

Ya, diksi "membantu" istri dalam mengurus rumah tangga sering kita anggap sebagai salah satu keberhasilan suami dalam menjaga hubungan mereka yang setara. Tapi pemilihan kata membantu, itu telah salah dari awal. Kenapa para suami harus membantu? Bukankah hal tersebut adalah hal yang memang sepatutnya mereka kerjakan? Karena pola pikir kita sejak awal memang telah menunjuk istri, ibu sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam mengurusi rumah tangga. Harus diakui bahwa masayarakat kita memang telah patriarki sejak dalam pikiran.

Perempuan bekerja berhak meniti karirnya tanpa perlu tersandung masalah domestik, begitu Mi Na menegaskan dirinya hingga akhirnya hampir kebablasan menggugurkan kandungannya karena ia anggap hal tersebut tidak akan berhasil. 

Perempuan terakhir adalah Na Joeng Sun, pemeran utama yang hingga akhir memperlihatkan sosoknya yang tangguh menghadapi badai rumah tangga yang tidak mudah untuk kehidupannya yang ideal. Ia terpuruk namun tidak langsung jatuh dan terjerembab menyalahkan dirinya atas perselingkuhan suaminya. Ia tidak menyerah atas dirinya, ia melawan suaminya dengan proporsional, dengan cerdas, tidak berlebihan, hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah.

"Jika hancur, kita harus hancur bersama"
Joeng Sun memberikan kepercayaan diri bagi setiap perempuan yang mengalami masalah yang sama. 

Beberapa karakter perempuan, walau tidak dominan juga dimunculkan. Gila belanja karena tetiba menjadi orang kaya,  perempuan yang akhirnya membenci komitmen rumah tangga dan fokus pada dirinya, dan perempuan miskin tidak berdaya yang pilihannya mengupayakan kebahagiaannya bersama suami orang lain. Karakter-karakter itu sangat kuat disorot berkali-kali.

Dan yang mencengangkan seperti biasa, hukuman sosial hanya ditujukan pada perempuan semata, pergunjingan di media sosial maupun di tempat kerja jauh lebih besar diterima perempuan, dan bisa jadi seperti itulah kenyataan yang terjadi.

Banyak yang tidak puas dengan akhir drama ini, karena hukuman perselingkuhan Yu Ri dan Song Jun dinilai tidak setimpal dengan yang dilakukannya pada Na Joeng Sun, tapi saya tidak menjadi salah satunya.

Saya berbesar hati melihat Na Joeng Sun yang hingga akhir tidak berhenti berjuang untuk dirinya, lalu dengan dewasa mengakui bahwa ia pun pernah melalui hari-hari bahagia bersama suaminya. 

Sekali lagi, drama ini menegaskan bagaiamana perempuan dengan dinamika persoalan yang mereka hadapi yang sungguh berbeda untuk setiap orang. 

Menghakimi, menilai, menuding perempuan atas apa yang mereka jalani adalah hal yang sama sekali tidak perlu dilakukan. Sama seperti laki-laki dan manusia lainnya, perempuan hanya perlu diberi ruang yang sama dalam ranah sosial dan mungkin kau bisa mulai dari sekecil-kecilnya yaitu dalam pikiranmu.

Harnita Rahman

Komentar

Postingan Populer