Uang Jajan Suar




Jadi, satu hal yang membuat Suar keukeh untuk masuk SD d awal semester tahun lalu yaitu "uang jajan". Walau sebelumnya dia lumayan ragu setelah kami menjelaskan bagaimana sekolah pada umumnya akan mengekang geraknya yang berlebihan

" Kalo SD banyakkah duduknya? Nda boleh lari-lari? Kaya d TK? " Tanyanya sangsi pada kami. Kami mengangguk memastikan. Dia sempat keder karena dia tahu betul dirinya tak tangguh untuk diam duduk dalam waktu lama mengerjakan sesuatu apalagi yang tak diminatinya.

Tapi, setelah tahu bahwa tidak satupun temannya tetap tinggal di TK setahun lagi ditambah dia punya hak mengakses uang jajan yang menjadi penting untuknya, dia memutuskan untuk melaju menuju sekolah yang pun hingga semester 2 belum sanggup membuatnya duduk berlama-lama.

Perkara uang jajan adalah perkara yang kami atur ketat di rumah. Karena kelas 1 di sekolah Suar hanya berdurasi paling lama 3 jam, 3 rbu menurut kami cukup setelah sarapan berat di rumah. Tapi tidak untuk Suar, dia menghabiskan uang jajannya dalam sekali kunjungan ke kantin. 

Menghabiskan uang jajannya adalah hal yang mesti ia lakukan, mesti ia tidak begitu lapar. Dan saat lapar di akhir jam pelajaran, dia mengandalkan kk maha untuk dimintai baik sukarela maupun secara paksa untuk membelanjakannya.

Drama tentang uang jajan adalah drama yang nyaris kami lalui setiap hari. Suar selalu mengajukan proposal penambahan uang jajan sampai 4 ribu yang biasanya ia utarakan semalam sebelumnya. Saya yang terbiasa tidak menurut untuk kesepakatan seperti ini, akan berdiri tangguh menghadapi semua tingkahnya. Mulai dari menangis bahkan hingga mogok ke sekolah.
 
Saya dalam case seperti ini akan berdiri kokoh sekuat batu karang. Biasanya alasannya cukup variatif, ia masih lapar lah, tidak cukup lah, teman-temannya bawa uang jauh lebih banyak lah, dan berbagai alasan lainnya. 

Ancamannya untuk tidak  ke sekolah tidak pernah membuat saya surut, saya rela dia harus menangis Dan bersungut-sungut bahkan tidak ke sekolah demi menuruti menambah  1.000 rupiah untuk jajannya. Jika kebetulan nenek atau tantenya datang, saya jauh lebih tegas untuk tidak membiarkan mereka mengintervensi pasal uang jajan ini.

Namun, dalam beberapa kasus, saat sebelumnya ia melakukan hal-hal baik, saya mengapresiasinya lalu memberinya kejutan 1 atau 2 kali dalam dua minggu dengan tambahan uang jajan yang selalu ia impikan. Hal tersebut, akan membuatnya sumringah tidak ketulungan.

Uang ia pahami membuatnya punya otoritas untuk membeli apapun yang ia inginkan. Tanpa memperdulikan hal yang selama ini kami tekankan dalam hal jenis jajanan yang boleh dan tidak boleh.

Biskuit, wafer, dan sesekali gula-gula dan es krim. Beberapa kali ia mendapat hukuman tidak mendapat uang jajan setelah kami tahu dia belanja makanan yang sangat kami larang. Karena ini juga, Suar piawai bicara bohong. Saya lebih telaten menanyakan kemana uang jajannya dibelanjakan, daripada apa yang ia pelajari.

Biasanya kebohongannya akan terkuak sendiri setelah ia tidak berhenti bercerita dan kami mendapati kejanggalan dalam ceritanya. Pernah ia  membelanjakan uang yang ia minta untuk sumbangan kelas. Ia menyumbang tapi tidak semua. Karena sudah tahu, berbohong membuatnya dikenai sanksi, ia sekarang  memilih jujur perihal yang ia beli.

"Jujur atau kalau ibu tahu nanti kalau ternyata bohong, hukumannya lebih banyak". Tapi hukuman memang tidak serta merta membuatnya jera. Butuh proses bicara yang jauh lebih banyak untuk bicara pada anak seperti Suar. Ia tidak semudah Maha dalam hal mendengarkan.

Pernah juga sekali, ia kedapatan BapakKomrad menyantap dengan lahap semangkuk mi instan siram di taman sekolahnya. Lucunya, saat ia tahu tertangkap basah seperti itu, dia tetap melanjutkan aksinya. Pikirnya "saya pasti tetap dimarahi, lebih baik kasi habis"

Karena ulahnya itu, dia dihukum 1 minggu tidak bawa uang jajan. Pun kk maha kena hukuman 3 hari karena ternyata sekongkol mendukung aksi suar membeli mie instan

"Kenapa kk maha tidak larang adek? " Tanya kami pada maha. Maha belum sempat menjawab lalu Suar berseloroh dengan santai

"Ka dia juga makan"
Hukuman itu mereka terima dengan lapang.

Perkara jajanan sesungguhnya sudah pernah saya utarakan di gurunya. Bagaimana sekolah sebaiknya hanya menyediakan jajanan yang sehat untuk anak-anak. Beberapa kali juga saya membuatkan bekal tapi tidak bertahan lama karena teman-temannya tidak melalukan hal sama. Jadi memang kebijakan sekolah mesti mendukung hal-hal yang dianggap kecil seperti ini. Bukankah kita semua bertanggung jawab atas apa yang dikonsumsi oleh generasi anak-anak kita?

Walau di rumah tidak berhenti kami imbau, tapi siapa sanggup menahan aroma mie instan? Apalagi untuk jenis anak seperti Suar yang jauh lebih suka mengeksplor hal-hal yang dibatasi padanya. Karena  ada juga anak seperti Maha yang hingg kelas 5 bahkan bela-bela menelpon terlebih dahulu jika merasa lapar sekali dan harus makan mie instan.

Tentang makanan, sebenarnya saya juga  bukan berada digaris keras mesti harus selalu mengasup makanan sehat dan bergizi. Saat lelah, sekalidua kali mereka juga makan junkfood, atau menikmati minuman berkadar gula tinggi. Tapi berbatas. Makan mie instan, bukan dosa di rumah ini, hanya saja ada waktunya. Sekali dalam 1 atau 2 minggu, mungkin. Prinsipnya saya harus tahu apa yang mereka makan.

Setelah fase jenis jajanan berakhir dan hingga kini masih sering sekali dua kali Suar mengakui melanggar, kami akhirnya masuk di fase lain. Sejak beberapa bulan lalu, Suar tidak lagi belanja makanan tapi mainan. Jenisnya berbeda-beda sesuai dengan yang sedang happening di sekolah. Kartu, stik, balon, stiker, segala jenis mainan yang menghabiskan sekaligus uang jajannya.

Dan yang dirugikan selaku kk Maha sebenarnya, Suar bersikeras meminta uang pada kakaknya. Jika maha betul-betul tidak punya uang, teman-teman kk maha yang selalu menganggap Suar lucu dan menggemaskan, selalu memberi Suar tambahan uang jajan. Akhirnya dia merasa ada orang yang akan selalu membelikannya jajan. Dan itu sungguh kabar buruk.

"Suar bikin malu, ibu" begitu maha biasanya saat pulang sekolah demi menghadapi ulah Suar perkara uang jajan ini. Suar akan mengangguk mengerti jika diberi tahu, tapi bisa jadi akan lupa 3 atau 4 hari kemudian.

Setiap hari saat pulang sekolah, dia pasti membawa sesuatu. Ia mengumpulkan kartu untuk dimainkan atau untuk dijual kembali. Ia dengan bangga memperlihatkan apa yang ia dapatkan dengan uang yang dimilikinya.

Lalu kemarin, Suar yang jarang membelanjakan uang berharganya untuk orang lain, tiba-tiba menjemput Bapak Komrad dengan mengejutkan

"Bapak saya belikan bapak ini di sekolah" saya terkejut, karena ia tidak memberi tahu saya yang sedari tadi di rumah bersamanya. Ia mengeluarkan sebuah gelang hitam karet bertuliskan " PSM MAKASSAR "

"Memang gelang itu dibeli untuk bapak?" Tanyaku penasaran.

"Iya. Pas saya lihat PSM, se bilang  pasti bapak suka ini" Ia membelinya tanpa pikir panjang. Saya membayangkan bagaimana ia mengingat bapak komrad sebagai pecinta PSM sejak kapan tau lalu memutuskan untuk menghabiskan uangnya karena itu.

Biasanya ini akan ia jadikan senjata pamungkas jika menginginkan sesuatu di lain waktu. Ia akan mengungkitnya tanpa merasa bersalah apalagi merasa malu. Bapak bahkan menaruh curiga dan bertanya

"Ini mau dijual lagi ke saya kah?" Karena tahu betul Suar selalu punya cara agar ia tidak rugi tapi Suar dengan mantap mengatakan tidak, entah besok.

Punya uang mengajari Suar tentang otoritas yang membuat kami sungguh kewalahan. Tadi saat menyelesaikan tulisan ini, ia ditanyai oleh Ana

"Apa yang paling menyenangkan dari sekolah?"

"Istirahat karena bisa jajan" Hehehe. That's my boy. Kau memang berbeda nak, and it's ok. Mari kita nikmati ini bersama,nak dengan cara yang menyenangkan hingga kapitalisme tumbang..hahaha!!!

Harnita Rahman

Komentar

Postingan Populer