Puisi Tidak Berhenti _ Membaca Jalan Panjang Mario
Saya mengenal puisi di usia remaja sebagai pilihan elegan
untuk menceritakan rasa, mencurahkan hati dengan terhormat tanpa mesti dilabeli
cengeng dan mendayu. Puisi kemudian perlahan menjadikan dirinya tameng yang
handal bagi saya yang kala itu menolak dikatai rapuh. Kemudian, puisi mengalir
seperti rasa yang tidak bisa dibendung. Kata lirih, kalimat tangis, rintih,
dengan nyaman tersusun, dengan mudah menghasilkan karya.
Tetiba, tahun pertama kuliah mengenalkan saya dengan Wiji
Thukul. Membaca “ijinkan Aku Jadi Peluru” seperti tamparan perih untuk
puisi-puisi saya yang hanya sibuk mengurusi koyaknya hati melulu. Entah
bagaimana, tapi secara sadar saya akhirnya memutuskan bahwa puisi saya mesti secara
berani bertransformai dari tameng menjadi senjata. Saya tidak boleh melindungi
diri dari ratapan keakuan saja, puisi saya mesti menyerang apapun atau siapapun
yang bertindak semena-mena. Dan kesadaran itu, akhirnya mempengaruuhi buku
puisi yang saya pilih untuk ditulis pun dibaca.
Saya mulai mencintai puisi yang lugas, yang membebaskan
pilihan kata, yang menampikkan rima apalagi bunyi, yang malarikan diri dari
bakunya aturan, yang tidak bersembunyi dibalik majas, yang tidak pandai
berkias, yang menyatakan kemarahan, yang mencemooh ketamakan, yang meludahi birahi
kuasa manusia, yang mengutuk perampasan hak hidup dan yang menyumpahi
penindasan.
Dan selera saya tidak berubah hingga kini. Walau membaca
hampir semua jenis buku puisi, saya tetap memilih Wiji Thukul dibanding Sapardi
Djoko Damono, saya menyukai karya Neruda tapi tidak seperti saat terkagum kagum
pada karya karya Subcomandante Marcos. Saya suka Khairil Anwar tapi saya tidak
bisa mengulang-ualang membaca puisinya seperti saat membaca sajak-sajak Rendra.
Saya mendapatkan energy positif saat mendengar
musikalisasi puisi AriReda tapi saya merasa lebih hidup saat
meneriakkan karya-karya Homicide
sepanjang hari.
Lalu, di satu pagi datanglah puisi-puisi ini mengetuk
pintuku. Dengan tampang lusuh, rambut yang acak-acak, mandi pasti tidak, Mario
menyodorkan puluhan puisinya untuk saya baca, kemudian dilihat ulang. Saya
mengangguk menyetujui, Mario bukanlah pengunjung yang selalu datang, tapi
kedatangannya yang sesekali selalu berkesan lekat. Melalui pembicaraan pendek
dengan tema yang random, melalui buku-buku yang dia pesan, yang dia beli, atau
caption-captionnya yang pendek via instagram, bisa dibilang saya cukup
mengenalnya. Karena bacaannya bagus, harusnya puisinya pun layak baca. Tapi, melampaui
hal-hal tersebut, saya selalu bangga jika seorang muda punya keberanian
menelurkan karya. Karyanya adalah pintu lebar dan besar bagi orang untuk
membaca dan mengenalnya lebih jauh. Dan itu bukanlah perkara mudah.
Sekitar tiga hari mengendap di rak, kumpulan puisi ini
akhirnya saya jumpai. Membaca lima
sampai enam karyanya secara acak, saya tersenyum. Saya menemukan sisi feminine
dalam Mario, yang brsembunyi seperti yang kebanyakan para lelaki sembunyikan.
Namun puisi adalah puisi. Dia selalu jujur dan bening tanpa peduli prasangka.
Tapi, saya menemukan puisi SMA saya di sana atau kebanyakan puisi lainnya yang
sama menjerit, yang sama menangis, yang sama mengasihani diri, yang sibuk
dengan perkara cinta sebagai media kecil dalam hubungan dua manusia. Saya berhenti.
Lalu, seminggu kemudian, saya membuka lagi puisi –puisi ini.
Saya membaca lebih banyak, kisah kasih yang tergelatak telanjang, menurutku
disampaikan Mario dengan manis. Saya menemukan diri Mario yang lain, dia lelaki
berpendirian teguh. Bahagialah perempuan yang karenanya puisi-puisi ini lahir,
Mario mempercayai hatinya lapang menerima wujud cinta yang lain. Saya mulai
tersenyum, bukan karena saya mulai mampu membentuk Mario sendiri dalam kepala
saya. Namun, disela-sela upaya Mario menata hatinya, saya mulai mendapati
kegelisahan-kegelisahan yang rangenya lebih luas.
Saya lalu mencari waktu-waktu luang untuk kembali membaca
puisi Mario. Walau jumlahnya tidak mayor, tapi ketegasan Mario akan sikapnya
menghadapi ketimpangan, penyelewengan, kesemrawutan, dan ketidakadilan, bisa
terbaca dengan jelas. Mario lebih banyak bergumul dan beradu dengan semesta
dirinya, mempertanyakan eksistensi, menunjuk-nunjuk keakuan, menimbang-nimbang
langkah, mengutuk dosa-dosa, demi mencari sejatinya diri. Lewat puluhan puisi
ini Mario berhasil menunjukkan betapa “anak muda” dirinya.
Yang menarik, hampir semua puisi yang judulnya menggunakan
nama bunga, mengusik saya. Seroja, Akasia, Sakura, dan Asoka. Saat membaca
puisi tersebut, saya membayangakan bunga-bunga tersebut. Personifikasi bunga
dan cerita yang diangkat dalam puisi membuat saya berimajinasi lebih. Tapi, yang
paling favorit, Seroja. Saya merasakan Mario membingkai kemarahannya pada tata
kota yang minim ruang bersama, dengan sangat cantik dilarasakan dengan kenangan
akan “hidupnya” masa kecil. Puisi ini saya baca berkali-kali, harapan akan masa
kecil yang lebih baik untuk generasi mendatang saya baca jelas lewat pilihan
katanya yang minim.
Secara jujur, saya harus bilang puisi Mario di buku ini bukanlah
tipikal puisi yang saya sukai. Tapi saya juga harus mengakui, saya menikmati
membacanya. Saya mengangguk-angguk atas kemarahan-kemarahan kecil yang ia
tumpahkan dengan hati-hati. Saya menggeleng-geleng atas sunyinya ia mencintai,
saya tersenyum melihat racauannya yang kacau saat melihat ke dalam dirinya. Hal
tersebut mengindikasi bahwa saya merasakan puisinya. Dan itu hal penting. Puisi
adalah olahan rasa. Saat pembaca tidak merasakan puisi yang ia baca, maka itu
bukanlah puisi melainkan anya sekumpulan kata yang puitis.
Yang terakhir, saya suka judul yang dipilih “Jalan Panjang
Tanpa Nama” , tapi saya justru merasakan Jalan Panjang yang dipadatkan Mario
lewat puisi-puisi ini dipenuhi ragam warna dan aroma bunga. Ia berwarna dan
wangi, semoga. Dan sesungguhnya hal penting dalam seluruh puisi ini, semesta
atas puisi-puisi ini, roh atas puisi-puisi ini, telah diringkaskan dengan
sangat apik dan berani
“ aku akan memadatkanmu menjadi
telapak kaki yang beraroma surgawi “
Puisi ini kusimpulkan sebagai senjata paling ampuh untuk
membantumu melewati jalan panjang yang lain. Saya percaya.
Dan, terima kasih Mario telah mempercayakan sayauntuk
melihat jalanmu yang sunyi, terima kasih
membiarkan saya membaca dirimu yang rapat bersembunyi. Jangan berhenti. Puisi tidak akan berhenti.
Harnita Rahman
Komentar
Posting Komentar