Mengandalkan Sekolah Negeri untuk Masa Depan Bangsa
“de’gaga utarotaroakko nak, degage laingnge sangidinna paddissengeng”
Kalimat itu adalah pamungkas nya
mamak pada kami jika sedang ogah-ogahan sekolah, jika adik saya memilih berpura-pura
sakit saat pagi hari, atau saat kakak saya tidak pernah sekalipun melirik buku
sekolahnya atau saat kami ketahuan membolos kelas. “Tidak ada yang bisa kami
wariskan, tidak ada yang lain, selain ilmu pengetahuan.” Dan mirisnya bagi hampir
semua orang tua kami di zaman itu, bersepakat bahwa ilmu pengetahuan hanyalah
bisa didapatkan melalui sekolah. Sekolah adalah
jembatan emas menuju kemuliaan, menggapai keberhasilan, menikmati
kemewahan dan kekayaan. Sekolah adalah gemilang masa depan dimana ilmu
pengetahuan berporos.
Bagi anak-anak yang diberkahi
kemampuan belajar cepat dan otak yang encer, sekolah adalah ruang aktualisasi
diri yang paling tepat. Guru menyayangi dan membanggakan mereka, teman-teman
takut kehilangan mereka dan prestasi gemilang menempatkan mereka di posisi yang
selalu nyaman. Tapi tidak bagi kebanyakan anak-anak yang berani menuruti nalar
kekanakannya, yang masih ingin bermain banyak, yang tidak suka memaksa dirinya
belajar, yang lebih suka mengeksplorasi bakat, bagi mereka sekolah tumbuh
seperti tembok penjara. Guru serupa penjaganya yang menakutkan, datang dengan
penggaris kayu panjang dan siap menerkam kapan saja. Serangan verbal kemudian
diikuti non-verbal seringkali dihadiahi untuk anak-anak semacam itu, yang
kemampuannya tidak terdeteksi di atas kertas.
Dan, sama seperti meyakini
sekolah, orang tua orang tua kami pun mempercayai sabda guru sebagai sabda
pandita ratu, pun tindakannya. Sekolah adalah jalan benar dan guru tidak akan
berbuat salah. Tidak akan pernah. Lalu, dengan semua keyakinan itu, saya dan
generasi di zaman saya tumbuh dan menjadi besar melalui pendidikan dasar di
sekolah negeri.
Di negara ini, sejarah sekolah
modern telah dimulai sejak abad 16 saat Portugis datang dan membutuhkan ruang
bagi kalangan mereka sendiri dan pribumi terpilih untuk belajar. Keberadaan
sekolah modern di Timur Indonesia, tepatnya di Maluku kala itu dilanjutkan oleh
Belanda dan semakin marak di abad 19 karena Belanda membutuhkan tenaga ahli
administrasi untuk menyokong sistem tanam paksa di berbagai regency.
Belanda bahkan membangun 20
sekolah di tiap ibu kota. Setelah tanam paksa berakhir, beberapa sekolah tetap
lanjut menjadi Sekolah Rakjat namun lebih banyak dibubarkan karena dianggap
bisa menjadi cikal pemberontakan pribumi. Ide sekolah selanjutnya terus
berkembang dan menggelinding, dan membesar baik secara terang-terangan maupun
secara bergerilya oleh kaum terpelajar dan cendikia.
Sekolah punya cerita jatuh bangun
yang panjang yang dipenuhi tantangan. Mulai dari pegaruh kolonialisme dimasa
penjajahan yang corak pendidikannya dibangun untuk menunduk pada penjajah. Sekolah
berorientasi mencetak pekerja untuk penjajah.
Lalu, pasca proklamasi pendidikan kita dibangun dengan membebek sistem
pendidikan di negara maju yang sama sekali berbeda kultur dan kehidupan sosialnya,
sehingga pendidikan di sekolah mengalami disorientasi. Setelah itu, sekolah
tumbuh dengan sarana dan prasarana yang nyaris menyedihkan dan tenaga pengajar
yang sangat sedikit.
Tantangan yang dihadapi sekolah,
tidak menyurutkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Kaum sekolahan adalah
kaum yang tercerahkan. Saat pembangunan mulai menyentuh desa, kaum sekolahan
punya kelasnya tersendiri. Walau begitu, masalah yang dihadapi di sekolah tidak
pernah hilang. Dalam banyak kasus, tantangan-tantangan didunia pendidikan
khususnya sekolah formal mulai mendapat jawaban. Menurut saya, salah satunya,
dengan munculnya sekolah swasta beserta
konsepnya yang lebih terbuka dan modern. Sekolah tersebut menyediakan fasilitas
yang mumpuni, tenaga pengajar muda yang inovatif, dan kurikulum yang
terbarukan. Namun, keberadaan sekolah swasta menjadi polemik tersendiri, karena
umumnya sekolah swasta didirikan oleh yayasan berbasis Kristiani, sehingga
masayarakat Islam yang mayoritas masih melihat sekolah modern tidaklah menjadi
jawaban.
Barulah di peretengahan dekade
90an, sekolah Islam mulai muncul di Jakarta. Kehadirannya menjadi alternatif baru
bagi pendidikan dasar anak. Kemunuculannya menjadi penyejuk di tengah kebutuhan
orang tua kelas menengah ke atas mencari sekolah yang bermutu bagi anak-anak
mereka. Keberhasilan sekolah Islam swasta di Jakarta, menjadi cikal bagi beberapa
daerah di Indonesia untuk melakukan hal
serupa. Di Makassar sendiri, fenemona maraknya Sekolah Islam Terpadu terlihat
di akhir 2000-an.
Kemunculan Sekolah Islam akhirnya
dianggap sebagai jawaban tepat bagi masyarakat kelas menengah keatas yang
khawatir dengan sekolah negeri beserta semua masalah yang dihadapinya. Mulai
dari kurikulum, sekolah swasata dalam hal ini Sekolah Islam mengaplikasikan
kurikulum terpadu, yang memadukan kurikulum Dinas Pendidikan dan kurikulum
internasional yang dibungkus dengan paketan pendidikan agama yang holistik. Jika
berbicara fasilitas, Sekolah Islam menyediakan fasilitas ruang kelas ber AC
yang nyaman dengan kapasitas dua puluh orang anak di dalam kelas dengan dua
wali kelas. Perpustakaan dengan buku-buku baru dan menarik, bahkan laboratorium
bahasa dan laboratorium komputer yang lengkap. Hanya mennggunakan jasa tenaga
pengajar yang muda dan terdidik (walau bukan dari jurusan keguruan) yang
dituntut untuk terus berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Proses belajar tidak lagi terpatok di dalam
kelas saja, guru-guru diharuskan memperkaya metode dan referensi dalam mendidik
anak-anak. Dan yang paling kelihatan, sekolah-sekolah swasta membuka keran-keran
komunikasi dan informasi dengan orang tua. Guru-guru dan manajemen sekolah
menempatkan orang tua sebagai rekan kerja dalam mendidik anak-anak. Dan hal
itulah yang menjadi jualan utama di sekolah swasta. Sekolah swasta membangun
rasa percaya, rasa dekat dan rasa aman orang tua melepaskan anaknya di sekolah,
dari pagi hingga sore hari. Langkah-langkah maju tersebut, adalah hal yang akan
dibayar mahal oleh orang tua. Makanya, bukan rahasia lagi jika biaya sekolah
dasar swasta hari ini jauh melambung tinggi dibandingkan membawa anak ke bangku
kuliah di perguruan tinggi negeri.
Lalu, apa kabarnya sekolah dasar
negeri saat sekolah swasta sibuk memperkaya metode dan inovasi ? Alih-alih
termotivasi, Sekolah dasar negeri hampir tidak bergerak sama sekali. Setidaknya
yang saya lihat di sekitar. Yang paling
menonjol adalah kualitas tenaga pengajar yang tidak ter-upgrade. Mengajar dengan
metode yang sama dari tahun ke tahun, mengandalkan buku, memaksa anak-anak
duduk tenang dengan tumpukan pekerjaan rumah setiap hari. Hingga hal-hal kecil
bahkan, semisal, sampul buku yang harus seragam dengan memakai kertas berwarna
atau tulisan anak-anak yang wajib tegak bersambung. Bayangkan, saya mendapati
metode yang sama saat duduk di Sekolah Dasar diberikan kepada anak saya 20
tahun kemudian. Ketika mendapati itu di hari pertama dia sekolah, saya
berkecamuk di dalam hati, berdisksusi dengan suami, mempertimbangkan baik
buruk, melihat banyak hal secara menyeluruh. Dan tentunya setelah menanyai anak
kami, perihal apakah ia besenang-senang di sekolah atau tidak. Kami memutuskan
untuk lanjut.
Pertanyaannya kemudian, kenapa
saya masih mengandalkan sekolah negeri untuk anak saya di tengah semua
kekurangan-kekurangannya yang mungkin akan menghambat hal-hal baik dalam
hidupnya? Karena sejak awal, saya percaya bahwa sekolah bukanlah lahan ilmu
satu-satunya, perihal fasilitas dan akses terhadap pengetahuan yang mungkin
masih monoton di sekolah masih bisa kami atasi di rumah. Saya pun terlibat
aktif dalam semua proses yang saya lihat dan tidak saya lihat di sekolah,
melalui anak saya. Tapi yang paling
utama, di sekolah negeri, anak-anak akan menjumpai banyak teman sebayanya yang
tidak melulu sama dengan dirinya, baik dari sisi ekonomi, kehidupan sosial, dan
latar belakang keluarga. Mereka akan menjumpai temannya yang kaya, miskin,
sabar, nakal, suka membully, suka memukul, suka menolong, dan atau suka
meminjam barangnya. Dia akan belajar bagaimana berinteraksi dengan semua jenis
manusia yang ia temui setiap hari, siapa yang harus ia akrabi, siapa yang harus
ia jauhi, siapa yang harus ia tonjok, siapa yang harus dia ajak bicara, siapa
yang harus ia tolong. Dia belajar bersyukur, belajar menjaga dirinya, belajar
mengenal haknya dan mempertahankan dirinya. Dan menurutku hal itu tidak bisa dia
dapatkan di sekolah swasta karena anak-anak dari keluarga berpenghasian cukup apalagi
kecil tidak mungkin memilih sekolah dengan pembayaran selangit.
Menurut saya, hal tersebut adalah
keunggulan yang sayangnya tidak disadari oleh sistem pendidikan kita. Dengan
ragam latar belakang keluarga di sekolah dasar negeri, akan membuat anak-anak
belajar tentang hidup sejak dini. Karenanya, yang perlu dibenahi adalah tenaga
pengajar yang sudah ada. kurikulum kita boleh canggih mengadopsi kurikulum
Finlandia yang keren itu, misalnya. Tapi, aplikasinya tentu beda jika dilakukan
oleh guru yang pengetahuannya tidak di- upgrade.
Kebanyakan guru sudah tua dan malas belajar, guru-guru yang muda kebanyakan
memilih mencari jalan mudah dengan membebek sistem yang ada. Evaluasi dan
mentoring yang selama ini ada, pastinya tidak berjalan maksimal.
Mengandalkan sekolah dasar negeri
untuk anak-anak Indonesia, bukanlah hal yang utopis. Dan menjadikannya rujukan
bagi sekolah lain, pun harusnya bisa dilakukan. Toh sekolah swasta awalnya pun
merujuk sekolah negeri namun dengan lonjakan inovasi yang patut diacungi
jempol. Sekolah negeri pun bisa melakukan hal yang sama dan sudah sepatutnya
harus diupayakan. Karena pendidikan yang bermutu mestinya dirasakan oleh semua
anak, karena fasilitas sekolah no 1 juga harusnya bisa diakses oleh anak-anak
yang tidak bisa membayar uang bulanan sekolah, karena mereka juga berhak
diajari dengan kasih sayang, dididik sepenuh hati oleh guru-guru yang
berkualitas. Karena masa depan bangsa kita tidak hanya milik anak-anak yang
bisa membayar mahal untuk sekolah.
Harnita Rahman
Komentar
Posting Komentar