Nestapa dan Bahagia di malam Minggu

Cerita ini seharusnya selesai kuceritakan dipenghujung minggu kemarin namun karena kesibukan liburan (agak) panjang kemarin dan rasa malas untuk menulis yang benar-benar membuncah akhir-akhir ini hingga akhirnya cerita ini baru bisa kuceritakan. Cerita ini istimewa menurutku dan karenanya mesti dituturkan karena bercerita tentang pengalamanku mendatangi konser musik. Item cerita yang dua tahun kemarin paling sering kututur di halaman blog keluarga kecilku dan belakangan justru paling jarang kuceritakan, selain karena memang kebiasaan nulis di blog kian hari makin menyusut. Karenanya, pagi ini cerita itu harus kukabarkan segera J
Cerita ini tentang kabar “baik” dan “tak terlalu baik” saat dan setelah mendatangi sebuah konser “kecil” di kota yang kadang kucaci ini tapi tak pernah mau benar-benar jauh darinya. Nah, silahkan pilih kabar mana yang mesti lebih dulu kuceritakan! Oke, mari menceritakan yang tak terlalu baik dulu biar akhirnya bisa bahagia seperti sinetron-sinetron yang membosankan itu.
Sejak dua minggu lalu, sebuah poster sederhana dengan desain menarik telah tertempel agak tak rapi dan menutupi beberapa stiker yang sudah lebih dulu tertempel di kaca jendela yang berhadapan langsung dengan garasi Kedai Buku Jenny. Poster itu untuk sebuah konser band metal menurutku sangat tidak “metal.” Namun bagiku kesederhanaannya membuatku semakin tertarik untuk mendatanginya. Meski saya sebenarnya tak terlalu menikmati konser-konser metal kecuali saat menyaksikan para personil band yang seakan saling memburu dengan “tembakan-tembakan” senapan otomatis dan tentu dengan skill tingkat tinggi pula. Membayangkan suguhan itu beserta paket head banging berjamaan di depan stage semakin membuatku tak sabar untuk berada di keriuhan itu meski tak terlalu dekat seperti biasanya jika saya mendatangi konser metal. Dan disamping semua bayangan hingar bingar itu, yang lebih penting karena salah satu drummer yang akan main “solo” malam itu adalah sahabat kami. Dialah yang menempelkan poster secara tak rapi itu di jendela yang berhadapan langsung dengan garasi kedai Buku Jenny dan menutupi stiker yang telah lebih dulu tertempel manis disana.
Akhir minggu kemarin, Dead of Destiny (DOD), salah satu band “maju” di kota ini menggelar konser bertajuk Live Unrough di sebuah kafe kecil di bilangan Jalan Emmy Saelan yang tiap malam menmberikan suguhan live music. Konser yang tak diisi oleh band pembuka ini, dihelat untuk kembali merilis album DOD Kotak Berisi Dosa. Di Kedai Buku Jenny, CD mereka telah lama sold out oleh para tetamu yang datang dari luar kota dan “haus” dengan rilisan-rilisan lokal Makassar.
Saat hari konser telah tiba, saya memastikan bisa datang apalagi neneknya maha hari itu juga baru tiba dari Bone untuk merayakan Idul Adha di Makassar, jadi ada yang bisa menemani Ibunya maha dan dua jagoan kecilku. Ini kali pertama keluarga di Bone merayakan hari besar ini di Makassar dan sepertinya konser ini memang “jodohku.”
Malam sudah menampakkan tajinya, keluarga kecilku sudah diboyong neneknya ke rumah kakak iparku dan itu berarti tinggal menyiapkan segala sesuatunya untuk konser itu. Tapi nestapa selalu jadi bayang-bayang segala sesuatu yang terlalu diingini dan malam itu terbukti. Setelah magrib, saya masih santai menikmati suguhan unplugged dari Next Delay, sebuah band baru yang sangat Pure Saturday itu. Mereka akan tampli di konser sebuah choir group kampus di sebuah hotel ternama, jadi suguhan magrib itu adalah latihan menuju konser. Saya menikmatinya dan lupa jika nestapa itu terus membayangi.
Azan isya telah cukup lama berlalu dan kami masih di garasi Kedai Buku Jenny sambil sesekali melirik ke lini masa twitter memastikan jika konser belum dimulai. Kami juga belum bisa berangkat karena tetangga sebelah masih mandi dan dia memang selalu agak lama. Kami santai karena di kepala kami tak ada konser yang benar-benar tepat waktu. Dan disanalah nestapa bermulai.
Jam 8 malam kami baru beranjak dari Kedai Buku Jenny dengan senyum sumringah. Saya bersama dua teman bersama dalam sebuah mobil dan sisanya mengendarai dua motor. Di timeline KBJ kutulis, keluarga kecil Kedai Buku Jenny sedang menuju konser DOD. Bayangan akan perayaan akhir pekan yang berselera terus memenuhi kepala.
Kami tak langsung ke venue konser karena harus menjemput seorang teman. Pokoknya total waktu yang dihabiskan untuk menjemput dan kemudian ke kafe tempat konser dihelat kira-kira sejam lebih. Perasaanku mulai tak nyaman saat melintas di depan kafe dan kudengar hentakan drum “penghabisan” yang disambut tepuk tangan dan gemuruh “kepuasaan.” Berusaha tak panik dan turun segera dari mobil hingga kemudian pacar si drummer mengabarkan kalau perayaan telah usai. Kami telat dan “mading sudah keburu terbit.”
Saya dan beberapa teman yang telat memutuskan untuk segera beranjak dari halaman kafe itu. Dari kejauhan kulihat si kawan yang juga drummer DOD dan malam itu kulihat mengenakan kaos U Can See lengkap dengan stick drum yang tergenggam benar-benar terlihat lelah setelah delapan lagu tanpa henti selama sejam lebih, sama dengan waktu yang kami tempuh menuju venue itu, namun senyum khasnya tetap tersungging untuk siapa saja yang ditemuinya malam itu. Tak sempat lagi memberinya ucapan selamat meski beberapa teman mengajak untuk masuk kedalam. Kupikir dilain tempat juga bisa mengucapkannya. Tapi saya benar-benar kecewa karena nestapa ini benar-benar terjadi. Dan seingatku ini kali kedua saya sudah berada di venue konser namun akhirnya tak bisa menontonnya. Yang pertama saat konser Frau di Jogja yang juga sudah kuceritakan di blog keluarga kecilku. Ya, sudahlah! Saatnya mencari kabar baik…
Beranjak dari ruang nestapa, masih dengan personil yang sama kami menuju rumah si empunya mobil di sebuah kompleks lumayan elit di daerah tanjung. Di perjalanan, baru teringat kalau Tim Nasional U 19 sedang berlaga untuk memperebutkan tiket menuju final Piala Asia yang akan digelar di Myanmar tahun depan. Lawannya tidak tanggung-tanggung, Korea Selatan, yang telah menjuarai piala itu sebanyak lima kali. Saat sampai di depan rumah si empunya mobil, kedudukan sudah 1-1. Kami tak lama di rumah itu karena si teman hanya mengecek dan menyalakan lampu rumah yang belum lama ia huni. Saat kami hendak beranjak, tiba-tiba terdengar suara gemuruh maha dahsyat yang datang dari kejauhan, arah tepatnya kami tak tahu. Awalnya saya mengira kalau itu suara mesin, tapi semakin dekat semakin jelas kalau itu teriakan gol dari orang-orang yang sedang nonton bareng. Dari lini masa twitter kami segera mengetahui kalau Evan Dimas baru saja mencetak gol untuk keunggulan Indonesia, 2-1. Dan sepertinya nestapa akan segera beranjak pergi.
Kami segera berbegas, tujuan berikutnya adalah tempat yang bisa makan-makan dan juga bisa nonton bola. Karena sebelumnya sudah janjian dengan teman-teman lain untuk nongkrong di penjual sarabba Sungai Cerekang yang termasyhur itu, maka dengan segera kami menuju tempat itu. Tak butuh waktu lama untuk sampai disana karena malam itu tak ada kemacetan mungkin karena banyak yang lebih memilih untuk nonton bola bareng ketimbang berwara-wiri di jalan raya meski itu di malam minggu. Dan memang di sepanjang jalan menuju Sungai Cerekang kami menyaksikan beberapa kumpulan orang yang sedang menunggu-nunggu kejutan dari timnas  masa depan ini.
Sesampai di Sungai Cerekang, kami ke tempat langganan meski ia tak memiliki tivi namun ternyata teman-teman belum juga sampai. Segera kami mencari tempat lain yang punya tivi. Tak perlu lama karena tak jauh dari tempat pertama kami melihat beberapa orang paruh baya yang sedang menyaksikan laga hidup mati Indonesia-Korsel malam itu dan kesitulah mobil diparkir.
Saat mulai menonton, waktu permainan sudah menunjukkan menit-menit 80 an. Dan belum lama berdiri dibelakang beberapa orang tua yang sedang menyaksikan laga malam itu, kami bersorak keras setelah Evan Dimas menyempurnakan kerjasama kedua temannya di sayap kanan menjadi sebuah gol cantik. Benar-benar cantik karena gol itu sangat skematik alias by design dan skema itu tentu tidak alamiah datangnya tapi melalui latihan yang berkelas tinggi. Sudah lama tidak teriak sekeras itu, terakhir saat Indonesia main di piala AFF beberapa tahun lalu yang kemudian kalah oleh Malaysia dan tak lama setelahnya di SEA Games dan akhirnya juga kalah di babak final.
Tapi gol Evan Dimas dan gegap gempitanya malam itu, bukan satu-satunya cerita menggembirakan malam itu. Yang justru membuat saya dan beberapa teman sumringah justru perilaku dan celetukan-celetukan khas Makassar dari bapak-bapak yang lebih dulu berada di depan warung sarabba dan menonton Evan Dimas cs beraksi malam itu. Puncaknya saat Maldini, pemain asal Sulbar, yang banyak memberi assist bagi Evan Dimas malam itu dikeluarkan beberapa saat setelah gol ketiga Indonesia dan tak lama kemudian Korsel mencetak gol keduanya. Si bapak yang duduk tepat di sampingku lalu berujar “itumi ko ganti Maldini padahal dia tommi yang ada jinna.” Kalau diinterpretasi kira-kira si bapak mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan digantinya Maldini karena menurut penerawangan si bapak justru Maldini lah yang punya jin dan membantu kemenangan Indonesia malam itu. Dan lucunya karena si bapak mengucapkannya dengan wajah serius sambil marah-marah. Tidak cukup sampai disitu, si bapak tepatnya kakek yang duduk disebelah bapak tadi juga tak kalah marahnya dengan pergantian si Maldini. Ia berujar dengan ucapan “kasar” khas Makassar “inimi ini gara-gara dikasi keluar Maldini, kabulammaka.” Saya dan Aswin yang paling jelas mendengar kedua celotehan tadi benar-benar dibuat terpingkal dan tertawa sampai lelah. Sudah lama tak mendengar celotehan lugu seperti itu. Dan yang terpenting bapak-bapak itu, kami, dan jutaan rakyat Indonesia untuk sesaat bisa keluar dari nestapa-nestapa akibat ulah elit-elit republik ini yang semakin tak tahu malu itu dan tersenyum bahagia. Ya, meski sarabba di Sungai Cerekang malam itu tak seenak dulu lagi dan tak bisa menyaksikan si kawan beradu cepat dengan stick drumnya tapi kami pulang dengan bahagia.

What a happy ending!

Terima Kasih Evan Dimas cs!

Bapakmahasuar

Kedai Buku Jenny, 17 Oktober 2013

Komentar

Postingan Populer