Suar, Rasa Takut dan Tonarigumi
Salah satu hal yang seringkali membuat saya merasa tidak
adil terhadap Suar karena ia seingatku belum terlalu banyak menjadi tema
tulisan-tulisan kami –bersama Ibunya maha- di blog yang kini telah berganti
nama menjadi keluargaketjil ini. Padahal dibanding maha, Suar lebih banyak
memiliki sisi yang harusnya menjadi topik-topik tulisan kami. Dengan
mobilitasnya yang super duper luar biasa harusnya kisah-kisah bertajuk “Sepuluh
Aksi Berbahaya a la Suar”, “Lima Benda Yang Harus Kau Jauhkan Ketika Suar Di
Dekatmu”, atau “Mengapa Kami Selalu Bersuara Dengan Nada 7 Oktaf Kepada Suar”
sudah harus nangkring manis di blog keluarga ini. Tapi Suar
sepertinya tak seberuntung ketika maha seumurnya dulu. Saat itu, khususnya
saya, sedang dalam masa produktif menulis sehingga tingkah laku maha seminor apa pun akan menjadi
tema menarik untuk ditulis.
Tapi niatan untuk mulai menuliskan kisah Suar tentu tak
pernah saya kubur ditengah rasa frustrasi saya yang tak kunjung menemukan
semangat untuk kembali menjadi kontributor aktif di blog ini.
Nah, ini cerita tentang Suar yang kini berusia 3 tahun
lebih dengan codet di dahi yang untungnya tak sedikitpun mengurangi rasa gemes
para kakak-kakak mahasiswi di kampus. Yang sekaligus membuat iri para
kakak-kakak mahasiswa….hahahaha
Mari kita mulai.
Meski sebenarnya tak bagus bagi pertumbuhan anak, banyak
orang tua akhirnya harus menciptakan tokoh-tokoh menakutkan atau menyeramkan
untuk si anak yang terlalu aktif. Niatnya baik sebenarnya. Biar si anak tak
melakukan hal-hal yang dapat membahayakan atau melukai. Atau cara ini biasa
digunakan saat energi tak lagi cukup untuk menuruti semua gerak gerik si kecil.
Dan entah sejak kapan cara ini digunakan untuk Suar yang kecepatannya selalu
diatas 120 Km/jam.
Tak seperti anak yang lain yang seringkali diancam dengan
tokoh-tokoh standar seperti polisi atau tentara, Suar justru gentar ketika kami
menyebut tokoh penguasa teritori kompleks, Pak RT. Saat tingkah laku Suar sudah
diambang tak wajar bagi kami dan cenderung membahayakan atau mengganggu orang
lain, maka mantra sederhana yang akan kami rapal cukup sederhana, “Telpon Pak
RT cepat”. Dan dalam sesaat semuanya akan kembali hening dan Suar seperti
kehilangan energinya. Dan buru-buru minta dicas dengan sebotol dot susu dengan
takaran air 200 mili dan susu bubuk empat sendok teh penuh.
Sampai detik ini sebenarnya kami belum tau siapa yang
pertama kali menciptakan tokoh yang begitu menjadi momok bagi Suar ini. Saya
juga tak ingat pasti kapan pertama kali Suar mulai gentar kepada tokoh yang
selalu mampu menginterupsi hasrat “liar” nya dan kemudian membuatnya menjadi takluk.
Dan karena semua pertanyaan-pertanyaan ini masih menjadi misteri bagi kami
semua, maka tentu kami agak kesukaran memecahkan sebab musabab dibalik rasa
takut Suar kepada Pak RT.
Tapi dua hari lalu tabir pelan-pelan mulai terkuak.
Ceritanya berawal ketika saya menemukan video kuliah Hilmar
Farid di Simposium ‘Makan Nggak Makan Asal Kumpul’, yang
merupakan bagian dari helatan Jakarta Biennale 2015 di Youtube. Video ini lah
yang mengantarkan saya ke video lain yang berbentuk arsip audio yang bertajuk Gurafiku 1942-1945 yang juga menghadirkan Hilmar Farid
sebagai penanggap untuk presentasi Antariksa dari Kunci Cultural Studies Centre
Jogjakarta yang mempresentasikan risetnya tentang Seni Rupa dan Kolektivisme
Seni di Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Sesi presentasi ini sendiri
dihelat oleh Komunitas Desain Grafis Indonesia.
Dari arsip audio yang berdurasi hampir dua jam setengah
itu, saya mendapat gambaran awal tentang bagaimana perkembangan seni rupa di
Indonesia di era pendudukan Jepang dari presentasi Antariksa dan penjelasan
tentang konteks praktik kebudayaan –termasuk seni rupa- di masa Jepang dari
Hilmar “Fay” Farid.
Fay menjelaskan bagaimana pengaruh pendudukan Jepang dalam
berbagai sektor yang bahkan hingga kini masih kita jalankan. Dalam urusan tata
ruang misalnya, Jepang membangun sistem yang dapat memudahkannya untuk
mengelola dan mengatur masyarakat hingga struktur paling bawah. Sistem yang
memiliki dimensi kontrol dan dominasi yang ketat ini, oleh Jepang diberi nama Tonarigumi atau yang lebih kita kenal sekarang
dengan istilah Rukun Tetangga/Rukun Warga (RT/RW). Sistem warisan Jepang ini
lalu diadopsi oleh rezim Orde Baru dengan menerapkan sistem kontrol terhadap
masyarakat yang jauh lebih ketat dibanding pada masa pendudukan Jepang.
Saat mendengarkan penjelasan Fay tentang Tonarigumi ini, saya tersenyum sendiri seolah
telah mendapatkan titik terang soal rasa takut yang tak terkira yang selalu
ditunjukkan oleh Suar ketika ia mendengar nama Pak RT. Saya menengarai bahwa
sikap Suar tersebut sangat politis. Melalui aksinya, yang saya kira dilakukan
secara teatrikal, Suar secara sarkastik mencoba menunjukkan kepada siapa saja
bagaimana struktur yang bertujuan untuk “mengelola” masyarakat namun tidak
dibangun dengan prinsip-prinsip partisipasi dan demokrasi substansial dapat
berhujung pada dominasi dan penundukan. Dan kondisi tersebut tentu akan sangat
mengancam tidak hanya bagi sistem demokrasi kita, namun lebih jauh ia akan
mengancam hak-hak kita yang paling azasi.
Issengko Suar deh...
saat Suar lagi demam
bapakmahasuar
Wesabbe, 7 November 2016
Komentar
Posting Komentar