Sayangnya.....
Pada dasarnya, saya seperti kebanyakan orang yang mencintai
segala hal yang gratis. Saya tidak susah diajak makan, diajak jalan, atau
menikmati fasilitas-fasilitas yang seharusnya membutuhkan biaya. Dalam porsi
yang masuk akal tentunya. Namun, beberapa malam lalu, setelah mendapatkan
secara gratis file film Uang Pana’i dari seorang kawan, yang juga ia dapatkan
gratis, hal ini berasa penting untuk saya tuliskan. Hal ini menjadi satu dari
beberapa hal gratis yang akhirnya tidak bisa kunikmati.
Saya memang bukan pecinta genre film komedi, namun masih ada
beberapa yang tetap saya sukai, dalam arti saya mungkin tetap akan menunggu
hingga kisahnya berakhir. Karena alasan selera, walau film ini gencar di
timeline beberapa akun media sosial, saya tidak tertarik menontonnya.
Satu-satunya factor yang membuat saya ingin menontonnya, karena film ini pasti
memakai logat Makassar. Maka, jadilah malam itu, kami (saya dan komrad)
memutuskan menghabiskan malam dengan menonton film ini di rumah.
Sebelumnya, Ana (tantenya mahasuar) sudah menontonnya dan
pulang dengan banyak penyesalan sekaligus kekesalan. Walau kami berdua hampir setipe dalam soal
tontonan, saya tidak ingin langsung percaya dengan semua hal yang tidak positif
yang keluar dari mulutnya. Saya
penasaran, kenapa banyak orang yang menontonnya. Dan keputusan saya benar,
untuk mengetahui bagus tidaknya, saya mesti menonton.
Dan, hingga hampir menit ke-40, saya menyatakan menyerah.
Saya tidak bisa menonton hingga akhir. Entahlah, saya tidak punya alasan yang
memungkinkan saya bertahan. Jika dianggap film komedi, film ini tidak lucu.
Tokoh Tumming dan Abu menurutku terlalu berlebihan dalam melakoni perannya.
Candaan candaan yang akrab di telinga kita oleh Tumming dan Abu, dikemas
terlalu kasar di film ini. Mereka jauh lebih original saat berlakon beberapa
detik via akun instagram. Candaannya terlalu dipaksakan, sejak pertama. Jika
ini dikatakan film drama romantic, sama sekali bukan. Kisah percintaan yang diangkat sangat mencla-mencle
dan kacangan. Tidak satupun adegan romantic Anca dan Risna yang buat kita
malu-malu seperti saat menonton film cinta lainnya. Atau adegan yang buat
jantung ini dag dig dug. Tidak, film ini bukan drama romantic sama sekali.
Apalagi jika ada yang mencoba mengatakan kalau film ini adalah film yang
mengangkat tradisi budaya Makassar. Tidak, Bugis Makassar dalam film ini hanya
termaktub dalam judulnya, orang-orangnya, cara bicaranya, dan latarnya.
Uang pana’I adalah tradisi yang disepakati oleh orang Bugis
Makassar sebagai salah satu syarat menikah. Walau bukan menjadi syarat sah,
tapi Uang Pana’I menjadi wajib diberikan kepada calon mempelai wanita oleh
laki-laki yang mempersuntingnya. Tradisi ini di banyak sisi menjadi polemik
yang tidak berhenti dan dalam banyak kasus menjadi penghalang bagi banyak orang
untuk membangun rumah tangga. Derajat dan prestise keluarga biasanya diukur
dari seberapa banyak atau seberapa besar uang Panai yang mereka terima. Betul bahwa mempelai laki-laki seyogyanya memberi
hadiah pada calon istrinya, sebagai bentuk cinta, luapan kegembiraan. Tapi
tidak dengan Uang Pana’I yang berlebihan. Yang aneh, tingkat pendidikan
seseorang tidak menjamin mereka memahami hal ini dengan baik. Bahkan tingkat
pendidikan anak perempuan menjadi alasan kuat untuk menaikkan nomina uang
pana’i. Kabar buruknya, perempuan-perempuan berpendidikan yang akan menikah
justru mengamini hal tersebut. Seolah-olah pernikahan adalah kesempatan besar
untuk mendapatkan uang dan menghamburkannya dalam dua malam. Usaha untuk
bernego seolah ditutup, dan pasrah pada keluarga. Uang pana’I menjadi
kemutlakan. Pernikahan dikelola serupa
bisnis, berpatok pada dua hal. Untung dan Rugi.
Sayangnya, film ini hanya menegaskan semua hal itu. Dan
lebih sayangnya lagi, tidak ada hal baru yang diangkat. Film itu bahkan
mengambil adegan adegan penting dengan kemasan yang murahan. Saat “mammanu’manu’”
saat lamaran, semuanya dikemas tidak masuk akal. Tidak ada totalitas didalam
film ini. Mulai dari ide, kekuatan naskah,
property, atau hal-hal yang berbau sinematografi. Semuanya dangkal, tanpa
penelitian mendalam. Bahkan adalah kesalahan besar mengaitkan Uang Pana’I
dengan prinsip “taro ada taro gau”. Prinsip laki-laki Bugis Makassar itu, tidak
semestinya menjadi pijakan bagi Anca atau laki-laki manapun untuk
melakukan hal-hal di luar batas kemampuannya demi mendapatkan seratus sekian
juta untuk pernikahan. Uang Pana’i adalah hal yang negosiable. Dan sama sekali
tidak ada nilainya dibandingkan perjalanan yang pernah dan akan ditempuh oleh dua anak manusia dalam
hubungan suci pernikahan dan cinta yang anggun. Dan mestinya pernikahan tidaklah meberatkan
satu pihak.
Bisa jadi film ini hanya berupaya mengangkat fenomena-fenomena yang memang kerap terjadi di dekat kita.
Tidak salah memang. Tapi, kesempatan untuk dilihat oleh khalayak yang lebih
luas, mungkin tidak akan datang dua kali.
Produksi film ini 80% dikerjakan
oleh anak-anak muda Makassar. Mereka punya dana, mereka punya jejaring, mereka
punya bakat, tapi sayang mereka tidak punya selera. Kesempatan langka itu digunakan dengan tujuan “mengocok perut” semata. Bahkan parodi-parodi mahasiswa di
inaugurasinya pun tetap berusaha menyelipkan nilai-nilai yang mereka yakini
benar.
Entahlah, mungkin hal
terakhir ini yang paling membuat saya muak, karena banyak orang yang
menontonnya dan mengacungkan jempol akannya. Atau mungkin, saya berada di zaman dimana orang-orang
sudah sepakat bahwa hal-hal penting bisa selesai dengan guyonan. Sebagai penikmat film, saya percaya bahwa film bukanlah sekedar kumpulan adegan. Bukanlah sekedar sarana hiburan. Film adalah ruang bagi sekumpulan orang untuk bercerita, maka ceritakanlah hal-hal baik.
Atau mungkin
saja, saya yang terlalu serius.
2 November 2016
ibumahasuar
Komentar
Posting Komentar