Dari Kebanggan Semu Sampai Kisah Atirah
Semua orang punya potensi untuk mencintai dirinya secara
berlebihan. Nasionalisme sempit, menurut perkiraan dangkalku bisa saja berasal
dari sifat alamiah ini. Kita mencintai apa yang ada dalam diri kita, dan kadang
terlalu memperjuangkannya. Mencintai asal usul kita. Hal yang paling sederhana,
misalnya saya masih ingat bagaimana senangnya kami sekeluarga menunggu salah
satu sinetron yang ditayangkan di satasiun televisi swasta sekali seminggu
berjudul Sharmila. Kita tidak hanya menunggu kelanjutan ceritanya, tapi secara
spesifik kita menunggu kemunculan salah satu tokoh yang diperankan Rina Hasyim
yang menggunakan dialek Makassar. Dan
bukan hanya saya dan keluarga, semua tetangga, juga menunggu hal yang sama.
Entah kebanggan itu sifatnya apa, kita hanya sekedar bangga saat kita menyadari
tokoh itu mewakili kita.
Lalu, saat ajang pencarian bakat mulai menjamur di televise,
kebanyakan kita membanggai saat orang satu daerah kita terpilih. Bahkan banyak
yang mengorbankan dana agar orang yang sedaerah dengannya menang. Apalagi, jika
orang itu serta merta tidk meninggalkan ciri khasnya. Kita senang saat artis ibukota datang dan
menyapa kita dalam Bahasa Daerah. Mereka yang punya kelebihan harta bahkan
tidak segan-segan menukar semua itu dengan jumlah yang besar. Kita bangga saat
salah satu putra daerah kita menjadi orang penting di negara kita. Kebanggan
kebanggan itu, di sisi lain menjadi landasan pikir yang menurutku rapuh.
Semakin ke sini, tanah Makassar yang menjadi representasi
kemajuan di wilayah Timur Indonesia,
mulai dilirik pasar. Semua sisi kehidupan di Makassar mulai menarik atau
tepatnya seksi untuk dijadikan komoditi. Mulai potensi wisata, budaya, tradisi,
kuliner, hasil alam, sampai geliat kreatif anak mudanya. Hal itu disadari pula
oleh pelaku industri film. Film tentang Timur Indonesia mungkin beberapa kali
telah diangkat. Namun, tidak pernah secra menyeluruh. Dua bulan terakhir ini,
penggemar film Tanah Air disuguhi dua film yang berlandaskan tradisi di
Makassar. Uang Panai dan Athirah.
Dua-duanya, tentunya berharap akan mengangkat nilai-nilai kehidupan
Bugis Makassar dan memadatkannya dalam durasi tidak lebih dari 120 menit.
Saya memang tidak punya niat menonton Uang Pana’I, film
apapun yang bergenre komedi tidak pernah bisa membuatku mengorbankan uang
apalagi waktu. Ini persoalan selera. Lagi pula, saya belum bisa mengajak dua
lelaki kecil saya untuk nonton bersama. Dan keenggananku semakin bulat, saat
mendengar adikku menceritakan filmnya. Saya seharusnya tidak boleh langsung
percaya, tapi untuk urusan selera dan muatan film, biasanya saya sepakat dengannya. Berbeda dengan Uang
Panai, saya sengaja menyempatkan waktu untuk menonton Athirah di akhir minggu kemarin. Tentunya
karena mahasuar sedang menghabiskan waktu dengan neneknya.
Hingga sekarang, saya belum bisa mencari kata yang tepat
untuk menggambarkan film ini. Saya masuk di Studio, saat film telah berjalan
sekitar 5 menit. Beberapa orang tertawa,
pasti karena dialek yang kental. kami mulai menikmati film. Saya merasakan cerita
yang sangat lekat denganku. Bukan hanya kerena mengenal beberapa pemeran
filmnya secara personal, tapi film ini menyajikan menu makanan yang kita makan,
memperlihatkan pesta pernikahan yang kita kenal, menyebut kata yang kita sering
sebut, mengunjungi tempat yang sering kita datangi, menyanyikan lagu yang
selalu kita nyanyikan, bahkan memakai sarung seperti yang kita pakai.
Menurutku, film ini berhasil menyajikan kembali segala yang
kita kenal tentang Bugis Makassar. Dialek, lagu, bunyi, makanan, sarung, alat
music, dan pesta pernikahan. Setting tempat juga tidak kalah bagusnya. Hampir semuanya.
Hanya saja, menurutku penyajiannya terlalu padat.
Secara keseluruhan saya menikmati film ini, walau sebenarnya
menyayangkan ide penguatan tokoh untuk Athirah. Sebagai perempuan berdarah
Bugis, menurutku ide untuk mengangkat sisi Athirah sebagai perempuan kuat yang
tabah, bukanlah hal yang baru. Athirah digambarkan tetap lapang menerima
suaminya setelah ia diperlakukan tidak adil. Suaminya menikah dan lebih banyak
bersama istri mudanya, tidak dijadikan alasan oleh Athirah untuk mengurangi
perannya sebagai istri. Ia tetap menyajikan makanan untuk suaminya,
menyambutnya, bahkan melayaninya di ranjang dengan ikhlas, seolah tidak terjadi
apa-apa. Sekali lagi hal itu, bukanlah
hal yang baru.
Hampir semua perempuan akan melakukan itu, pada zaman Athirah. Mungkin hingga sekarang??? Bukan hanya
di Bugis saya kira. Pola pikir patriarki telah dipelihara dengan baik oleh
buyut kita. Mereka terlanjur percaya bahwa berkah hidupnya adalah bersama
suaminya. Menerima suami apa adanya, baik dan buruknya, adalah kemutlakan bagi
perempuan di zaman itu. Segala perkara
dalam rumah tangga yang berujung poligami atau perceraian, maka sumber
masalahnya akan ditujukan pada sang istri. Jika ada beberapa yang memilih
membangkang, itu berarti kau mereka telah siap menerima sanksi sosial yang jauh
lebih berat. Apa yang dilakukan oleh
Athirah sebagai ibu dan sebagai istri yang kuat
dan tabah, setauku juga dilakukan oleh hampir semua perempuan di kala
itu. Karena itu, menurutku mengangkat ide itu bukanlah hal yang terlalu menarik.
Menjual, iya.
Yang menarik bagi saya adalah saat melihat Athirah yang bahagia saat mulai
berdagang. Dia menemukan dirinya,
dan menggapai kembali hidupnya. Saya menyanyangkan, itu tidak diulik lebih
dalam. Menurutku, di sisi itulah Athirah menjadi berbeda. Bahwa ia tidak jatuh
terpuruk saat prahara menimpanya. Ia tidak berdiam diri dan sibuk mencari
kekurangannya, seperti yang kebanyakan perempuan lakukan. Ia justru membangun
kekuatan ekonominya sendiri. Ia berdagang sarung, ke penjuru daerah, ia
menginvestasikan uangnya dalam bentuk emas yang akhirnya ia berikan pada
suaminya saat mengalami kebangkrutan tersapu krisis. Saya kecewa karena kisahnya berhenti di situ.
Padahal menurutku, di situlah awal cerita harusnya bermula. Karena saya yakin,
Athirah menulis ulang perjalanan usahanya. Menjadi pengusaha perempuan yang
mandiri. Sisi itu, menurutku, jauh lebih inspiratif dibanding bagaimana ia
mengatasi luka hatinya.
Film ini berhasil menyuguhkan Bugis Makassar. Satu terakhir,
part terfavorit saya adalah saat Jajang C. Noor yang berperan sebagai ibunda
Athirah, menyayikan “Mate Colli” dengan menyayat. Membuat saya emosional, dan terhempas ke
masa-masa kecil dimana lagu itu sangat akrab di telinga. Suaranya mengingatkan
saya pada nenek yang lebih banyak
mengaji daripada menyanyi. Tapi jika menyanyi, selalu memilih lagu itu.
Tidak lepas dari semua hal di atas, saya tetap bahagia
menontonnya. Itu wajar, karena saya seperti melihat sebagian kehidupan saya diceritakan ulang. Dan yang paling
terakhir, setiap perempuan memiliki kisahnya masing-masing. Mereka akan
menerjemahkannya sendiri, apahak ia derita atau kelak akan jadi bahagia. Kacamata
kita kadang tidak bisa menilai besar kecilnya masalah yang mereka emban. Sebagian
akan jatuh, sebagian terpuruk, namun lebih banyak yang bangkit berdiri. Athirah, salah satunya.
Lebih lengkapnya, kalian boleh menontonnya. Bersama keluarga
dan orang terkasih, pastinya akan lebih membahagiakan. Dan membanggakan.
11 Oktober 2016
ibumahasuar
Komentar
Posting Komentar