Akhir Minggu Bersama Buku dan Karaeng Pattingalloang
Setiap ujung minggu akan
datang, kami sekeluarga kecil ini biasanya mulai merancang dan merencanakan
agenda bersama di akhir minggu. Untuk proses ini, kami cukup demokratis.
Menerima dan mendiskusikan setiap usulan yang disampaikan oleh seluruh anggota
keluarga kecil kami. Karena kami memiliki banyak keterbatasan, sehingga usulan
yang kemudian kami eksekusi di akhir minggu adalah usulan yang mempertimbangkan
keterbatasan dan kelebihan yang kami miliki.
Kami tak bisa tiba-tiba
mengiyakan untuk ke Malino misalnya karena roda dua yang kami miliki tak pernah
menempuh jarak melebihi wahana kolam renang Beckham di Sungguminasa. Apalagi
tiba-tiba mau minta liburan ke Mataram karena income per kapita kami baru bisa
menjangkau Pulau Samalona. Satun-satunya kelebihan kami adalah imajinasi dan
selera yang tak biasa. Itu sudah.
Akhir minggu kemarin harusnya
kami habiskan di sebuah gelaran kreatif di Taddeang Maros. Lokasinya tak begitu
jauh dari Bantimurung. Cukup dekat lah. Kami rencananya akan lapakan di acara
itu dan menyaksikan band “keluarga” Next Delay yang menjadi salah satu band
yang mengisi line up penampil di acara itu. Tapi rencana itu batal kami
eksekusi karena beberapa hari menjelang hari H hujan terus mengguyur dan
sepertinya kurang asik untuk anak-anak. Akhirnya batal menyaksikan Next Delay
dengan formasi drummer baru. Sebaliknya, lapakan lalu menjadi beban mereka
hahahaha.
Jika satu agenda akhirnya
harus batal, maka selanjutnya biarkan imajinasi meliar dan selanjutnya ia akan
mempertemukan kami dengan ruang-ruang perayaan akhir pekan yang tak biasa.
Menjelang malam minggu
kemarin, Ibunya maha mengajak kami ke sebuah helatan yang diegelar oleh Himahi
Fisip Unhas. Nama helatannya Tell ‘Em All. Konsepnya, setiap orang yang datang
akan diminta menceritakan buku-buku favorit mereka. Genre bukunya bisa apa
saja. Dan tentu ada suguhan musik a la
kampus seperti biasa. Tidak seperti biasanya, kali ini yang paling semangat
untuk bermalam minggu di kampus adalah maha. Padahal biasanya dia akan menjadi
yang pertama menolak dan lebih memilih tinggal di rumah saja jika ia tahu kami
akan berlama-lama di kampus. Setelah kutanya mengapa, maha tak memberi alasan
retorik seperti biasa. Kali ini ia hanya mau keluar dan tak mengutuki dirinya
bermalam minggu di rumah.
Hingga pukul delapan malam
kami masih tertahan di rumah. Bahkan cerita bermalam minggu di luar rumah
hampir saja batal jika sakit gigi yang menyerangku beberapa hari belakangan tak
kunjung reda. Saat jam dinding di ruang tengah yang selalu berantakan karena
ulah Suar hendak menuju pukul 20.30, sakit gigiku akhirnya mereda dan tak perlu
menunggu lama kami segera menuju kampus.
Tak sampai sepuluh menit kami
sudah berada di area Taman Kacang tempat helatan Tell ‘Em All dilaksanakan.
Saya tak tau sejak kapan area yang terletak dibagian belakang Baruga A.P.
Pettarani yang berada di wilayah teritorial Fisip Unhas dan sejak dulu setauku
jadi tempat nongkrong anak Antropologi itu menjadi Taman Kacang. Nantilah lain waktu
saya cari tau terkait asbabunnuzul nama itu.
Saat kami tiba, hampir semua
yang datang malam itu sudah naik ke panggung dan menceritakan buku-buku apa
saja yang mempengaruhi hidup mereka dulu hingga kini, buku yang baru saja
mereka baca. Saya masih sempat menyimak beberapa teman yang bercerita. Ada yang
cerita tentang pertemuannya dengan gagasan Nietsche dan menurutnya itulah
jawaban atasan potensi intoleransi yang hari-hari ini semakin mewabah. Ada juga
yang bercerita bagaimana ia menemukan jawaban mengapa kampus sekarang
berlomba-lomba menjadi internasional dan cara-cara yang mereka tempuh dari buku
yang belum selesai ia baca. Dan yang paling saya tunggu tentu sesi saat Ibunya
maha dan maha mendapat giliran bercerita.
Setiap berencana ke kampus,
maha pasti sudah mendapat penjelasan detail tentang apa yang akan dikerjakan
selama di kampus. Maklum maha tak begitu suka berlama-lama di suatu tempat
untuk agenda yang tak jelas. Dan sebelum berangkat ke kampus sabtu malam kemarin,
maha sudah diberitahu dan ditawari untuk bercerita tentang buku yang senang ia
baca sekarang. Awalnya ia akan memilih beberapa komik yang ia senangi tapi
kemudian pilihan akhirnya jatuh ke Buku Pintar yang memang paling sering ia
baca akhir-akhir ini.
Oleh MC, Ibunya maha dipanggil
untuk bercerita. Dan seperti perjanjian sebelumnya, maha ikut serta
bergelayutan di lengan ibunya. Suar duduk manis bersamaku bersiap mendengarkan
Ibu dan kakaknya bercerita. Seperti yang kami duga, meski memberanikan diri
naik dan bercerita, tapi maha lebih banyak menyembunyikan mukanya dan sesekali
bersuara lirih menyampaikan mengapa ia akhir-akhir ini senang membaca buku
pintar sambil dipandu oleh ibunya.
“saya suka baca buku pintar
karena banyak informasi tentang negara-negara di seluruh dunia.” Maha menceritakan
kesenangannya mencari tahu soal apa saja tentang berbagai negara di seluruh
duni yang salah satunya bisa ia temui dari buku pintar yang sudah lama ada di
perpustakaan KBJ. “saya suka juga baca tentang tempat-tempat terpencil di
banyak negara.” Maha mengakhiri penjelasan soal kecintaannya terhadap
negara-negara dan apapun tentangnya.
Selalu bangga jika maha bisa
berani berbicara didepan khalayak. Dan biasanya keberaniannya akan tersulut
jika ada iming-iming hadiah setelah yang diminta berhasil ia lakukan. Dan malam
kemarin, setelah mempertimbangkan beberapa barang yang ia ingin beli,
pilihannya jatuh ke pilox. Ya, setelah melihat om Yaya membuat mural tempo hari
di acara Hari Anti penghilangan Paksa Internasional, maha penasaran ingin
mencobanya.
Setelah maha, berikutnya
ibunya maha giliran bercerita. Dan kejutan datang saat saya tak terlalu siap. Hahaha….
Ibunya mengawali ceritanya
tentang kebiasaannya membaca dan menuliskan kembali semua yang telah ia baca
sejak zaman sekolah dulu sebelum akhirnya ia memberi saya kejutan. Kejutan yang
tak saya kira sebelumnya.
Ia mengeluarkan sebuah buku
tipis yang saya sangat kenali bahkan saat belum diceritakan detailnya oleh
Ibunya maha sambil tersipu malu. Buku itu tidak ber ISBN. Tebalnya tidak lebih
dari 30 halaman dan seingatku hanya sekali dicetak itupun tak lebih dari 20
eksamplar. Cover buku yang berjudul Ten Stories A Bunch of Love itu berisi
gambar kami berdua. Yup, saya dan ibunya maha. Buku itu adalah hadiah yang saya
berikan kepadanya saat merayakan hari jadi yang ke 27. Buku itu berisi sepuluh tulisan
tentang cerita-cerita kami berdua zaman di kampus dulu yang saya kerjakan dua
hari sebelum hari ulang tahun ibunya maha dan saya publish di blog keluarga
kecil kami.
Cerita ibunya soal buku ini
menjadi kejutan bagi saya di malam minggu kemarin karena sebenarnya saya juga
ingin bercerita tentang buku itu. Bahkan sebelum ke kampus saya sudah
menyari-nyari buku itu di rak perpus KBJ tapi karena agak malu…hahaha…akhirnya
saya urungkan niat untuk membawa buku itu tapi tetap akan bercerita tentang
buku itu.
Testimoni soal keterkejutan
itu saya sampaikan saat saya diberi kesempatan untuk bercerita tentang
buku-buku yang memiliki cerita bagi saya. Testimoni itu menjadi awal dari
cerita panjang saya tentang buku dan perjalanan masa lalu dan sekaligus menutup
sesi bercerita malam itu.
Setelah bernyanyi bersama
teman-teman, kami memutuskan untuk pulang ke rumah dan membawa kebahagiaan tak
biasa setelah berkumpul, bercerita, berkelakar dan bernyanyi bersama
teman-teman untuk hal-hal baik bagi kami semua malam kemarin.
Cerita perayaan akhir pekan kami
belum selesai setelah menghabiskan malam minggu kami di selasar kampus. Atas
rekomendasi dan keingintahuannya maha, minggu siang kemarin kami menerabas
jalan-jalan raya Makassar yang tak begitu ramai menuju salah satu situs sejarah
Makassar, Benteng Sombaopu.
Kami memulai perjalanan sesaat
sebelum azan zuhur berkumandang. Tujuan pertama kami adalah penjual kayu yang
berada di depan kompleks pemakaman Cina di Antang. Kami hendak memesan beberapa
display foto untuk kegiatan yang akan dihelat kamis nanti. Cukup lama kami di
tempat itu karena kami tidak menemui langganan tempat biasanya kami memesan
display atau bingkai kayu. Tapi akhirnya urusan selesai setelah kami memutuskan
mencari tempat pembuat bingkai yang berada beberapa meter di sebelah tempat
kami sebelumnya.
Setelah urusan selesai,
akhirnya kami memutuskan untuk ke Benteng Sombaopu. Awalnya rencana ke tempat
itu hanya wacana yang bisa jadi terwujud bisa juga tidak. Mengingat jaraknya
yang cukup jauh. Tapi akhirnya kami memantapkan hati apalagi setelah maha agak
memaksa.
Siang yang cukup terik kemarin
membuat perjalanan ke benteng Sombaopu sambil mengendarai motor cukup
melelahkan. Sekitar setengah jam lewat akhirnya kami sampai di kawasan cagar
budaya Benteng Sombaopu. Saya agak lupa dengan lika liku kawasan ini. Untuk
beberapa saat kami tidak menemukan jalan menuju Museum Karaeng Pattingalloang.
Kami justru berputar-putar di kawasan pemukiman warga yang berada didalam area
benteng dan akhirnya kami berhenti sejenak di pinggir bendungan Sungai Je’neberang
dan menyaksikan sebuah perahu yang menyeberangkan beberapa orang bersama sepeda
motornya ke seberang. Dan tak lupa untuk berfoto tentunya.
Dari sana kami masih
berputar-putar dan tak menemukan jalan untuk menuju tujuan kami sebenarnya
sampai akhirnya seorang penduduk memberi tahu arah yang seharusnya kami lewati.
Jadi saat masuk ke area dan menemukan Gowa Discovery Park harusnya kami
mengambil jalan ke kanan dan berikutnya tinggal menyusuri jalan tersebut untuk
menuju museum yang akan kami tuju.
Ingatan saya soal tempat ini
memang tidak mengikutsertakan spot rekreasi Gowa Discovery Park yang sempat
jadi masalah beberapa waktu lalu. Seingatku di tempat itu dulu yang ada hanya
hamparan rumput. Makanya saya agak disorientasi.
Setelah menemukan rutenya,
kami langsung menuju Museum Karaeng Pattingalloang. Untuk masuk ke museum
tersebut anda tak perlumengeluarkan sepeser rupiah pun. Tapi anda harus buka
alas kaki. Bangunan museum ini bertingkat dua dan dibagian depan ada satu
senjata meriam yang akan menyambut anda. Melihat senjata itu, ingatan saya
dibawa ke belakang saat Himahi mengadakan LOI di tempat itu dan kami sempat
berfoto bersama di tempat itu.
Masuk ke dalam museum, saya
langsung disambut dengan aura tak biasa seperti kebanyakan museum lainnya. Kami
sempat bertanya-tanya melihat sebuah meja, mirip meja gambar anak arsitek, yang
bisa digoyangkan dan diatasnya ada sebuah kaca sebesar meja tersebut. Suar lah
yang membuat keingintahuan kami akan meja itu membuncah. Karena ia kaget saat
menyentuh meja tersebut dan ternyata bisa digoyang-goyang. Meja kaca tersebut
ternyata berfungsi sebagai cermin untuk melihat peta area Benteng Sombaopu yang
berada dibagiang langit-langit ruangan tersebut.
Selanjutnya, kami menuju ke
lantai dua dan melihat beberapa foto orang-orang penting di Kerajaan Gowa, yang
paling kami kenal tentu Sultan Hasanuddin. Di tempat itu akhirnya saya bisa
melihat untuk pertama kali foto Karaeng Pattingalloang, sosok kosmopolit yang
dimiliki Makassar berabad-abad lalu. Sambil naik ke lantai dua tersebut, saya
jelaskan ke maha jika Karaeng Pattingalloang ini menguasai banyak bahasa dan
karena itu membuatnya disegani.
Dari museum itu, kami
mengitari jalan menuju bagian belakang benteng yang masih menyisakan wujud
benteng sebagai tempat bertahan. Tempat itu masih seperti sediakala saat
terakhir saya melihatnya. Dan setelah merasa cukup mengitari kawasan benteng,
kami memutuskan untuk pulang dengan banyak cerita, pelajaran dan kebahagiaan
yang juga kami bawa pulang.
Merayakan akhir pekan di kota
sebesar Makassar selalu akan menjadi biasa jika imajinasimu tak kau liarkan
untuk menemukan ruang-ruang yang tidak hanya memberi canda tawa tapi juga
cerita dan pelajaran yang penting untuk diwariskan untuk siapa saja esok.
Ruang-ruang alternative yang tumbuh meliar berusa menjadi antitesa
kebahagiaan-kebahagiaan yang selalu berakhir ketika transaksi telah selesai.
Bapakmahasuar
24 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar