seratus delapan pulu ribu untuk negara
Hari itu, siang terik dan kami
mengendarai motor melaju lumayan cepat demi menemui maha yang sudah agak lama
menunggu di sekolah. Biasanya ia bisa berlama-lama hingga jam makan siang dan
pulang bersama mama, syaratnya si sahabat Kholis (setauku pernah kuceritakan)
harus berada di sana juga dan menemaninya bermain. Tapi kali ini tidak, Kholis
dijemput agak cepat dan maha mulai agak tidak sabar menunggu pulang. Seperti kemarin-kemarin,
akumasih dikejar waktu dan agenda yang harus kuselesaikan. Bedanya, sejak tadi
pagi, komrad menemaniku. Pasalnya beberapa hal harus kuselaesaikan di tempat
yang lumayan jauh. Dan kondisiku dengan janin hampir 6 bulan di perutku,
rasanya tidak mengijinkanku berkendara sendiri terlalu jauh. Dan maha lumayan
berkompromi dengan rasa malasnya tadi pagi dan berniat ke sekolah.
Berada hampir dua minggu di
Bone, mengharuskanku menjadwalkan banyak kegiatan dengan agak rapat. Walau semuanya
tidak selalu berjalan lancar. Urusan promosi yang jadi tujuan utamaku pulang,
harus kuselingi dengan urusan tetek bengek administrasi perihal kependahanku ke
Makassar, urusan yang cepat atau lambat akan diurus juga.
Komrad mengikuti instruksi
arah yang kuberikan. Dia boleh saja lebih hebat dariku soal arah, rute, nama
peristiwa, atau nama orang, tapi di Bone dia harus takluk padaku. Hahahaha.
ākenapa tidak lewat sini?ā
tanyanya saat kusarankan rute yang berbeda.
āini rute tercepat menuju mahaā
kataku pasti dan mantap. Kami yang sudah berkeliling sejak pagi menemui Pak
Lurah, Pak Camat, sekolah yang lumayan jauh, berputar-putar mencari tempat
scan, ke kantor catatan sipil, sepakat untuk cepat pulang. Seperti biasa,
selalu banyak cerita di semua perjalanan yang kami lalui.
ālurus saja....ā kataku masih
mantap. Komrad mengendarai motor dan masih bercerita sampai kusadari ada yang
aneh. Seorang petugas polisi memberhentikan kami dengan senyum. Aku tersenyum
juga sambil bergumam dalam hati
āuang melayang lagi.ā Kulihat tidak
ada tanda kalau sedang ada pemeriksaan atau operasi swiping. Aku mulai berpikir
kalau dia sedang mencari masalah. Tapi, lagi-lagi aku sadar ternyata jalanan
yang kami lalui satu arah dan kami melanggar. Pak polisi memberi hormat, dan
meinta STNK dan SIM yang belum komrad
punya. Aku memberinya STNK dan mengaku kalau kami tak punya SIM. Ia mengajak
kami ke tempat makan, di mana temannya sesama petugas menunggu kami dengan
surat tilang. Ia menjelaskan bahwa kami punya dua pelanggaran. Tidak punya SIM
dan melanggar rambu lalu lintas. Kami mengangguk. Ia memperlihatkan bahwa kami
dikenai denda Rp. 90.000,- untuk setiap pelanggaran. Sembari komrad ditanyai
perihal identitasnya, aku memperhatikan bahwa kawasan ini adalah kawasan empuk
bagi petugas. Pertama rambu itu tidak terlalu diperhatikan. Kedua, posisi para petugas ini begitu tidak kelihatan dan terakhir,
tidak ada arah lain untuk berbelok.
Aku sibuk membaca raut muka
komrad dan polisi yang sedang mengajaknya bicara. Ini adalah pengalaman komrad
pertama kali dengan polisi lalu lintas. Tapi ia tidak begitu panik dan tetap
mempesona. Sementara aku, seingatku ini kali kedua. Pertama kali di Makassar
dan berujung senyumanaku karena aku bebas berjalan pulang tanpa tilang setelah
teman kakakku menelpon si petugas yang menangkapku. Hehehe..INDONESIA gitu lho!
Jujur, aku bukan termasuk orang yang
bisa mebernegosiasi dengan orang apalagi saat aku berada di posisi yang tidak
bagus. Aku tidak suka memelas dan memohon sambil memperhatikan orang bertingkah
angkuh di depanku. Apalagi komrad. Siang itu, kami mengikuti jalur tanpa
basi-basi. Seolah kami sepakat dengan apa yang kami lakukan. Si petugas berulang
kali bertanya dan mencoba membuka percakapan. Komrad menjawab seadanya. Dengan cepat,
komrad menandatangani surat tilang yang ditulis berulang-ulang oleh si petugas.
āmau titip pembayarannya saja?ā
kata petugas yang satu dengan lebih terbuka setelah ia menggambarkan bahwa kami
akan repot membayar uang tilang di bank dan harus mengambil STNK kembali di kantor
Polres. Aku tersenyum dan menolak, lagipula aku juga tidak membawa uang cash
yang cukup untuk membayar denda tilang tersebut. Hampir 10 menit kami di sana, beberapa
pelanggar lain kulihat mulai bernegosiasi dengan pak petugas. Ada yang pulang
setelah melakukan beberapa panggilan, ada yang harus pulang dulu ke rumah. Kami
pulang dengan surat tilang di tangan.
Aku tersenyum. Apes memang,
diujung bulan saat berbagai tagihan dan kebutuhan menodong, kami harus
mengeluarkan uang tak terduga untuk hal semacam ini. Tapi, entahlah siang itu
aku ikhlas memberi seratus delapan puluh ribu rupiah itu untuk negara. Aku tidak
keberatan. Alasanku satu-satunya karena kami memang melakukan kesalahan dan
kami bertanggung jawab akan itu. Aku hanya bangga dengan kami, walau kantong
sedang seret-seretnya kami toh tidak menggadai diri untuk menyuap. Kami tidak
sombong, kami bahkan nyaris tidak
berduit. Tapi kami betul-betul
enggan bersikap pengecut, kedengarannya bodoh dan sok bagi beberapa orang, tapi
tidak. Itulah cara kami menghargai diri sendiri. Pak petugas, maaf membuatmu
jengkel karena tidak mengiyakan penawaramu, kamu betul... kami sungguh repot
melakukannya sendiri. Antri lebih dari sejam diantara banyaknya hal yang harus
kuselesaikan sore itu. Tapi kami melakukannya dengan baik, dan kamu tidak. Harusnya
kamu telah membawa STNK kami dengan sigap dan aku tidak perlu menunggu dua hari
untuk itu.
Kami menuju maha dengan
bangga, bercerita kalau kami di tangkap polisi. Kami mengakui kami salah dan
memberitahunya bahwa kami harus menanggung beberapa resiko. Dia tidak mengerti,
dia hanya senangmendengar cerita tentang polisi yang menangkap bapakibunya.
Dan seratus delapan puluh ribu
itu...., untukmu negaraku. Lain kali
tidak lagi, which is means... komrad harus punya SIM. Ayo..ayo...!!!
Ibu nhytha
Akhir januari 2013
#menantipulang
Komentar
Posting Komentar