Saya mengunjungi bandara 2 kali bulan ini. Sekali di pagi buta, sekali sambil menikmati sendunya rintik hujan kecil, teramat kecil di sore hari. Kali pertama saya bers
ama bapak komrad dan Rekah mengantar Bapak Udi, Ibu Seli dan Yara. Mereka menuju Jakarta. Menuju ibu kota. Kedua, saya, maha suar rekah, mengantar bapak ke Jogja.
Keduanya bertolak menuju fase doctoral life. Sebuah keniscayaan yang sejatinya akan dipilih jika karirmu ditambatkan di dunia akademik. Tapi tentu saja, setiap orang bisa memilih langkah dan cara berbeda.
Ini kali pertama kami LDRan dan setelah komrad S2, sekitar 14-15 tahun lalu. Dan ternyata kami tidak pernah betul betul siap. Saya tidak betul betul siap. Padahal rencana ini sejak 2-3 tahun lalu kita rancang, tulis dan hitung bersama. Setelah banyak kegagalan, kabar buruk, ujian, persiapan, tes demi tes dilalui bapak komrad. Kami akhirnya memutuskan, bismillah. Semoga segenap rencana berjalan sesuai rencana.
Namun, seberapa lamanya pun kami mempersiapkan, sekali lagi saya betul betul tidak siap. Tetap saja, rasanya aneh. Saya merasa sedih namun harus juga bergembira. Bukannya ini yang kami impikan? Ah, dasar manusia.
Sore itu, sepulang dari bandara, saya banyak terdiam. Mencoba meresapi dan menikmati rasa sedih di tengah anak anak yang masih bercanda, bertengkar, sepanjang jalan menuju rumah. Saya perlahan sunyi.
Malam pertama saya lalui dengan tidak nyaman. Bapak komrad menginfokan penerbangannya tertunda hingga berjam jam. Harusnya pseswat berangkat jam 18.20, dia baru bisa betul betul terbang di jam 1 Waktu Makassar. Beberapa kali saya terbangun hanya untuk memastikan apakah dia sudah smapai atau tidak. Karena tidak sepenuhnya sadar, saya panik saat melihat jam sudah pukul 2 namun chat saya masih centang 1. Saya lupa, dia memang harusnya tiba pukul 2 Waktu Jogja, yang berarti jam 3 di sini.
Bagi saya penerbangan adalah hal yang menakutkan, perjalanan selalu penuh tantangan, tapi tidak dengan terbang Karenanya, letakutan itu meggiring 5 menit saya di dini hari dengan kepanikan. Dan itu betul betul tidak nyaman. Tiba tiba saya sadar bahwa di saat saat begini, saya selalu mengandalkan bapak komrad untuk berpegang.
Saya mengandalkan komrad dalam semua hal. Beberapa hal domestic tidak lagi saya urusi karena pembagian tugas di rumah, walau tidak kaku sangat jelas bagi kami. Pelibatan Maha Suar memang ada, tapi prosentasenya masih kecil. Dan dengan tergesa gesa bapak mendelegasikan tugasnya ke Maha. Antar jemput Suar, pasang gas, urus galon, urus sampah, mengajak bicara anak anak, mengajak main Rekah, masak di waktu waktu genting, dan mengurusi saya. Keberangkatan komrad, seolah tetiba saya ditimpuki beban pekerjaan yang banyak dan sulit saya urai satu satu. Dan itu berat buat saya.
Karena keberangkatan komrad privelege slow morning saya tiba tiba tercabut. Ini hal penting bagi saya. Sejak dulu saya percaya, pagi tanpa grasak grusuk dikejar sesatu adalah keistimewaan. Dan sebisa mungkin saya jaga. Jika tidak bisa setiap hari, setidaknya saya punya 4 hari dalam sepekan dimana saya bisa menikmati pagi tanpa dikejar sesuatu. Ini juga jadi alasan kenapa saya sulit memilih pekerjaan yang mengharuskan saya berkantor. Tapi, itu privelege lagi sih.
Hari pertama, menjadi hari yang sibuk. Maha harus ke hotel di daerah Hasanuddin mengikuti sebuah kegiatan, Suar ke sekolah, dan Sekolah Jenny juga terjadwal. Saya tidak mungkin mengantar Maha, membiarkannya naik motor ke sana apalagi. Untung Puang Ana ada jadwal pagi ke kampus yang kami minta dipercepat sejam, demi agar Suar dan Maha tidak telat.
Biasanya saya cukup santai menyiapkan sarapan sekaligus bekal Suar, biasanya perihal seragam dan baju anak anak akan diurusi bapak komrad. Biasanya saya tidak perlu riweh membangunkan Rekan untuk berangkat lebih pagi, karena ada bapak yang menemninya berkemas. Pagi saya biasanya tidak seheboh itu. Bahkan saat saya haid semuanya dikerjakan komrad sendiri. Saya diberi kebebasan tidur hingga pagi, lalu bangun saat dia telah mengantar anak anak ke sekolah.
Saya tahu betul, banyak keistimewaan yang saya rasakan karena bapak komrad yang terlibat dalam pengasuhan dan kerja domestik.
Yah, fase ini walaupun kami upayakan tidak akan berlangsung lama, adalah fase dimana kami belajar saling merindukan lagi. Menikmati debar debar lewat chat dan telponan, di tengah doa yang tidak putus untuk saling menjaga. Untuk tetap sehat dan menjalani hari yang pasti akan berbeda.
Dan dengan cerita yang akan kita tuliskan kembali di sini, stelah sekian lama.
#tunggukamidijogja
Moncongloe, 28 Agustus 2025
Ibu Nita
Komentar
Posting Komentar