Berkali Mereka Bertanya, Berkali Kami Memperkenalkan Siapa Jenny
27 Februari 2011 jadi salah satu tanggal penting bagi saya. Hari itu, di Taman Budaya Yogyakarta, pada event Rock Siang Bolong, saya dan beberapa kawan dipertemukan dengan Jenny. Sebuah unit band yang mengusung konsep Almost Rock Barely Art yang dibentuk pada pertengahan 2003. Awalnya hanya untuk mengisi acara malam keakraban di jurusan desain Institut Seni Yogyakarta tempat keempat personil band ini berkuliah, namun kemudian berlanjut menjadi cerita. Paling tidak bagi saya dan Sawing yang selalu bersama di hampir semua pertunjukan musik yang menghadirkan Jenny, mereka yang menamai dirinya Teman Pencerita, Klub Mati Muda atau siapa pun yang memutuskan untuk menjadi pengantusias karya Jenny dan tidak berniat menjadi fans.
Almost Rock Barely Art
Mungkin setiap orang akan punya kesan berbeda, tapi Jenny selalu punya caranya sendiri untuk membuat kita tidak hanya tertarik dan mau berlama-lama menyaksikannya tapi juga bisa membuat siapapun larut dalam pertunjukan. Menonton Jenny tidak hanya seperti menonton pertunjukan musik tapi sebuah pertunjukan seni. Bahkan sejak lagu pertama belum dimulai. Begitu yang saya rasa sejak menonton Jenny di Rock Siang Bolong dan berbagai pertunjukan lainnya setelah itu.
Intro khas, yang diputarkan saat kru mempersiapkan panggung, berupa teriakan yang terus meninggi yang diambil dari lagu Menangisi Akhir Pekan selalu berhasil punya daya magis yang membuat adrenalin penonton meninggi menanti lagu pertama. Selanjutnya, ada adegan Farid Stevy dengan kostum khas era Jenny berjalan cepat bolak balik mengitari bagian depan panggung sebelum lagu pertama menghentak tak ayal seperti prolog pertunjukan. Dan setelahnya kamu akan disuguhi kejutan-kejutan dramatikal. Bentuknya bisa berbeda-beda. Kamu yang mengalami era Jenny pasti ingat adegan Farid membawa payung hitam keatas panggung, meludah berjamaah, membanting mic, dan tentu crowd surfing. Prinsipnya, kamu harus selalu bersiap dengan kejutan di setiap panggung Jenny.
Suatu waktu, di penghujung Mei 2011, saya dan seorang kawan bersama pasangannya mendatangi sebuah event musik tak biasa yang menghadirkan Jenny sebagai headliner. Tajuknya Letter to President dan diadakan di sebuah klub tua di Jogja yang terletak di bilangan Jalan Magelang. Event ini diinisiasi oleh komunitas yang peduli dengan berbagai isu intoleransi yang marak terjadi saat itu. Menariknya, meski event ini tak berbayar, setiap pengunjung mesti menulis surat yang ditujukan untuk presiden sebagai tiket masuk. Di akhir penampilan Jenny, para kru membagikan segepok amplop untuk semua penonton yang berada di depan panggung malam itu. “Tulislah surat untuk diri kita sendiri! Write the Letter to ourselves,” pungkas sang vokalis. Sebuah ajakan untuk melihat diri sendiri. Sungguh sebuah pukulan telak dan tepat sasaran. Mungkin seperti inilah terjemahan bebas dari konsep Almost Rock Barely Art.
Menjadi Setara
Setiap penampilan Jenny selalu tak hanya tentang panggung dan pertunjukan. Tapi tentang memanfaatkan ruang apa pun untuk membuka dialog dan percakapan. Atau sekadar memperkenalkan wacana yang harapannya akan jadi bahan merenung di kala senggang. Meski penonton Jenny mayoritas adalah anak usia remaja, namun ajakan ini saya kira untuk siapa saja dan lintas umur. Coba simak potongan-potongan lirik dari lagu-lagu di album Manifesto yang dirilis pada 2009 plus single HTP berikut.
Hidup tak perlu terlalu lama, jika dosa yang berkuasa (Mati Muda), Rayakan apa saja hari ini (Monster Karaoke), Pagi indah cerah yang engkau nanti dan sore redup tenang yang kau nikmati, sedikit dari banyak yang maha oke beri (Maha Oke), Tak ada yang baru dibawah matahari (Manifesto Postmodernisme), Tangisilah, Rayakanlah (Menangisi Akhir Pekan), Parallel life I’ll see you soon (The Only Way), Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan (120), But don’t be afraid to get fun (Resistance is Futile), What you see is what you will get, stop thinking too much you better now start your step (Dance Song), Memeluk agama tanpa Tuhan, Yang ibadahnya adalah berperang (Hari Terakhir Peradaban).
Sebagai ajakan untuk bercakap, Jenny memilih banyak cara untuk memulainya. Di atas panggung, selain melalui lagu, sang vokalis biasanya punya sejuta cara untuk mengajak siapapun terlibat dalam upaya ini. Suatu waktu, di tengah pertunjukan yang dilaksanakan di area Angkatan Udara Adisucipto, pertanyaan sekaligus pernyataan “kita semua setara”, bukankah kita semua setara?” membahana. Meski pertanyaan ini lalu disambut jawaban “iya”, namun bagi saya meski tak dijawab pertanyaan itu sudah berarti. Bayangkan pertanyaan itu diajukan ke penonton yang mayoritas berusia remaja malam itu dan malam-malam lainnya. Mereka mengenal dan fasih menyebut kata kesetaraan saja saya pikir sudah cukup. Dengan harapan, kata itu akan mewujud dalam laku.
Kesetaraan memang menjadi isu yang paling sering disampaikan tidak hanya di panggung tapi juga setelah panggung usai. Biasanya setelah Jenny manggung, para personil akan menuju Angkringan Pak Tego yang berada di bilangan Jalan Mangkubumi. Tepat didepan BCA Mangkubumi. Di tempat ini, semuanya berbaur dan berinteraksi. Tak perlu ada relasi yang menormalisasi hubungan hirarkis antara idola dan fans. Paling tidak seperti itu yang saya rasakan saat pertama kali diajak kesana suatu saat setelah Jenny beres manggung di area TBY.
Etos itu Bernama Jenny
Di penghujung 2011, sesaat sebelum Jenny “diistirahatkan” dan bertransformasi menjadi bentuk lain bernama FSTVLST, saya dan Sawing akhirnya bersepakat menamai perpustakaan komunitas yang kami rintis sejak 2010 di Makassar bersama beberapa kawan dengan nama Kedai Buku Jenny (KBJ). Kami juga bersepakat untuk menjadikan tanggal pertama kali bertemu Jenny yaitu 27 Februari sebagai hari lahir KBJ yang kami peringati setiap tahun.
Nama ini tentu terinspirasi dari band Jenny. Namun alasan utamanya bukan karena kami mengidolakan apalagi jadi fans band ini. Tapi karena kami sepakat dengan gagasan kesetaraan dan beberapa wacana emansipatif yang diusung Jenny dan berharap melalui perpustakaan komunitas ini kami dapat menjadi bagian dari upaya untuk menyebarluaskan dan mempraktikkan gagasan-gagasan tersebut. Selain itu, dari Jenny kami belajar bagaimana gagasan emansipasi sebaiknya disuguhkan di era bungkusan selalu jadi hal penting. Prinsipnya, if you can judge the book from its cover, kenapa tidak? Wujudnya, sejak awal beraktivitas, KBJ mengusung seni tidak hanya sebagai instrumen tapi juga bagian penting dari gerak yang kami upayakan. Karena itu, hingga kini siapapun yang bertanya tentang sosok Jenny, akan dengan sabar kami jelaskan dari mana ia berasal dan apa alasan filosofis dibaliknya. Berkali mereka bertanya, berkali pula kami akan menjelaskan siapa Jenny dan bagaimana kami “mengistirahatkan” Jenny dengan tenang di Makassar.
Epilog
Beberapa waktu lalu, saat mendengar Jenny akan reuni dan kemudian “dihidupkan” kembali, banyak orang tak terkecuali saya merasa bahagia. Apalagi saat mengetahui bahwa album Manifesto akan kembali dirilis dalam format piringan hitam. Harapannya karya-karya Jenny dari album Manifesto dan single setelahnya kembali mendapat ruang dengar yang lebih luas. Dan seperti sediakala, semoga Jenny tetap menyiapkan ruang rendah, luas, terang tanpa barikade untuk setiap percakapan yang muncul karenanya.
Penulis: Zulkhair Burhan
Foto: @mokstimofeevic
Komentar
Posting Komentar