Hari Guru, Pagi di Baloa dan Malapetaka Karimun Hitam

Sabtu pagi kemarin (25/11), saya dan ibunya maha membangunkan anak-anak cukup pagi. Apalagi untuk ukuran Rekah yang selalu bangun paling cepat jam 8. Tapi tokoh utama pagi kemarin adalah sang fenomenal Suar Asa Benderang. Ia mewakili Teater Anak Ketjil SDN Inpres 127 Moncongloe akan mengikuti upacara peringatan Hari Guru dan ulang tahun PGRI tingkat Kabupaten yang dipusatkan di Lapangan Kecamatan Baloa, Maros. Menurut Ibu Kepala Sekolah nya Suar melalui telpon ke ibunya maha, Tetaer Anak Ketjil SDN 127 Inpres Moncongloe menjadi salah satu dari beberapa siswa berprestasi yang akan menerima apresiasi dari Pak Bupati di rangkaian upacara tersebut karena prestasi sebagai penampil terbaik di ajang Festival Cerita Panji yang dikuti anak-anak Oktober lalu. Ia juga sekaligus memita Suar untuk menjadi perwakilan teman-temannya.

Sepeti janji ibunya maha ke guru sekolah, kami berangkat sekitar pukul 6 lewat dengan full tim seperti biasa. Dan diantara kami berlima, hanya Suar yang sudah mandi dan rapi sendiri dengan kostum sekolah putih merah.

Kami lalu menyusuri rute belakang yang biasa kami gunakan untuk menuju Bantimurung tanpa harus melalui jalan utama. Tapi kali ini kami berbelok menuju Kariango dan keluar kejalan utama dekat gerbang Maros Makassar. Awalnya saya mengira jika kami akan menuju tempat yang berdekatan dengan Rammang Rammang. Karena sebelumnya, ibunya maha bilang jika upacara dilaksanakan di Kecamatan Bontoala. Dan menurut google map, daerah itu berada tak jauh dari Rammang Rammang. Tapi ternyata kami akan menuju lapangan Kecamatan Bontoa yang tak begitu jauh dari Ibu Kota Maros. Pokoknya, sekitar 10 menit setelah ibukota, ada percabangan jalan. Jalur kiri adalah rute menuju Bontoa. 

Tak terlalu sulit menemukan lokasi kegiatan. Selain karena bantuan google map, di sepanjang jalan kami berjumpa bapak ibu guru yang menggunakan uniform batik hitam putih yang sepertinya juga akan mengikuti upacara. Jadi saya tinggal mengikuti bapak ibu yang mengarah ke lokasi upacara.

Saat mendekati lokasi, jalan yang memang sempit sudah dipenuhi kendaraan yang membuat jalanan macet. Tapi meski lambat, kami tetap dapat menuju ke lokasi parkir yang paling dekat dengan lapangan lokasi upacara. Setelah menimbang-nimbang dengan pertimbangan yang tidak akurat, kami akhirnya memilih untuk mengikuti dua mobil yang sebelumnya telah terparkir di sebuah SMP yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari lapangan upacara. Kenapa saya bilang tidak akurat, karena pilihan ini akan jadi masalah saat hendak pulang nanti. Dan itu mulai saya rasakan, saat ibunya maha mengantar Suar ke lapangan upacara menemui gurunya dan mobil-mobil peserta upacara juga mulai memenuhi area parkir SMP tersebut dengan tak teratur dan menutup jalur keluar mobil kami. Perasaanku mulai tidak enak. Tapi nasi sudah jadi bubur. Kita liat saja nanti, pikirku.

Tak lama ibunya maha datang setelah mengantar memastikan Suar sudah ditempat yang tepat dan ditemani Bu Kepala Sekolah. Karena tak ingin hanya menghabiskan waktu menunggu Suar didalam mobil yang pasti akan lama, diinisiasi oleh ibunya maha, kami lalu memilih untuk mengeksplorasi daerah situ. Maha nampaknya tak terlalu menikmati karena ia pikir kami akan keliling-keling Maros sambil menunggu upacara selesai. Tapi itu tak mungkin setelah mobil kami terperangkap tak bisa keluar. Dengan wajah bersungut, maha akhirnya tetap ikut serta di agenda penjelajahan yang tak jelas itu.

Daerah Bontoa sepertinya berdekatan dengan daerah pesisisr meski kami tak melihat laut. Tapi di sepanjang jalan kami melihat empang dan ibu-ibu yang sedang menjemur kulit dan kepala udang yang mengeluarkan bau yang sangat tak sedap. Bahkan seorang ibu yang sedang merapikan jemuran kulit udangnya menyuruh saya dan Rekah untuk tutup hidung dan berjalan agak cepat saat kami melintas agar kami tak lama menikmati bau tak sedap itu. Saya bertanya-tanya kira-kira kulit udang itu untuk bahan apa tapi tak sempat bertanya ke warga yang sedang menjemur. Tapi menurt ibunya maha, kulit udang yang kering jadi bahan utama membuat kaldu instan dan beberapa produk lainnya.

Setelah beberapa waktu mengeksplor wilayah itu, kami memutuskan menuju area upacara. Mash dengan berjalan kaki tentunya. Dan di sepanjang jalan, mobil-mobil peserta upacara semakin banyak terparkir. Bahkan hingga ke area pasar yang dekat dengan pemukiman warga.

Ketika sampai di lapangan, beberapa orang yang tak ikut upacara juga sedang menyaksikan prosesi dari luar gerbang upacara. Saya sendiri langsung mendekati tembok yang memisahkan lapangan dan jalan raya yang tingginya seukuran dada dan mulai mencari-cari dimana Suar yang kata ibunya duduk di tenda disamping panggung utama. Tapi disana yang terlihat hanya ibu-ibu berkostum tari dan paduan suara. Tak ada Suar atau anak sekolah lain disana. Pikirku, mungkin ia terselip diantara ibu-ibu guru.

Tak lama setelah itu, kami melihat warung yang menjual jalangkote. Kami lalu kesana dan menikmati jalangkota panas serta camilan lain. Sayang saya tak mengambil gambar warung itu. Saat masuk didalam, ada bapak polisi dan sepertinya seorang warga yang sedang asik bercerita. Diluar warung ada beberapa guru dengan batik hitam putih yang sedang ngaso dan sedikit menutupi jalan kecil menuju beberapa rumah didalam. Mereka sepertinya terlambat jadi memilih tak ikut upacara. Sayang saya tak mengabdikan suasana warung itu dengan kamera. Padahal suasana warungnya nyaman. Khas suasana desa seperti di film-film. Atau seperti warung kopi di serial Tukang Ojek Pengkolan.

Setelah menyelesaikan urusan bayar membayar, kami memilih ikut duduk diluar warung. Saya sendiri memilih berdiri di dekat pintu sambil bersandar di tembok warng dan ikut menikmati upacara. Apalagi saat lagu Hymne Guru dinyanyikan. Ibunya maha yang juga berada disampingku dan ikut bersenandung tak lama bertanya, “nda sedihki dengar ini lagu?,” saya hanya mengangguk mengiyakan dan berusaha membendung air mata. Lagu ini memang dalam dan tidak pernah gagal membuat tangis.

Tak lama saya melihat Suar dari kejauhan. Ia ternyata berada di tenda sebelah kanan panggung utama bersama siswa-siswa berprestasi lainnya. Kami lalu kembali mendekat ke lapangan saat sepertinya upacara akan segera berakhir. Tapi karena matahari begitu terik, kami lalu berlindung di depan pagar sebuah ruamh di seberang lapangan.

Yang agak bikin dongkol saat anak-anak mulai mementaskan puisi, para guru mulai keluar dan tidak lagi memperhatikan pertunjukan tersebut. Guru-guru ini juga tak salah karena MC tak tegas mengnstruksikan agar guru-guru tetap berada di lapangan. Ia malah memberi instruksi sumir. “bapak ibu bisa menyesuaikan,” seingatku itu instruksinya. Karena matahari semakin terik, guru-guru jelas memilih pulang. Kedongkolan yang sama juga disampaikan seorang ibu guru yang berteduh di rumah tempat kami berteduh. Ia menyayangkan karena panitia upacara tidak meminta para peserta upacara untuk menyaksikan pementasan para siswa yang pasti telah latihan dan mempersiapkan pementasan tersebut cukup lama. Atau paling tidak pementasan tersebut diletakkan di awal sesi.

Saat kerumunan guru semakin banyak dan Rekah juga mulai rewel karena kepanasan, saya bersama maha memutuskan membawa Rekah ke mobil. Dan saat tiba didepan gerbang sekolah, sebuah mobil Karimun hitam terparkir melintang tanpa perasaan tepat dimulut gerbang sekolah. Dan diikuti mobil brio merah didepannya. Malapetaka.

Kami sejenak melupakan malapetaka itu dan masuk ke mobil menikmati suhu ac dan camilan. Setelah beberapa saat, Ibunya maha dan Suar datang.  Ia membawa sekantong kecil manisan mangga. Meski baru roti yang mengisi perut kami, tapi godaan manisan tak tertahankan. Kami menggasak manisan itu meski tetap diingatkan oleh ibunya maha agar tak terlalu banyak. Saya sendiri yang paling sering bermasalah dengan perut tak begitu khawatir karena di toilet kantor di sekolah tempat kami parkir terbuka dan yang terpenting karena air juga tersedia meski agak sedikit jorok. Suar lalu memperlihatkan uang seratus ribu dengan bangga yang ia dapatkan langsung dari Bapak Bupati. Dan setelahnya kami menunggu si pemilik Karimun hitam. Saya yang awalnya didalam mobil, memilih keluar untuk menyaksikan siapa pemilik mobil itu.

Mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan depan sekolah mulai satu per satu pergi. Kemacetan arus balik mulai terurai. Dan hampir 10 an mobil di area sekolah itu terjebak. Mayoritas guru pemilik mobil memilih masuk kedalam sekolah sambil menunggu. Saya sendiri merapat ke tembok sekolah menunggu-nunggu. Seorang bapak membawa piala dan sertifikat serta kunci mobil dari kejauhan berjalan agak cepat. Kupikir ia pasti si pemilik mobil. Tapi ia hanya melempar senyum dan melewati gerbang sekolah. Beberapa guru setelahnya yang berlalu sambil berjalan kaki juga bukan si pemilik mobil. Mungkin hampir se jam kami terjebak hingga akhirnya seorang ibu berjalan agak cepat dan kami yang menunggu yakin dialah sang sebagai. Dan betul saja, ia lalu menuju pintu Karimun hitam itu. Dan kami semua bersorak. Seorang ibu guru yang tak ajuh dari tempat saya berdiri berujar, “sudah kubilang pasti ibu-ibu ini yang pnya mobil, karena saya juga begitu caraku parkir kalo buru-buru.” Meski bias tapi saya nampaknya setuju untuk kasus ini.

Akhirnya kami keluar juga dari malapetaka parkiran dan melanjutkan perjalanan menjemput kebahagiaan yang lain. Kebahagiaan ditraktir sama Suar makan ikan bakar hehehe.

Selamat Hari Guru dan Selamat untuk Suar dan kawan-kawan.

Bapak mahasuarrekah, 26 November 2023

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer